Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembali ke Bumi Manusia

25 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pramoedya Ananta Toer 6 Februari 1925–30 April 2006

”Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Pramoedya Ananta Toer melakukan perlawanan hampir sepanjang hidupnya. Sejak masa kanak-kanak di Blora ikut angkat senjata di era kolonial hingga ketika kemerdekaannya dirampas oleh penguasa Orde Baru. Ia melakukannya persis seperti yang dihayati tokoh Nyai Ontosoroh dalam buku Bumi Manusia. ”Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” ujar Nyai Ontosoroh kepada Minke.

Cara terhormat yang ia yakini itu adalah dengan menulis, menulis, dan menulis. Tentu saja ia pernah menyingkirkan pena dan menggantinya de­ngan bedil. Itulah ketika lelaki kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, ini bertugas sebagai perwira perhubungan di Divisi Siliwangi pada Perang Kemerdekaan. Episode ini kelak menjadi sumber inspirasinya bagi novel Krandji-Bekasi Jatuh (1947).

Selama hayatnya Pram menulis 50-an buku yang diterjemahkan ke le­bih dari 41 bahasa. Di lembaran kitab-kitab itu ia mempertahankan keyakin­annya, memperjuangkan pikirannya, meski akhirnya menanggung seluruh risiko karenanya. Pram dibuang ke pengasingan selama 14 tahun (10 tahun di antaranya di Pulau Buru), juga diteror lawan-lawan politiknya. Ia tergulung prahara politik 1965.

Namun, pengasingan tak pernah melumpuhkan Pram. Karya-karyanya deras mengalir, melintasi waktu. Ia lalu menjadi ikon sastra, ikon politik, sekaligus ikon perlawanan (komunitas punk mendaulatnya sebagai datuk). Maka muncullah istilah Pramis yang dilekatkan pada para pemujanya.

Hari itu, 30 April 2006, Pram sampai kepada titik. Anak sulung sembilan bersaudara dari pasangan Mastoer-Oemi Saedah ini mengakhiri perlawanannya. Gula darah, penyakit jantung, dan, belakangan, penyakit ginjal telah menggempur tubuhnya.

Pram pergi meninggalkan beragam tafsir atas sosoknya. Ia dikecam sekaligus dipuja. Ia pernah dikurung, tapi karyanya terbang bebas. Ia memetik banyak penghargaan internasional, tapi miskin penghargaan di negeri sen­diri. Ia pembenci yang santun. Ia menghardik, tapi juga menyapa.

Pram disemayamkan di pemakaman Karet, Jakarta. Dalam Rumah Kaca, ia pernah berucap: Semua akan bertemu dalam alam mati, tidak peduli raja tidak peduli budak. Betapa sederhananya mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus