Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Buku dan Aib Serdadu

Perseteruan antara Kivlan Zen dan Wiranto berlanjut: buku Kivlan yang membongkar aib Wiranto diluncurkan pada Kamis lalu. Akankah serangan ini melorotkan pamor sang calon presiden?

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACARA bedah buku itu akhirnya jadi juga digelar oleh Mayor Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen. Sekitar tiga ratus orang hadir berdesakan di aula Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis silam. Rata-rata hadirin takjub mendengar bekas Kepala Staf Kostrad itu berkisah tentang perkara gawat: konflik para jenderal di lingkungan TNI Angkatan Darat.

Bertajuk Konflik dan Integrasi TNI AD dan diterbitkan oleh Institute for Policy Studies, buku setebal 178 halaman itu padat dengan kisah gawat dalam sejarah TNI. Fokusnya, konflik antarelite militer. "Meski data sejarahnya bisa diperdebatkan, buku ini cukup berani," ujar sejarawan Anhar Gonggong, salah satu pembicara dalam acara diskusi bedah buku itu.

Bagian paling lancar adalah saat Kivlan bertutur tentang peran bekas Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Wiranto. Terutama, pada saat genting menjelang Sidang Istimewa (SI) MPR, 10 November 1998. Saat itu Jakarta lagi tegang. Sebagian kelompok masyarakat dan mahasiswa menolak sidang istimewa, yang dianggap cuma melegalkan posisi Habibie sebagai pengganti Soeharto. Gedung MPR/DPR di Senayan hendak dikepung massa anti-SI. TNI tak bisa berbuat banyak. "Wiranto meminta saya mengerahkan massa pendukung SI," ujarnya.

Sebetulnya Kivlan waktu itu sudah dicopot dari Kepala Staf Kostrad oleh Wiranto. Tapi Wiranto kembali memanggilnya. Wiranto tahu: Kivlan pernah berhasil menghalau mahasiswa dari Gedung MPR/DPR pada Mei 1998. "Dulu Bapak mencopot saya, saya sudah tak punya jabatan sekarang. Mengapa saya dipanggil?" tanya Kivlan. "Sudahlah, kamu kerahkan massa lagi, nanti saya kasih jabatan kalau selesai," ujar Wiranto seperti ditirukan Kivlan.

Kivlan pun setuju. Apalagi dia mendengar itu perintah dari Wakil Presiden B.J. Habibie. Soal pendanaan, Wiranto mengarahkan dia bertemu dengan Staf Wakil Presiden Jimly Asshiddiqie dan seorang pengusaha. Sore itu, masih pengakuan Kivlan, mereka bertemu dan dana awal pun cair.

Lalu Kivlan pun bergerak. Dia mengontak sejumlah organisasi Islam. Sekitar 30 ribu massa pun dikumpulkan di Parkir Timur Senayan sejak 6 November pada tahun itu.

Belakangan, massa pro-SI itulah yang dikenal sebagai Pasukan Pengamanan Swakarsa (Pam Swakarsa), satu bentuk pengerahan warga sipil yang bertujuan mengamankan SI. Menurut Kivlan, pengerahan massa pro-SI itu bisa menaikkan moral prajurit TNI. Skenarionya, kata Kivlan, pendukung SI itu didorong berhadapan dengan massa kontra-SI. "Aparat seolah-olah melerai," ujarnya.

Ditulis pada 2002, buku itu awalnya tesis S2 di program studi sosiologi pascasarjana Universitas Indonesia. Menurut Kivlan, buku itu sempat membuat pejabat di kampusnya agak pusing juga. Misalnya, Prof. Dr. Paulus Wirutomo mengaku kaget dengan rencana tesis Kivlan itu. "Biasanya soal pembangunan, tapi ini topiknya militer," ujar Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Sosial itu kepada Sudrajat dari TEMPO.

Meski itu unik, Paulus tetap mempersilakan Kivlan membuat tesis itu. Mungkin karena isunya sensitif, kata Kivlan, setelah rampung pun, fotokopi karyanya itu disimpan di perpustakaan kampus dan cuma beredar di kalangan terbatas. Dalam buku itu, misalnya, Kivlan mengungkap perseteruan penuh intrik antara Benny Moerdani dan kubu Prabowo Subianto. Menurut dia, konflik itulah yang menjadi latar pertikaian elite militer menjelang turunnya Soeharto. "Rencananya, 10 tahun lagi baru saya terbitkan," ujarnya.

Tapi mengapa buku yang membongkar aib serdadu itu terbit sekarang? Kivlan kini berterus terang, "Saya ingin Wiranto bertanggung jawab." Rupanya, selama ini dia merasa Wiranto selalu buang badan. Wiranto menolak mengaku memberikan perintah pembentukan Pam Swakarsa. Selain itu, kata Kivlan, Wiranto mencoba cuci tangan dari peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang telah makan banyak korban di Jakarta. Kekesalannya bertambah tatkala melihat Wiranto lolos dalam konvensi calon presiden dari Partai Golkar. "Saya rasa dia tak pantas jadi Presiden RI," ujar Kivlan.

Tentu, ada hal lain, mengapa Kivlan begitu geram terhadap bekas komandannya itu. Wiranto ternyata masih berutang kepada Kivlan. "Ongkos untuk menggerakkan Pam Swakarsa sekitar Rp 7 miliar," ujarnya. Sewaktu perintah itu turun, dia cuma mendapat bantuan dari Habibie yang diberikan lewat Jimly Asshiddiqie sebesar Rp 1,25 miliar. "Sisanya sebesar Rp 5,25 miliar belum dibayar oleh Wiranto," ujar Kivlan. Jimly, kepada TEMPO, telah membantah keterlibatannya dalam skandal itu (lihat TEMPO 1-6 Juni 2004).

Menurut Kivlan, Wiranto telah menzalimi dirinya. Akibat utang itu, hidupnya sempat morat-marit. Dia terpaksa menjual rumah dan mobil untuk menutup sisa utang itu. Apalagi jabatan yang dijanjikan tak pernah kunjung tiba, sampai akhirnya dia pensiun sebagai staf ahli KSAD. "Saya merasa dibohongi," ujarnya.

Awalnya, catatan "dosa" Wiranto itu disimpannya dalam hati saja. Ketika bulan silam dia mendapat kesempatan bicara dalam diskusi buku Politik Huru-hara Mei 1998 karya Fadli Zon, mulut Kivlan langsung nyerocos tanpa rem, baik di Surabaya maupun di Jakarta. Wiranto diserangnya habis-habisan. Sejak itu, cerita Kivlan versus Wiranto tampil terbuka ke publik.

Yang menarik, buku Fadli itu membongkar kerusuhan Mei 1998, yang ujungnya, lagi-lagi, Wiranto harus bertanggung jawab selaku Panglima ABRI. Penerbitnya juga sama dengan buku Kivlan, Institute for Policy Studies?lembaga kajian politik tempat Fadli menjadi direktur eksekutif. Baik Fadli maupun Kivlan dikenal sebagai sohib dekat bekas Panglima Kostrad Letjen (Purn.) Prabowo Subianto. Semua orang tahu, Prabowo dikalahkan Wiranto dalam konvensi calon presiden Partai Golkar, April silam. Ada motif balas dendam?

Fadli Zon, 33 tahun, membantah keras tudingan itu. Menurut Fadli, Prabowo sendiri tak begitu suka buku seperti itu diterbitkan. Kivlan sendiri mengaku sudah empat tahun tak bertemu Prabowo. Bahkan Prabowo pernah curiga, dia telah memihak ke Wiranto karena menggerakkan Pam Swakarsa. Diakui, Kivlan memang pernah akrab dengan Prabowo, saat putra mendiang pemikir ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu masuk Akademi Militer Nasional di Magelang. Mereka pernah membangun kelompok pengajian pada masa menjadi taruna. Lalu para bekas anggota klub ini sempat pula menjadi "klik" di elite militer (lihat Kelompok Komando Masjid).

Menurut Fadli, buku karya dia, dan juga Kivlan, sengaja diterbitkan sebagai tandingan buku Wiranto sendiri, Bersaksi di Tengah Badai. Buku itu ditulis Wiranto setahun silam dan bercerita tentang peristiwa Mei 1998. "Banyak keterangan Wiranto tak sesuai dengan fakta lapangan," ujar Fadli.

Beda versi inilah yang lalu membuat ramai. Kivlan yakin dia dalam posisi benar. "Saya punya bukti tertulis, sampai dengan surat-suratnya," ujar Kivlan. Dia mengaku, buku itu hampir gagal terbit. Soalnya, seseorang yang mengaku utusan Wiranto mendatanginya pada sekitar 26 Mei lalu. Utusan itu menyampaikan pesan Wiranto agar buku itu tidak dulu diterbitkan. Soalnya, Wiranto khawatir efek buku akan mengganggu kampanyenya sebagai kandidat Presiden RI.

Namun misi itu gagal. Kivlan mengatakan bukunya sudah hampir selesai. Jadi, tak bisa ditunda lagi. Utusan itu mengatakan akan mengganti uang Rp 5,7 miliar. Kivlan sempat berpikir ulang dan menimbang usul itu. Syaratnya, "Besok uangnya harus sudah ada," ujar Kivlan. Utusan itu, masih menurut Kivlan, minta waktu dua pekan. Dia juga ditawari jabatan duta besar di Inggris. "Saya tolak. Saya bukan orang yang mau jadi tukang antar-jemput tamu negara," kata Kivlan terkekeh.

Duit itu akhirnya batal sampai ke tangan Kivlan. Dia juga tak mau lagi meladeni tawar-menawar seperti itu. Dia menolak disebut memeras. "Saya cuma minta hak," katanya. Kalaupun duit itu kembali, dia akan membagikannya ke pengacara, pondok pesantren, dan mereka yang pernah terlibat Pam Swakarsa. "Saya tak kan menyentuh uang itu," ujarnya. Yang pasti, kata Kivlan, dia siap bertarung di pengadilan.

Entah karena kesiapan Kivlan berlaga di meja hijau itu atau tidak, menurut pengacara Wiranto, Yan Juanda Saputra, Kivlan justru yang akan lebih dulu menendang bola. Kivlan akan melempar somasi ke kubu Wiranto. "Kita disomasi karena dituding mencemarkan nama baik Kivlan," ujar Yan. Kabarnya, Kivlan tak senang dengan ucapan Wiranto dan tim kampanyenya, antara lain Suaidi Marasabessy dan tokoh Partai Kebangkitan Bangsa?partai pendukung Wiranto?Mahfud Md. Soalnya, tim kampanye Wiranto itu pernah menyebut Kivlan kurang waras. Sampai akhir pekan lalu, Wiranto belum mengambil langkah hukum yang pasti. "Ini menyangkut TNI. Kita harus hati-hati," ujar Yan.

Mungkin kubu Wiranto tak begitu terpengaruh oleh gerak Kivlan. Fachrul Razi, anggota tim kampanye Wiranto yang lain, mengatakan serangan Kivlan cuma membentur angin. Justru dengan begitu, kata Fachrul, pendukung Wiranto tambah kukuh. Bahkan citra Wiranto kian tegas sebagai pemimpin kuat. "Mereka tahu, ini kampanye negatif saja," ujar Fachrul, pensiunan jenderal bintang empat dan bekas Wakil Panglima ABRI itu. Adapun Wiranto memilih tak banyak bicara, "Saya tidak mau melayani isu-isu ini," katanya (lihat "Nanti Saya Jelaskan Semuanya").

Tim kampanye Wiranto, menurut Fachrul, tak begitu peduli dengan isu yang ditiupkan Kivlan itu. Mereka sibuk merambah pelosok negeri mencari dukungan untuk pemilihan presiden mendatang. Pekan lalu, Wiranto aktif kampanye di Indonesia Timur. Dari Papua, Maluku, Gorontalo, Manado, sampai Makassar. "Kami tak punya waktu menghadapi hal-hal begitu," ujarnya.

Di atas kertas, keyakinan Fachrul mungkin ada benarnya. Menurut peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani, dibandingkan dengan calon lain, pendukung Wiranto memang lebih banyak di pedesaan. Dari hasil survei LSI terakhir, sekitar 60 persen warga pedesaan mendukung Wiranto. Adapun warga yang tinggal di kota hanya 33 persen menyokong calon presiden dari Partai Golkar itu. Artinya, dampak kampanye di perkotaan tak terlalu besar. "Adapun media elektronik sulit menjangkau desa-desa terpencil," ujar Saiful.

Nezar Patria, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus