DALAM politik, tak ada kawan sejati, tak ada pula musuh yang abadi. Kisah persahabatan dan perseteruan itulah yang terlihat dalam pemaparan Mayjen (Purnawirawan) Kivlan Zen saat ia meluncurkan bukunya, Konflik dan Integrasi TNI AD, Kamis pekan lalu.
Alkisah, menurut Kivlan, adalah Mayor Prabowo Subianto yang ingin melancarkan karier militer Kolonel Wiranto dengan mendorongnya menjadi ajudan Presiden Soeharto. Niatnya agar komunikasi Prabowo dengan Presiden bisa dilancarkan Wiranto.
Prabowo mengusulkan kepada Letkol Kivlan Zen, yang menjabat perwira urusan pangkat dan jabatan di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), agar bisa mengusulkan nama Kolonel Wiranto?saat itu Kepala Staf Brigade Infanteri IX Kostrad?kepada Panglima Kostrad dan Kepala Staf AD untuk menjadi ajudan Soeharto.
Saat itu, kata Kivlan, dirinya sebenarnya tidak sreg dengan Wiranto, yang pernah menjegalnya menjadi komandan batalion. Ketika itu, setelah lulus lima besar dari kursus komandan batalion di Pusat Persenjataan Infanteri Bandung, oleh kepala sekolah yang dijabat Wiranto, Kivlan malah diparkir di tempat lain.
Namun, atas permintaan Prabowo, Kivlan tak bisa mengelak. Apalagi Prabowo sudah kesengsem dengan jasa baik Wiranto dalam operasi di Timor Timur. Kivlan pun meneruskan usul itu kepada atasannya.
Seperti ditulis Kivlan dalam bukunya, akhirnya Wiranto diangkat menjadi ajudan presiden. Atas pengangkatan itu, Wiranto mengucapkan terima kasih. ?Karena paraf saya, dia menjadi ajudan,? kata Kivlan.
Belakangan, karier Wiranto terus bersinar setelah menjadi ajudan Soeharto. Ia menjadi orang penting di jajaran elite tentara di Jakarta. Selepas ajudan, ia menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya, terus menanjak menjadi Panglima Kodam Jaya. Setelah menjabat Panglima Kostrad, bintang Wiranto terus bersinar sampai menjadi Panglima ABRI di puncak kegentingan menjelang Soeharto jatuh.
Tapi pertemanan tak berumur panjang. Banyak orang mafhum, antara Wiranto dan Prabowo kemudian terjadi persaingan ketat.
Selepas kejatuhan Soeharto, seperti ditulis Kivlan, Prabowo misalnya sangat khawatir akan disingkirkan oleh Wiranto, yang memegang dua jabatan penting: Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan. Skenario kelompok Prabowo, kata Kivlan, biarlah Wiranto mendapat jabatan Menteri Pertahanan, tapi jabatan Panglima ABRI meski dipindahtangankan kepada orang lain.
Prabowo lalu meminta Kivlan menghadap Jenderal Besar A.H. Nasution. Intinya agar ?Pak Nas? menyarankan kepada Presiden Habibie untuk memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI.
Kata Kivlan, ia mendapat restu dari A.H. Nasution dan sedianya surat restu itu akan diserahkan Kivlan kepada Habibie. Namun, di rumah Habibie, Kivlan urung bertemu dengan Presiden karena di sana ia melihat Wiranto masuk ke ruang makan. Kivlan, yang kikuk, akhirnya memutuskan batal bertemu dengan Habibie. ?Saya kan enggak mau dua jenderal bertempur saat itu,? kata Kivlan dalam acara peluncuran buku, yang kemudian disambut gelak tawa hadirin.
Selanjutnya Wiranto berjaya dan Prabowo dicopot dari jabatan Panglima Kostrad, menyusul kasus penculikan aktivis yang menyeret namanya.
Kivlan, yang merasa segerbong dengan Prabowo, bernasib sama: dia dicopot dari jabatan Kepala Staf Kostrad. Kata Kivlan, pencopotan itu lantaran ia ikut dalam diskusi yang membahas keabsahan Habibie, perubahan UUD 1945, serta pemilihan presiden langsung di Hotel Regent, Jakarta. Meski sudah dicopot, belakangan Kivlan mau pula ketika Wiranto memintanya mengumpulkan massa untuk Pam Swakarsa.
Prabowo Subianto, sayangnya, tak bisa dikontak untuk mengkonfirmasikan cerita Kivlan ini. Tapi, menurut Fadli Zon, Direktur Institute for Policy Studies dan kawan dekat Prabowo, ia tidak pernah mendengar dari Prabowo cerita Kivlan itu. Adapun Wiranto memilih tak banyak berkomentar. Tapi, menurut Koordinator Bidang Perencanaan, Konsepsi, dan Evaluasi Tim Kampanye Wiranto, Letjen (Purn.) Suaidi Marasabessy, serangan Kivlan ini dilakukan sebagai bentuk kampanye negatif terhadap calon presiden dari Partai Golkar itu.
Pengamat militer M.T. Arifin mengatakan pengungkapan secara blakblakan seperti yang dilakukan Kivlan bernilai positif dalam demokrasi. Publik jadi tahu ada aksi intrik di dalam tubuh tentara oleh para jenderal untuk memperebutkan kekuasaan. ?Semua ini baik selama bukan menjadi ajang balas dendam. Semua ini adalah bagian dari horizon dalam tubuh militer,? katanya.
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini