Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cendana, Setelah Keputusan Itu...Di akhir kekuasaannya, ia gamang. Prabowo dianggap mengkhianati Cendana.
Kamis, 21 Mei 1998. Raungan sirene itu menghentikan kegiatan belasan orang yang sejak siang berkumpul di ruang keluarga rumah Jalan Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa mobil masuk ke halaman dan seperti diberi aba-aba, para penghuni rumah serentak berdiri. Dari mobil Mercedes Benz hitam itu keluar Soeharto, tokoh yang dinanti-nanti. Bersafari lengan pendek biru gelap, wajah jenderal besar itu muram dan pucat. Ia berjalan diiringi putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, dan mantan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursjid,
Sampai di ruang tamu, ia mengangkat kedua tangan. "Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundak saya selama berpuluh tahun," katanya. Ruangan senyap. Sesekali terdengar isak tangis dua putri Soeharto, Siti Hedijati (Titiek) dan Siti Hutami Adiningsih (Mamiek).
Satu per satu, anak, menantu, cucu dan kerabat lainnya menyalami, memeluk dan mencium tangan Soeharto. Di belakang menyusul teman keluarga, ajudan, pengawal, sopir, dan pembantu. Hari itu rumah dibekap kesedihan. "Sulit melupakan peristiwa itu. Itulah saat pertama Bapak pulang sebagai warga negara biasa," kata Tutut mengenang. Sejak Kamis pagi 21 Mei 1998, Soeharto bukan lagi presiden. Di Credentials Room, Istana Merdeka, ia menyampaikan pidato pengunduran diri setelah 32 tahun berkuasa. Pidatonya ringkas, disiarkan secara nasional dan mendapat perhatian seluruh dunia.
Soeharto terlihat rileks. "Ini adalah sejarah. Saya memutuskan mundur supaya tak jatuh korban lagi," kata Soeharto membuka percakapan. Menurut dia, jika ia tetap berkukuh, situasinya kian keruh dan akan jatuh korban. "Jelek-jelek, saya dulu naik karena didukung mahasiswa," katanya. "Sekarang sudah jatuh korban mahasiswa. Saya nggak mau ada korban lagi."
GELOMBANG demonstrasi mahasiswa berujung tragedi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti. Jakarta menyala. Kerusuhan, pembakaran, penjarahan. Orang-orang mengheningkan cipta. Ibu Pertiwi hamil tua.
Soeharto bagai duduk di atas bara: ia mempersingkat kunjungannya ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT Nonblok. Dari jauh ia menerima kabar: aparat tak berhasil meredam kerusuhan. Tutut mengurungkan kepergiannya ke Boston, Amerika Serikat, menghadiri wisuda putrinya. Ia memantau keadaan. "Bapak terus menerima laporan dari berbagai pihak," kata Tutut. Satu jam setelah mendarat di Jakarta, Jumat 15 Mei 1998, Soeharto disambut cerita putra-putri dan adik tirinya, Probosutedjo, tentang Jakarta yang remuk redam. Laporan komplet dari Wakil Presiden B.J. Habibie, para menteri bidang polkam, Panglima ABRI, Kejaksaan Agung, dan Kabakin diterima Soeharto beberapa jam kemudian. Ketika itu dengan tegas Soeharto membantah kalau dia akan mundur.
Sejak hari itu, penjagaan di Cendana diperketat. Di luar, berbagai kelompok masyarakat termasuk pimpinan MPR/DPR mendesak Soeharto hengkang dari kursi kepresidenan. Sejumlah tokoh seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais, Malik Fadjar menggodok konsep reformasi. Tekanan politik tak bisa dielakkan ketika mahasiswa menguasai gedung MPR/DPR seraya mendesak pimpinan lembaga itu menggelar Sidang Istimewa.
KELUARGA Soeharto sesungguhnya tak tinggal diam. Menantu Soeharto yang juga Pangkostrad, Prabowo Subianto, menceritakan pembicaraannya dengan Panglima ABRI Jenderal Wiranto saat bertemu di Cendana, Senin 18 Mei 1998 malam. Wiranto mengatakan, anak-anak Soeharto ingin melakukan perlawanan, tapi Prabowo ragu. "Bagaimana bisa? " katanya dalam Buku Putih Prabowo, 1999. Hari itu, Amien Rais mengeluarkan seruan menggelar aksi 20 Mei di Monas. Menurut Prabowo, mencegah protes akan mengakibatkan korban jatuh.
Sejumlah kawan karib anak Cendana menawarkan agar Tutut dan Bambang Trihatmodjo, dua anak Soeharto yang menjadi pengurus Golkar, melobi fraksi-fraksi di DPR dan MPR, namun Tutut skeptis. "Lo percuma. Pimpinannya saja sudah bersikap begitu," kata Tutut seperti ditirukan salah satu sahabatnya.
Sebenarnya upaya pendekatan ke fraksi-fraksi DPR dan MPR juga sudah dilakukan. Saat pertemuan digelar di Cendana, malam itu Probo meminta bantuan tokoh Golkar, AA Baramuli. Tapi Baramuli mengaku tak bisa menolong karena para politisi itu sudah berubah sikap.
Malam itu, Soeharto bertemu dengan Nurcholish Madjid di Cendana. Menurut Nurcholish, ia menyampaikan gagasan reformasi termasuk mendesak Soeharto mundur serta menggelar pemilu yang dipercepat. Namun, Soeharto minta bertemu sejumlah tokoh esok harinya.
TAK ingin Jakarta lebih remuk, Soeharto berniat membentuk Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (Pangkopkkn), lembaga semacam Kopkamtib. Rencana itu disampaikannya Sabtu pagi, 16 Mei 1998, kepada Wiranto, Saadilah Mursjid, dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. Rencananya, kata Subagyo, peresmian lembaga ini akan dilakukan Senin 18 Mei. Subagyo ditunjuk sebagai wakil, Wiranto sebagai panglima. Tapi semuanya berubah ketika Subagyo diminta merapat ke Cendana, Minggu petang, untuk sebuah pertemuan empat mata.
Kepada mantan pengawalnya itu, Soeharto menanyakan peta situasi pengamanan pascakerusuhan. "Menurut isu, ada dua kelompok. Kelompok Pak Wiranto dan kelompok Prabowo. Sedangkan saya di tengah-tengah. Kondisi keamanan secara umum membaik," kata Subagyo.
Belakangan, Soeharto menawari Subagyo jabatan Pangkopkamtib, namun Subagyo menolak. " Sejak awal sudah disepakati, posisi Pangkopkamtib dijabat Panglima ABRI, sedangkan Wakil Pangkopkamtib oleh KSAD," kata Subagyo dalam biografinya, KSAD dari Piyungan, Jakarta 2004 . Mendengar jawaban itu, Soeharto meminta ajudannya, Kolonel (Pol.) Sutanto-kini Kepala Polri-mengirimkan pembatalan undangan pelantikan Pangkopkkn yang rencananya digelar 18 Mei. Perubahan sikap Soeharto itu, menurut salah satu kerabat Cendana, disebabkan oleh keraguannya atas loyalitas Wiranto dan Prabowo. Lama terdengar kabar kedua jenderal bersaing pengaruh.
Tersebutlah sebuah pernyataan pers yang mengatasnamakan Mabes ABRI yang menyebutkan ABRI mendukung sikap Nahdlatul Ulama yang meminta Soeharto turun. Salinan pernyataan itu diantar Prabowo kepada mertuanya. "Ini artinya militer meminta Bapak turun," katanya. Soeharto tak langsung percaya. Prabowo diminta mengecek soal itu ke KSAD. Sebaliknya, secara diam-diam, menurut seorang kerabat Cendana, Soeharto juga mengutus putranya, Bambang Trihatmodjo untuk mengkonfirmasikan soal ini ke Wiranto. Bambang memang dikenal dekat dengan Wiranto. Prabowo yang malam ini membawa Subagyo ke Cendana malah mengusulkan agar Wiranto digantikan Subagyo saja. Mendengar usul itu, Soeharto tersenyum datar.
Minggu subuh, Wiranto menemui Soeharto di Cendana dan mengklarifikasi masalah ini. Ia meminta Soeharto memecatnya jika tak percaya lagi. Soeharto menggeleng. "Teruskan saja tugasmu," katanya.
Sebetulnya, desakan tentang penggantian Wiranto juga pernah disampaikan Prabowo kepada Tutut ketika mahasiswa mulai menguasai DPR. Saat itu, Tutut mempertanyakan, apa yang harus dilakukan mengatasi keadaan? Prabowo menyarankan, Pak Harto mengganti Wiranto dan membuat dekrit darurat. Namun, Tutut mengatakan, ayahnya tak mau melakukan saran itu. Karena itu, jalan lain, menurut Prabowo, adalah Soeharto mundur. Tutut bertanya, apa yang terjadi kalau ayahnya turun. "Sesuai konstitusi, Habibie menjadi presiden," jawab Prabowo.
DI Istana Negara, saat bertemu dengan sembilan tokoh reformasi, Soeharto mengatakan siap mundur. "Hanya, apakah dengan mundur keadaan bisa diatasi?" Dari pertemuan itu, Soeharto memutuskan membentuk komite reformasi, merombak kabinet, dan melakukan pemilu secepatnya. Ia menegaskan tak mau dicalonkan sebagai presiden. "Saya sudah kapok."
Di ruangan lain di Istana, sambil menunggu pertemuan Soeharto dengan sembilan tokoh, sejumlah orang berkumpul. Tampak hadir Prabowo Subianto, Mendagri R. Hartono, KSAD Subagyo, Panglima ABRI Wiranto, Probosutedjo, dan Tutut. Probo lalu bertanya kepada Wiranto, kenapa mahasiswa malah digerakkan ke Senayan. "Mereka kan tambah kuat dan seenaknya. Disuplai makanan lagi, " kata Probo. Wiranto menjawab, kalau tidak dikumpulkan, mereka bisa melakukan kekerasan di jalanan dan itu membuat situasi tambah kacau.
Tekanan massa dan mahasiswa tak bisa dibendung lagi. Gedung DPR seperti pasar malam: orang-orang berteriak, berpidato, memanjat atap gedung. Pimpinan MPR/DPR, yang biasanya tak bergigi, mendadak berubah haluan: mereka ikut mendesak Soeharto mundur dan meminta waktu bertemu Presiden. Tapi Soeharto sibuk menyusun daftar komite reformasi. Ada 45 orang yang disiapkan: politisi, rektor, agamawan, cendekiawan.
Dalam pertemuan keluarga malam itu, Tutut menanyakan perkembangan terakhir. Menurut Prabowo, ia sempat melaporkan situasi terakhir. Desakan agar Soeharto mundur tak tertahankan. Saat itu, Soeharto juga mengatakan akan mundur setelah kabinet reformasi dan komite reformasi terbentuk. Pertanyaannya, siapa yang akan menggantikannya. Sesuai UUD, memang Habibie. "Tapi Habibie tak akan sanggup memegang kekuasaan dan akan terjadi chaos. Jika sudah begitu, tentara bisa mengambil alih," ujar Soeharto.
Seorang kerabat keluarga itu mengatakan, malam itu Soeharto menyampaikan keraguannya jika wakil presiden bisa mengatasi keadaan. "Pak Harto sebenarnya meragukan kemampuan Habibie," ujar sumber itu. Soeharto menyadari posisinya di tubir jurang. Rabu 20 Mei menjelang malam ia menyampaikan kepada Habibie rencananya berhenti pada 23 Mei. Namun, sesudah Habibie pulang, Soeharto harus menemui fakta banyak tokoh menolak bergabung dalam komite yang ditawarkannya.
Yang membuat jenderal besar itu terpukul, 14 menteri dari kabinetnya mengirimkan surat pengunduran diri. Padahal, mayoritas dari mereka sebenarnya sudah diminta duduk lagi dalam kabinet reformasi. Soeharto tak punya pilihan.
Malam itu, ketika konsep pidato pengunduran dirinya disusun, Soeharto mengumpulkan anak-anak dan kerabat. "Apa pun risikonya, saya akan pertanggungjawabkan," katanya. Saat itu, Probo menanyakan siapa yang bakal jadi pengganti. Soeharto menjawab, "Habibie sudah mengatakan bersedia menjadi presiden". Probo tak percaya. "Yakin dia sanggup, Mas?" Soeharto tersenyum datar. "Ya, sanggup. Mudah-mudahan."
Sesaat ruangan itu senyap. Salah satu kerabat bercerita, saat itu Bambang Tri sempat bertanya, "Kenapa tidak tanggal 23 Mei saja? Bukankah sudah diputuskan hari itu?" Soeharto diam saja. Malah Tutut yang menjawab. "Mau lusa atau besok, toh sama saja. Bapak memang harus mundur." Hening. Sayup-sayup terdengar isak Titiek dan Mamiek. Seseorang menyentil: situasi ini disebabkan aparat membiarkan mahasiswa menguasai DPR.
Tak berapa lama, Prabowo masuk. Belum lagi ia duduk, Mamiek bangkit seraya menudingkan telunjuk. "Pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi! Keluar!" Malam itu, Prabowo mengaku sebenarnya enggan keluar. Ia melihat Titiek, istrinya, menangis. Tapi bertahan di ruangan itu dianggapnya tidak menyelesaikan masalah.
SUDAH lama terdengar hubungan Soeharto dan anak-anaknya dengan Prabowo tak harmonis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, semua anak Soeharto dendam kepada Bowo. "Cuma Sigit yang agak netral," kata Sumitro dalam Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, 2000.
Soeharto memendam syak wasangka bahwa Prabowo dan Habibie sedang menggalang persekongkolan untuk menumbangkannya. Salah satunya adalah soal kedekatan Bowo dengan sejumlah tokoh yang saat itu menjadi lawan politik Soeharto. Dari istrinya, Prabowo mengetahui ia dianggap pengkhianat setelah bertemu Amien Rais, Gus Dur, dan Habibie.
Tapi Prabowo punya pandangan lain soal mengapa ia dibenci. Menurut dia, selama ini ia selalu mengatakan keadaan semakin memburuk jika Soeharto bertanya tentang kondisi keamanan. "Pak Harto mulai tak suka kepada saya. Ia berbicara serius dengan semuanya, kecuali saya. Saya sama sekali tak dihiraukan," kata Prabowo dalam buku putihnya, Maret 2000.
Dua hari sebelum Soeharto lengser, Prabowo memang terlibat pertengkaran sengit dengan Tutut dan Mamiek. Keduanya menggugat Bowo yang tidak optimal membela Soeharto. "Kamu ke mana saja? Mengapa kamu membiarkan mahasiswa menduduki DPR?" Prabowo dengan sengit balik membalas." Apakah saya harus menembaki mereka? Ini sama saja bikin chaos."
UPACARA serah-terima jabatan itu berlangsung singkat. Selesai berpidato, Soeharto berdiri menunggu hakim agung mengambil sumpah B.J. Habibie. Begitu selesai, Soeharto menyalami Habibie, juga para hakim agung yang hadir. Tak sepatah kata pun terucap, ia langsung balik badan menuju Ruang Jepara tempat menunggu pimpinan MPR/DPR.
Syarwan Hamid, salah satu Wakil Ketua DPR waktu itu, melukiskan Soeharto hanya bicara semenit. Berdiri setengah membungkuk dengan tangan bersilang di perut, mantan penguasa itu berpamitan. "Saudara-saudara, saya tak menjadi presiden lagi. Tadi sudah saya umumkan kepada rakyat. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, Habibie sudah mengucapkan sumpah di depan MA. Saya harap MPR dan DPR bisa menjaga bangsa ini. Terima kasih," kata Soeharto. Ketua MPR/DPR Harmoko dan wakilnya, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hassan Metareum, serta Syarwan Hamid hanya mengangguk.
Soeharto keluar ruangan. Menggamit lengan Tutut, mantan presiden itu menuruni tangga Istana. Menyunggingkan senyum tipis, ia melambaikan tangan kepada juru foto. Sesaat kemudian, dikawal pengamanan ketat ia melesat kembali ke Cendana.
Itulah pertemuan terakhir Soeharto dengan bekas anak buahnya. Setelah lengser, meski masih banyak petinggi militer dan para pejabat yang datang menjenguk, Soeharto memilih menarik diri. Satu-satunya saat ia menerima tamu adalah ketika Lebaran dan perayaan ulang tahunnya. Tapi pernah, sehari setelah lengser, sejumlah orang datang dan meminta Soeharto menengahi konflik di tubuh ABRI, tapi Soeharto tak mau. "Lho kalian yang menginginkan seperti ini. Kenapa harus meminta saya lagi?" kata Soeharto seperti ditirukan seorang petinggi militer.
Probosoetedjo juga emoh ketika Nurcholish Madjid menitipkan pesan padanya. Saat itu Cak Nur meminta Soeharto mengingatkan Habibie bahwa posisinya sebagai pejabat presiden hanya sementara. "Jangan sampai dia menganggap dirinya sebagai presiden definitif," kata Cak Nur seperti ditirukan Probo. Namun, Probo menggeleng. "Nggak ah. Saya tak mau berhubungan dengan orang itu," kata Probo. Belakangan, keluarga ini memilih menutup diri. Apalagi rumah mereka belakangan dibanjiri demonstran yang menuding Soeharto korupsi. "Semua keluarga terganggu," ujar Tutut.
Agaknya, karena itu pula, Juli 1998, dua bulan setelah lengser, Soeharto mengumpulkan keluarganya di Puri Retno, Anyer, Banten. Seusai makan malam di pinggir pantai, Soeharto minta anak-anak, menantu, dan cucu menerima kondisi pahit ini dan tabah melaluinya.
Menurut dia, ini adalah konsekuensi dari keputusannya untuk mundur. Dan begitu mundur, hujatan bukannya reda, justru malah bertubi-tubi. Karenanya, ia minta anak-anaknya tak bereaksi. Katanya, "Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan ikhlas. Mudah-mudahan, ini mengurangi beban saya di akhirat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo