Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA anggota tim penyergap Detasemen Khusus 88 Antiteror mengendap-endap di dekat rumah itu. Sejenak mereka melongok jendela, lalu bergeser ke arah belakang. Seorang dari mereka lalu menyepak pintu bagian bawah. Tapi pintu itu tak bergerak. Pintu bagian atas lalu dihantam dengan lengan. Terbuka. Pelan-pelan polisi itu menarik daun itu ke arah luar.
Tak segera masuk, mereka mundur lalu mengintai dari jarak enam meter. Tiga menit kemudian secara serempak timah panas dimuntahkan. Tar-tar-tar...! Tak lama. Semenit kemudian, seorang polisi memerintahkan tembakan disetop. Sunyi. Tak ada reaksi dari dalam. Segera mereka masuk rumah. Sekitar lima menit, polisi berada di dalam. Sebentar kemudian, mereka keluar. Sang buron dipastikan tewas. Beberapa polisi terlihat satu sama lain mengadu telapak tangan. Misi selesai.
Itulah akhir kisah pelarian buron nomor satu negeri ini, Noor Din Mohammad Top. Pria kelahiran Kluang, Johor, Malaysia, 11 Agustus 1968 ini meregang nyawa di kamar mandi rumah persembunyiannya. Rumah berdinding tembok milik Muhzahri, 70 tahun, di Dusun Beji, Kecamatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu siang pekan lalu. ”Kami pastikan Noor Din tewas,” kata seorang perwira polisi. Namun Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri belum resmi mengkonfirmasi, ”Apakah Noor Din atau bukan, belum bisa kami pastikan.”
Aparat kini telah mengumpulkan DNA anak Noor Din untuk dicocokkan dengan sang buron. Sepekan lalu, dikabarkan DNA anak Noor Din dari istri pertama telah pula diambil. Kabar bahwa Noor Din telah ”dikunci” memang telah beredar di kalangan wartawan seminggu lalu.
Tiga jam sebelum kematian itu, polisi masih berusaha mendobrak pintu depan. Bom berdaya ledak rendah mereka gunakan. Pintu terbuka. Robot berkamera segera disusupkan masuk rumah. Polisi melakukan itu setelah gagal membujuk si buron menyerah. Sejak Jumat petang, polisi mengepung dari sisi kiri, kanan, dan depan.
Sabtu pagi itu, pasukan penyergap dari tim antiteror bergerak naik ke bukit, persis di belakang rumah. Sempat pula terjadi dialog antara polisi dan Noor Din. Ia tak ingin menyerah. ”Dia bilang, harus ada polisi yang mati,” kata sumber Tempo. Sumber lain menyatakan, dari dalam rumah sempat ada pengakuan, ”Saya Noor Din.” Ada pula cerita, Noor Din sempat merintih.
Jumat tengah malam, suara tembakan memecah keheningan. Sejak sore, warga sekitar berjubel menyaksikan peristiwa ini pada jarak 50-100 meter. Tepat pukul 24.00, polisi menghalau penduduk hingga jarak satu kilometer. ”Areal ini harus steril, akan ada penyergapan,” kata polisi.
Sorot lampu mobil polisi mengarah ke suatu titik tak jauh dari rumah. Senapan polisi kembali menyalak. Seorang warga Kedu mengungkapkan, dua orang ditangkap di kebun jagung sebelah rumah. Mereka terluka. Hingga Sabtu malam, tak jelas siapa yang disergap. Polisi belum memberikan informasi.
DI bengkel sepeda ontel Pasar Kedu, sebelum pengepungan persembunyian Noor Din, polisi menangkap Hendrawan, 32 tahun, dan Arif, 25 tahun. Menurut Syaiful Anam alias Brekele, Hendrawan dan Arif adalah saudara sepupu Tatag, Ketua Remaja Masjid Beji, sekitar 300 meter dari rumah persembunyian Noor Din. ”Mereka sel saya,” katanya. Brekele adalah narapidana 28 tahun yang ditangkap dua tahun lalu karena terlibat konflik Poso. Ia dicokok polisi di rumah kontrakannya di Dusun Kebon Salak, Desa Purwosari Kecamatan Kranggan, Temanggung, tak jauh dari tempat persembunyian Noor Din (lihat ”Saya Heran Kok ke Situ Lagi”).
Menurut Brekele, Tatag adalah sulung dari dua anak Muhzahri. Ia sering mengundang Brekele mengisi pengajian Ramadan dan pengajian bulanan di Beji. Sebelum dan sesudah pengajian, Brekele mampir di rumah Muhzahri, tempat persembunyian terakhir Noor Din. Di mata Brekele, Muhzahri adalah orang tua yang baik dan tak ada sangkut-paut dengan terorisme.
Muhzahri pensiunan guru agama sekolah dasar. Kini ia mengajar di SMP Muhammadiyah Kedu. Muhzahri juga khatib Jumat di masjid Dusun Beji. Selain mengajar, Muhzahri juga berkebun dan menggarap sawah. Istri Muhzahri, Endang Istiningsih, 60 tahun, juga dikenal Brekele. ”Saya sering disuguhi makan,” katanya.
Ketika Brekele bermukim di Beji, Tatag tak tahu bahwa ia terlibat teror Poso. ”Tatag baru tahu saya teroris setelah saya ditangkap polisi,” kata Brekele. Sadar akan juga ditangkap, Tatag kabur. Tak lama setelah Brekele ditangkap, Tatag diringkus aparat.
SEJAK bom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton menggelegar pada 17 Juli lalu, polisi kembali memburu Noor Din.Dalam aksinya Noor Din menggandeng Ibrohim, penata bunga yang bekerja di Hotel Ritz-Carlton. Sumber Tempo mengatakan, Ibrohim sudah ditangkap di halaman Plaza FX Senayan, Jakarta, beberapa jam setelah bom meledak di Marriott dan Ritz-Carlton. Tapi juru bicara Markas Besar Kepolisian Nanan Soekarna membantah informasi ini. ”Ibrohim belum ditangkap,” katanya.
Sumber itu mengatakan, penangkapan Ibrohim memang tak dipublikasikan. Sebab, ia pelaku kunci. Melalui Ibrohim ini, kata sumber tadi, polisi mengorek anggota jaringan yang terlibat, jalur pelarian, dan titik-titik persembunyian Noor Din. Informasi lokasi persembunyian di Temanggung, kata sumber itu, juga berkat pengaku-an Ibrohim. Termasuk, penggerebekan rumah di Perumahan Puri Nusaphala, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu (lihat ”Gudang Bom di Rumah Kontrakan”).
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Bambang Hendarso Danuri mengatakan, informasi tentang rumah di Jatiasih didasarkan pada ”nyanyian” Amir Ibrahim, yang ditangkap di Koja, Jakarta Utara, Rabu pekan lalu. Selain Amir juga ditangkap Suryana Surlok alias Yayan, calon pengebom bunuh diri. Amir adalah penyewa kamar 1808 JW Marriott.
Bambang Hendarso mengatakan, setelah Amir ditangkap, polisi memfokuskan aksi pada tiga lokasi sekaligus: Temanggung, Solo, dan Jatiasih. ”Semuanya mesti dikunci,” ujarnya. Apalagi Solo dan Temanggung sudah diintai polisi juga sejak sepuluh hari sebelum penyergapan.
Di Solo polisi sudah mendapatkan seorang berinisial SS, perekrut Ibrohim serta sang ”pengantin”—nama sandi untuk pengebom bunuh diri—yakni Dani Dwi Permana, 19 tahun, dan Nana Ikhwan Maulana, 28 tahun. Dwi, warga Telaga Kahuripan, Parung, Bogor, adalah pengebom bunuh diri Marriott. Sedangkan Nana, warga Pandeglang, Banten, pengebom bunuh diri Ritz-Carlton. ”Kami sudah tahu sejak tanggal 3 Agustus lalu, dan kami simpan dulu sampai ada perkembangan,” kata seorang polisi.
Menurut Kapolri, tiga tempat diawasi sekaligus karena polisi tak ingin kecolongan. Bila satu daerah saja yang difokuskan, ”Yang lain akan terlewat.”
NOOR Din lulusan Jurusan Teknik Mesin Universiti Teknologi Malaysia di Skudai, Johor Malaysia. Saat kuliah, ia mengaji ke Pesantren Luqmanul Hakiem, Ulu Tiram, Johor. Menurut Penasihat Senior International Crisis Group Jakarta, Sidney Jones, sikap radikal Noor Din dipengaruhi Hambali, yang kini ditahan di Guantanamo. Hambali adalah Ketua Mantiqi I Jamaah Islamiyah yang berpusat di Johor. Orang Cianjur ini taat pada Usamah bin Ladin, yang pada 1998 memfatwakan serangan terhadap Amerika dan negara Barat.
Noor Din masuk ke Indonesia pada 2002 melalui Riau, setelah Malaysia menangkapi aktivis Kumpulan Mujahidin Malaysia. Noor Din lalu menikahi Rahma, adik Muhammad Rais, saat di Johor. Rais dan Rahma adalah anak Rusdi, warga Rokan Hilir, Riau, yang kemudian hijrah ke Johor. Rais juga santri Luqmanul Hakiem. Rais, 35 tahun, sempat dipenjara karena membawa bahan peledak untuk bom Marriott 2003.
Noor Din dan Rais sempat membuka bengkel shock breaker mobil di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sebelum bom meledak di Bali pada 12 Oktober 2002, perakit bom Dr Azahari bergabung. Polisi memburu Noor Din dan Azahari karena terlibat bom Bali. Mereka juga merancang bom Marriott setahun kemudian.
Noor Din dan Azahari sempat bersembunyi di Bandung. Di sana mereka menyiapkan bom untuk Kedutaan Besar Australia, Oktober 2004. Noor Din dan Azahari juga merancang aksi bom Bali, Oktober 2005. Azahari tewas saat disergap polisi di Kota Batu, Jawa Timur, sebulan setelah bom Bali II. ”Sejak itu Noor Din terus berpindah. Tapi masih di Jawa, terutama Jawa Tengah,” kata Sidney.
NOOR Din tewas meninggalkan anggota jaringan yang masih berserak. Ada Taufiq Buraga atau Upik Lawanga. Ia peracik bom Marriott dan Ritz-Carlton. Upik menjadi jaringan Noor Din melalui Maruto Jati Sulistyono dan Tedi alias Reno. Dua orang ini berada di bawah Noor Din dalam struktur kelompok. Maruto, 30 tahun, kata Sidney, mulai diketahui ada dalam jaringan Noor Din setelah polisi menggerebek rumah persembunyian di Wonosobo, Jawa Tengah.
Maruto sempat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. Ia berasal dari Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Tedi, 35 tahun, lulusan Ma’had Aly Solo. Ia belajar membuat bom pada Azahari. Tedi, kata Nasir, membantu menyiapkan bom Bali II. Ketika polisi memberondong Azahari di Batu pada November empat tahun lalu, Tedi juga di sana tapi lolos. Tedi, kata Sidney, besar kemungkinan adalah Aji, guru pembuat bom dalam kelompok Palembang.
Sumber di kalangan tentara menyebutkan, selain Upik, ada tiga perakit bom lain: Gun Gun, Imadudin, dan Muchliyansyah. Gun Gun punya hubungan dengan Ali Mughorobi di Kediri, Jamal di Klaten, Mutawakil di Bali, dan Daryanto di Temanggung.
Selain mereka, ada sejumlah anggota jaringan Jamaah Islamiyah yang diyakini berkeliaran di Indonesia. Dalam daftar International Crisis Group Mei lalu, selain Upik Lawanga, ada tujuh buron lain yang terlibat rusuh Poso: Aris Sumarsono alias Zulkarnaen, Taqwimbillah, Ustad Rifqi, Ustad Munsip, Ustad Kholiq, Ustad Yahya, dan Enal Ta’o.
Zulkarnaen adalah angkatan pertama pelatihan perang di Afganistan pada 1985. Lahir di Sragen, Jawa Tengah, 1963, ia pemasok logistik aksi bom. Zulkarnaen komandan Jamaah Islamiyah untuk bidang militer. ”Ia terlibat sejumlah peledakan bom, termasuk bom Bali I,” kata Sidney Jones.
Buron lain, Taqwimbillah, pernah hampir ditangkap polisi di Sukoharjo, Jawa Tengah, dua tahun lalu. Ia kelompok Abu Dujana. Adapun Ustad Rifqi berumur 33 tahun. Setelah mendapat pelatihan militer di Mindanao, ia mengajar di Pesantren Al-Amanah, Poso, Sulawesi Tengah, pada 2003. Ia mengajar kemiliteran pada orang-orang Poso yang ia rekrut. Rifqi kemudian lari ke Jawa bersama Ustad Kholiq dan Ustad Yahya.
Seperti Rifqi, Kholiq juga lulusan kamp pelatihan militer di Mindanao yang kemudian mengajar di Pesantren Al Amanah. Sedangkan Yahya membantu membawa ke Jawa sejumlah ustad yang mengajar di Poso pada Januari 2007. Yahya dipercaya dibantu Abu Fatih, pimpinan Jamaah Islamiyah untuk Sulawesi.
Rifqi dan Yahya, bersama Ustad Munsip, terlibat perampokan toko emas. Munsip anggota senior Jamaah Islamiyah di Poso. Munsip pernah berlatih di Mindanao dan mengajar di Pesantren Al Amanah Poso. Ia kabur dari Poso ke Parepare setelah polisi menyapu pesantren itu pada Januari 2007. Dari Parepare, Munsip balik ke Jawa.
Masih dalam jaringan Poso, ada Enal Ta’o. Ia anggota Jamaah Islamiyah asal Malaysia keturunan suku Tausug, Filipina. Pria 31 tahun ini juga terlibat sejumlah pembunuhan dan perampokan di Poso. Ia juga pernah menyerang kantor polisi Poso.
Sumber di kalangan tentara juga mencatat nama Ustad Sanusi dalam daftar jaringan Poso. Sanusi, berasal dari Jawa, terlibat perencanaan pembunuhan tiga siswa SMA Kristen yang dipenggal kepalanya pada Oktober empat tahun lalu.
Anggota Jamaah Islamiyah lain yang hingga kini buron adalah Tukiadi alias Ilyas dan Asep bin Abubakar alias Darwin. Tukiadi berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Ia pelatih di kamp militer Jamaah Islamiyah di Mindanao. Tukiadi belajar merakit bom pada Azahari pada 2004.
Asep ambil bagian dalam bom malam Natal tahun 2000 dan pengeboman Atrium Senen tahun berikutnya. Setelah peristiwa itu, ia diyakini terbang ke Mindanao. ”Tapi sejumlah laporan menyatakan Asep tinggal di Kalimantan Timur,” kata Sidney.
Selain itu, ada lagi enam pengebom yang pernah beraksi di Indonesia tapi kini diduga kuat melarikan diri ke Mindanao. Mereka Umar Patek, Joko Pitono alias Dulmatin, Hari Kuncoro alias Bahar, Muawiyah alias Manobo, Zulkifli bin Hir alias Marwan, dan Ustad Sanusi alias Ishak.
Sumber di kalangan Jamaah Islamiyah mengungkapkan, masih banyak pembuat bom dan eksekutor bunuh diri yang berkeliaran. Mereka disebut pasukan khos, berjumlah paling tidak seratus orang. ”Mereka siap dipanggil untuk aksi bom bunuh diri,” katanya.
Sunudyantoro, Yophiandi, Munawwaroh (Jakarta), M. Syaifullah dan Sohirin (Temanggung), M. Darlis (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo