Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kemarahan Tisna Sanjaya

Enam karya grafis bermedia arang Tisna meruapkan kepedihan dan segala yang muncul dari kekelaman.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya karena ukuran yang besar karya Tisna Sanjaya lebih mengundang perhatian daripada karya kedua pegrafis yang lain, Ay Tjoe Christine dan Devy Ferdianto. Juga, karena warna bidang gambarnya yang hampir sepenuhnya hitam arang, lalu gambar tubuh manusia yang terkapar telanjang dengan posisi telungkup yang menyarankan sesosok ”korban”, mengundang mata untuk lebih mendekat. Inilah yang langsung terkesan dari pameran bertiga di Goethe Institut, Jakarta, yang berakhir dua pekan lalu.

Warna hitam seperti sudah melekat pada Tisna. Di tangannya warna hitam mungkin memudahkannya menampilkan karya-karya yang secara ”material” sederhana. Tisna seperti menyadari benar bahwa ia hidup di negara yang sa-lah satu masalahnya adalah kemiskin-an. Barang bekas—dinding bambu, sekop, kaleng dan sebagainya—sering muncul pada karya-karyanya. Mungkin ia berupaya agar karya grafisnya tidak menjadi ”perhiasan dari kekayaan materi yang tegak di atas kemiskinan” (Goenawan Mohamad, ”Ilusi-ilusi Seni Modern di Indonesia”).

Di hadapan karya grafis Tisna Sanjaya yang ”terdengar” adalah suara dari ”bawah”. Juga, atau lebih-lebih-, pada pameran bertiga di Goethe ini. ”Bawah” di sini tak hanya menyiratkan lapisan masyarakat yang kurang beruntung, tapi lebih mewakili yang terzalimi, yang tak lagi tahu ke mana harus mengadu selain ke ”Atas”. Maka, bukan hanya ada cerita tentang debus- (yang gambar goloknya demikian terasa magis), juga ada kisah Munir yang dibunuh. Pada karya yang di-sebut terakhir itu, Tisna memasukkan grafiti. Silakan membacanya; dan Anda akan me-rasakan kemarahan perupa yang be-berapa lama lalu karyanya- dibakar oleh petugas ketertiban di Bandung ini. Atau mengabaikannya, dan hanya- me-nangkap grafiti itu sebagai garis dan bentuk, sebagai karakter huruf-; dan Anda akan merasakan bahwa kar-ya ini menyiratkan sebuah pesan, dan pesan yang didukung suasana hitam coreng-moreng ini terasa sebagai bukan- kabar gembira, melainkan sebaliknya.

Bagaimana kuatnya warna hitam Tisna bisa dilihat pada sebuah karya yang di bidang atas dan bawah menggambarkan panorama warna-warni pedesaan Indonesia. Panorama itu pun menjadi sekadar hiasan yang menambah hitamnya warna arang. Kontras seperti ini, seingat saya, jarang dipakai- oleh Tisna: untuk mengesankan pahit dan gelapnya hitam ia tak perlu membuat kontras.

Karena itu, buat saya, berlebih-an- bahwa pada karya Kurban yang meng-gambarkan kambing disembelih, ada lumuran darah kambing sebenar-nya. Andai itu hanya cat merah-kecokelatan, bukan darah, pun tak perlu. Seluruh bidang gambar yang hitam dan ”bayang’bayang” kambing sudah te-rasa sebagai sesuatu yang menekan, ke-lam, sebuah perjalanan yang sudah pasti arahnya, dan ke sanalah semua yang hidup menuju.

Arang Tisna memang khusus (”terbuat dari bekas pasar rakyat, lapak, kios, rumah ibadah, karya seni, hutan yang dibakar”—demikian etiket pada botol tempat arang Tisna yang ikut dipamerkan), bukan hanya ”berguna sebagai alat gambar, lukis, menulis”, tapi juga sebagai ”obat mencret dan lupa”.

Barangkali agar kita tak melupakan- iklan dari Freedom Institut yang mendukung penaikan harga BBM sekian lama lalu, Tisna memperbesar iklan itu dengan teknik cetak-saring, menyapukan arang di sana-sini, dan mencetak tubuh terkapar berkalang tanah. Beda dengan grafiti pada karya untuk Munir, huruf-huruf cetak iklan ini terasa tak menimbulkan satu imaji dengan hitam arang dan tubuh terkapar. Penaikan harga BBM membuat rakyat terkapar? Bisa jadi, tapi tema ini sampai pada kita secara ”verbal”, bukan secara gambar.

Warna dan tema enam karya Tisna ka-li ini terasa didorong rasa amarah. Bi-la itu terendapkan, hasilnya adalah ce-rita tentang Munir atau kambing. Bi-la kurang, contohnya adalah iklan yang diperbesar itu. Dan menurut sa-ya, sengaja atau tidak, kurator pamer-an- ini, Hendro Wiyanto, berupaya me-nyuguhkan kontras. Hasilnya, -hitam dan kepedihan Tisna makin terasa berdampingan dengan garis-garis li-ris- dan ruang kosong Christine dan fi-gur-figur yang diolah menjadi cerita da-ri Devy.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus