Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bila Manajer Jepang Masuk Sekolah

Semangat berguru mahasiswa Jepang yang menggebu, terutama di lapangan perdagangan/manajemen di AS. Mereka mempraktekkan tradisi samurai di lapangan bisnis. (sel)

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA orang Jepang pertama kali membuat alat pemotret, mereka lebih dulu membongkar sebuah kamera Amerika. Semua bagian ditiru, sampai onderdil yang paling halus dan musykil. Kemudian 'penemuan' itu dikembangkan -- hingga akhirnya kamera Amerika sendiri tersudut di pasaran. Demikian kata dongeng. Mungkin cerita tersebutdikarang sekedar menggampangkan penggambaran "semangat berguru" Jepang yang menggebu, terutama sekali di lapangan perdagangan. Bertahun-tahun Jepang mengirimkan ribuan pemudanya keberbagai sekolah dagang di Amerika Serikat. Mereka terus terang mengaku belajar banyakdari pengalamandan teknik manajemen sana. Sekarang pun, berbagai perusahaan Jepang masih mengirimkan para eksekutif yuniornya ke Amerika, terutama untuk program MBA (Master of Business Administration). Tak ada angka yang pasti mengenai jumlah siswa itu setiap tahun. Namun "berdasarkan percakapan dengan sejumlah pejabat sekolah dagang AS, pendaftaran dan penerimaan siswa Jepang di sekolah-sekolah tersebut terus meningkat," tulis majalah Business Week. Tapi alas yang mendorong para eksekutif muda itu meninggalkan kampung halamannya sudah mengalami perubahan--beberapa tahun ini. Mereka, sebenarnya, tidak lagi tertarik mempelajari "teknik baru" untuk dipraktekkan di negeri sendiri. Mereka lebih banyak didorong oleh kepentingan lain: berkenalan--melalui sekolah dagang tadi--dengan para calon eksekutif dunia usaha AS, yang akan memainkan peranan penting di masa depan. "Mereka juga ingin mengetahui bagaimana para manajer Amerika mengambil keputusan," kata Business Week menambahkan. "Tujuan akhir mereka ialah menjadi saingan yang lebih kuat--baik untuk perusdhaan AS maupun perusahaan internasional umumnya. " KESIMPULAN itu tak dibantah Noritake Kobayar shi, direktur sekolah dagang Universitas Keio. "Banyak perusahaan Jepang sekarang ini mengarahkan pandangan pada operasi internasional," katanya. "Mereka ingin para manajernya menjalin 'budaya bisnis' yang layak dengan para saingan di Barat." Pembicaraan dengan sejumlah eksekutif Jepang lulusan Amerika justru memperkuat bukti. "Saya banyak memetik pelajaran dari Wharton," ujar Yotaro Kobayashi, sekarang Direktur Fuji Xerox Co. "Terutama bukan dari kurikulumnya--melainkan dari kontak perorangan." Seorang MBA lulusan Universitas Colomb ia, yang kini bekerja d i sebuah bank Tokio, menambahkan: " Kami belajar menjadi lebih agresif." Edward T. Lewis, pembantu dekan Graduate School of Business, Universitas Cornell, pernah mengajukan pertanyaan kepada sembilan orang siswa Jepang yang sedang menempuh program MBA di situ. Apa sebetulnya alasan mereka belajar ke Amerika? Jawabannya berkisar di sekitar "menambah teori penunjang, mempelajari manajemen berpikir dan bertindak cara Amerika, dan memperlancar bahasa Inggris." Tampaknya, "mempelajari ketrampilan manajemen AS" sudah bukan tujuan pokok. Ini tak berarti perusahaan Jepang sama sekali tak menarik manfaat dari teknik manajemen yang mereka pelik di berbagai sekolah dagang AS. Tapi untuk waktu yang lama mereka tampaknya lebih banyak ditempa praktek dagang sehari-hari. Beberapa tahun lalu, banyak perusahaan Jepang mengirimkan tim belajar untuk mcnekuni ketrampilan tertentu. Pulang ke kampung halaman mereka menerangkan kepada perusahaan masing-masing metode menerapkan ketrampilan tersebut. Karena para eksekutif Jepang umunya menduduki masa jabatan yang panjang, ketrampilan tadi bertahan dan tak segera hilang. "Sepuluh tahun lalu saya mempunyai banyak siswa Jepang untuk jurusan manajemen operasi," tutur Martin K. Starr, profesor ilmu manajemen pada Universitas Columbia. "Mereka mempelajari analisa kelayakan, kemudian memperkenalkar, teknik itu kepada perusahaannya masingmasing." Kini, dari 17 siswa Jepang calon MBA di Columbia, tak seorangpun mcngambil jurusan itu lagi. Sebetulnya para siswa Jepang itu sendiri tak begitu suka akan pelbagai ilmu yang harus mereka pelajari di AS. Apalagi setelah mereka melihat praktek manajemen yang diterapkan di perusahaan Amerika. Mereka terutama bingung melihat ketergantungan para manajer Amerika pada permainan angka. Seorang MBA lulusan Universitas New York, kini bekerja pada sebuah perusahaan jasa di Tokyo, mengatakan: "Rakyat Amerika bisa dibuat gemetar dengan sebuah kalkulasi finansial." Padahal di Jepang, hal itu merupakan "barang biasa." Nada yang sama diucapkan oleh Noboru Terashima, lulusan Universitas New York yang kini bekerja pada Okasan Securities Co. " Keputusan manajemen Amerika didasarkan pada studi statistikal dari pelbagai kuisioner dan data," katanya Sementara di Jepang, "keputusan diambil berdasarkan hubungan pribadi dan perhitungan kemanusiaan." Ia kemudian seperti ngecap: "Gaya Jepang lebih realistis." Menurut sementara eksekutif muda Jepang ini, program MBA di Ameriha tak begitu tahan uji. Mereka menyinggung siklus pelajaran yang tak berubah, sementara dunia dilanda pelbagai kejutan--misalnya krisis minyak. Temperamen dan tingkah laku para saingan asing juga tidak bisa ditebak dan diramalkan oleh pengetahuan yang bergayut pada perhitungan kalkulator. Di lapangan organisasi, sebagian mereka menilai pelajaran yang diberikan sekolah dagang Amerika "kurang manusiawi." Di sana organisasi dibangun berdasar fungsi jabatan yang abstrak. Sedang di Jepang, "kami membangun organisasi berdasar ketrampilan karyawan yang sudah jelas." Pelajaran "mengarahkan karyawan tingkat rendah" juga tidak menarik hati para MBA Jepang. Mereka berada di tengah lingkungan, tempat karyawan semua tingkat memandang hari depan mereka sejalan dengan hari depan perusahaan. "Kami tak memerlukan rayuan psikologis," ujar Yoshikazu Nakashima, MBA lulusan Universitas Columbia yang kini bekerja pada Toyota. Dari segi lain, ijazah MBA Amerika ternyata tak otomatis menjanjikan kursi yang empuk. Mungkin berbeda dengan keadaan yang dialami teman-teman Amerika mereka. Bagian personalia perusahaan Jepang misalnya tak memberi keistimewaan apa pun untuk para MBA itu, baik dalam hal gaji maupun tanggung jawab. "Setelah saya pulang (dari Amerika)," tutur Noboru Terashima, "gaji saya lebih rendah dari rekan-rekan seusia." Soalnya selama dua tahun menuntut ilmu dia dihitung tidak bekerja. Nasib lebih buruk menimpa seorang bankir lulusan Universitas New York. "Menurut pikiran manajemen Jepang," katanya mengeluh, "sekolah dagang Amerika Itu abstrak dan mubazir." Mungkin karena itu, bebcl-apa lulusan Amerika memilih pindah kerja saja ke perusahaan asing. Seperti yang dilakukan Kensuke Shizunaga, MBA lulusan Universitas Columbia. Setahun setelah pulang kampung, ia hengkang dari Trio Kenwood Corp. "Perusahaan itu tak mempunyai strategi mendayagunakan pendidikan bisnis saya," katanya. "Mereka mempekeriakan saya seperti kerani, tanpa tambahan pendapatan apa pun." Ia diterima di Smith Barney, Harris Upham & Co, Tokyo, dengan gaji dua kali lipat. "Pekerjaan baru ini lebih menantang. Dan gelar MBA saya meniadi lebih berharga." Meski demikian, untuk sebagian besar orang Jepang meninggalkan perusahaan yang telah menyeponsori program MBA mereka merupakan tindakan ingkar yang sulit sekali bisa dipuji. Mereka berpendapat, "memanj.lkan MBA lulusan Amerika merupakan ekses yang sama pandirnya dengan keengganan perusahaan Jepang memanfaatkan tenaga para MBA itu." Karena itu mereka menyarankan semacam jalan tengah: memakai tenaga-tenaga terpelajar itu seraya tetap mempertahankan karyawan lama. Mereka yakin, Jepang bisa menyerap banyak dari ketrampilan marketing Amerika. Nakdshima, dari perusahaan Toyota, memuji kemampuan Amerika "menidentifikasikan pasar yang potensial demi menjajaki kebutuhan yangpotensial." Mereka juga terkesan pada "kebebasan Amerika" yang memperkenankan suatu perusahaan menyerang saingannya secara langsung melalui iklan. Di Jepang, perbuatan ini masih merupakan pamali. Kenyataan ini diakui seorang manajer penjualan sebuah bank penting di Tokyo, dengan gelar MBA untuk marketing. "Teknik marketing Amerika lebih sistematis," katanya."Banyak salesman Jepang cenderung mendalangi hanya langganan yang mereka sukai Dan mereka enggan menganalisa keputusannya secara obyektif." Manfaat "ilmu Amerika" itu juga bisa dilihat Nitake Kobayashi dari Universitas Kcio. Ia melihat, akhir-akhir ini perusahaan Jepang lebih terbuka menghadapi beberapa keuntungan yang bisa dipetik dari sekolah-sekolah dagang Amerika. Di tengah pendapat dan kesimpulan yang masih simpang-siur itu, semangat belajar ke AS tetap tinggi di kalangan calon eksekutif Jepang. Musim gugur tahun lalu misalnya, Bank Dai-Ichi Kangyo menerima permohonan dari 700 karyawan untuk ksempatan belajar di universitas mancanegara. Hanya 10 yang akhirnya terpilih. Pilihan tidak didasarkan pada perhitungan ekonomis, melainkan kepentingan profesi dan pengalaman calon bersangkutan. "Secara ekonomis," kata Edward T. Lewis dari Universitas Cornell, "siswa Jepang itu merupakan elite tersediri." Berbeda dengan rekan-rekannya dari Amerika, "mereka menerima gaji penuh selama menuntut ilmu." TAPI ada pula efek sampingan dari 'kemakmuran' ini. Karena mereka umumnya lebih mampu, dan kurang fasih berbicara Inggris, mereka cenderung membentuk "klik" di sekitar kampus. Padahal kecenderungan ini agak bertentangan dengan niat perusahaan mengirim mereka. Hanya saja orang Amerika yang sudah-kenal lama tabiat pengusaha Jepang tak gampang terpengaruh. Menurut mereka, "tampang canggung" para siswa Jepang itu hanyalah tindakan pura-pura--justru dalam usaha mengumpulkan lebih banyak informasi berharga. "Pada dasarnya orang Jepang adalah bangsa yang sangat agresif," kata David Nadler, guru besar pembantu pada Universitas Columbia, yang pernah bermukim agak lama di negeri itu. "Mereka mempraktekkan tradisi Samurai di lapangan bisnis." Tujuan mereka ke Amerika, sebetulnya, adalah untuk "mengenal saingan lebih baik." Dalam bahasa Samurai, menurut David Nadler, tujuan itu berarti "mengenal musuh lebih dekat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus