Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juliao Suarez alias Muhammad Yanto Soarez, 30 tahun, terlihat bingung. Tatapan matanya kosong. Sudah 22 tahun dia tidak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Hari itu, Senin, 19 Mei lalu, pesawat Sriwijaya Air yang membawanya dari Denpasar, Bali, Indonesia, mendarat di Bandar Udara Komoro, Dili, Timor Leste. Ia akan diantar pulang ke kampungnya di Desa Bikaren, Distrik Viqueque, oleh Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sandra Moniaga dan tim Asia Justice and Rights (AJAR) Timor Leste untuk bertemu kembali dengan keluarga kandungnya.
Yanto Soarez, bersama dua saudaranya, Siti Hapsah (kakak) dan Mustaqim Alfonso Viqueque (adik), terpisah dari keluarganya di Timor Leste. Mereka dinyatakan hilang sejak 1993. Dalam perjalanan ke kampungnya, Bikaren, sekitar 300 kilometer dari Kota Dili, Yanto bercerita kepada Tempo tentang keberadaan mereka selama 22 tahun itu. Yanto mengatakan bahwa ia bersama dua saudaranya direkrut seorang koordinator suruhan tentara. Mereka dibawa ke Dili dan kemudian diajak bersekolah di Jakarta. Saat itu kedua orang tuanya yang berada di Viqueque tidak mengetahui keberangkatan mereka.
"Saat itu kami masih bodoh sehingga diajak ke mana saja kami ikut," kata Yanto mengenai alasannya pergi dari Timor Timur ke Jakarta. Situasi Timor Timur saat itu bergejolak dan kemiskinan merajalela. Yanto memutuskan mengikuti jejak teman-temannya yang sudah dibawa ke Jakarta. Di Jakarta, mereka dimasukkan ke sebuah pesantren. Akhirnya ketiga kakak-adik itu beralih kepercayaan dari Katolik ke Islam.
Namun pendidikan yang dijalani ketiganya tidak berlangsung lama karena mereka harus menanggung sendiri biaya sekolah. Ketiganya akhirnya memilih keluar dari pesantren dan hidup terpisah. Yanto memilih tinggal di Bandung Barat, sementara Mustaqim Alfonso di Bandung Selatan. Sedangkan Siti Hapsah tinggal di Tanjung Priok. Yanto terus melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dengan biaya sendiri hasil mengamen di terminal-terminal bus. "Saya biayai sendiri sekolah hingga selesai di tingkat SMA," ujarnya. Kini Yanto tinggal di Denpasar dan bekerja sebagai koki di restoran milik warga negara Australia.
Dalam perjalanan ke kampung halamannya, Yanto masih mengingat sejumlah titik yang sering dilaluinya pada masa anak-anak, seperti air terjun di Distrik Manatuto. "Di dekat sini ada terjun," katanya. Tim Asia Justice and Rights dan Komnas HAM hanya bisa mengantar Yanto sampai di Distrik Baucau. Alasan keamanan membuat tim pengantar tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Bikaren karena di sekitar situ merupakan wilayah kelompok separatis Mau Moruk. Di Baucau, Yanto dijemput keluarganya untuk meneruskan perjalanan ke Distrik Viqueque.
Tempo menyaksikan, begitu tiba di Baucau, Yanto langsung berpelukan dengan dua saudaranya, Pinto dan Soarez, yang telah menunggunya. Rasa kangen dan haru menyeruak saat pertemuan itu. Ketiganya tak henti-hentinya berpelukan sambil bercerita masa lalu mereka. "Dulu kami sering naik kuda bersama," ujar Pinto, yang tidak bisa lagi berkata-kata dan hanya merangkul saudaranya yang hilang selama 22 tahun itu.
Yanto, yang kemudian dihubungi via telepon, bercerita, saat tiba di Bikaren pada tengah malam, dia disambut kedua orang tua dan keluarganya dengan acara adat kepada anak yang dinyatakan hilang. Dia sangat senang dan sempat meneteskan air mata kala bertemu dengan kedua orang tuanya. Selama ini Yanto tidak pernah berkomunikasi dengan mereka. Bahkan wajah kedua orang tuanya tidak diingat lagi oleh Yanto. Dia hanya melihat wajah mereka melalui foto yang dikirim oleh tim AJAR Timor Leste. Yanto juga mengaku tidak banyak mengenal saudaranya yang lain. "Saya menangis ketika ketemu mereka," katanya.
Selain bertemu dengan Yanto, Tempo bersama tim AJAR dan Komnas HAM menemui Sutirnino Orlando alias Ibrahim Orlando, 49 tahun. Dia juga termasuk anak Timor Leste yang dulu dibawa anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Orlando mengaku, saat berusia 12 tahun pada 1979, ia dibawa anggota TNI. Kala itu dia direkrut sebagai Tenaga Bantuan Operasional. Orlando ingat saat itu tentara memasuki kampungnya di Kribas, Distrik Manatuto. Dia bersama keluarganya sempat lari ke hutan dan tinggal selama tiga tahun di sana. Di hutan pun situasi tidak terkendali. Ia terpisah dari keluarganya. "Saya dikira keluarga sudah meninggal," ujarnya. Ia kemudian memilih ikut tentara.
Awalnya Orlando dibawa ke Kalabahi, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, sebelum dibawa ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan disekolahkan di pesantren di Kota Makassar. Di pesantren, sebagaimana Yanto, ia putus sekolah dan kemudian pindah ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Sampai saat ini, Orlando bekerja di Balikpapan sebagai karyawan perusahaan tambang batu bara.
Orlando oleh tim AJAR dipertemukan kembali dengan ibunya di Timor Leste. Ia menginap dua malam di desa kelahirannya. Tempo menyaksikan, saat Orlando hendak pulang ke Indonesia, sang ibu tidak mau melepas kepergiannya. Ibunya menangis dan memeluk Orlando disaksikan puluhan anggota keluarga dan sanak famili. Orlando, yang berbicara bahasa Tetun, meminta kepada ibunya agar tidak menangis. Dia berjanji akan kembali lagi. Orlando pun menyalami satu per satu keluarganya di kediamannya sambil meneteskan air mata. "Saya sangat bahagia bisa bertemu dengan Ibu dan keluarga," katanya.
Kakak kandung Orlando, Abilio de Oliviera, mengatakan, sejak Orlando menghilang pada 1979, keluarga terus berupaya mencari tahu keberadaannya. Keluarga pernah mendengar bahwa Orlando berada di Kupang, NTT, menjadi peternak, tapi informasi itu keliru. "Kami terus berupaya mencarinya dengan menghubungi teman-teman dan keluarga yang berada di Indonesia," ucapnya. Namun kabar keberadaan Orlando tak pernah ada sehingga keluarga sempat menganggapnya telah meninggal. Namun mereka dikagetkan oleh kedatangan tim AJAR yang menanyakan tentang Orlando sambil menunjukkan foto. "Akhirnya kami mendapat kepastian keberadaan Orlando setelah 36 tahun," katanya.
Reuni antara anak hilang dan keluarga aslinya ini digagas oleh tim bersama yang terdiri atas Komnas HAM, AJAR, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), yang bermitra dengan AJAR, Yayasan HAK, dan Provedoria Dos Direitos Humanos e Justica (Komnas HAM Timor Leste). Kegiatan pada 18-23 Mei 2015 ini merupakan kegiatan kedua yang diperjuangkan lembaga-lembaga tersebut.
"Pertemuan atau reuni anak Timor Leste yang telah dinyatakan hilang ini didasari pada rekomendasi CAVR (Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao de Timor-Leste) dan KKP (Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste) tentang orang hilang dan anak-anak yang dipisahkan dari orang tua," ujar Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga di Dili.
Ada 14 orang (12 laki-laki dan 2 perempuan) yang kali ini dapat melakukan reuni dengan keluarganya. Mereka terpisah ketika masih berusia 5-15 tahun, saat terjadi konflik pada 1975-1994. Keempat belas orang itu adalah Lowis Hutajulu, Dominggus Sampela, Roberto Da Silva, Vilomena de Vatima Viana, Marciano Alves Quintao, Hercules de Jesus, Joaquim Soares, Abdul Rahman, Ibrahim Orlando, Rozerio Protas, Muhamad Lekibere, Siti Hapsah, Juliao Suarez, dan Mustaqim Alfonso Viqueque. "Ke-14 orang ini diambil dari beberapa kabupaten, antara lain Viqueque, Los Palos, Manatuto, dan Ainaro, pada 1979-1994," ucap Galuh Wandita, Direktur AJAR Indonesia.
Kunjungan selama enam hari ini menggerakkan hati semua pihak yang terlibat. Keluarga yang tadinya mengasumsikan bahwa saudara mereka telah meninggal menerima anggota keluarga mereka dengan tangan terbuka dan air mata sukacita. Beberapa orang bahkan telah memiliki batu nisan dengan nama mereka, karena berpuluh-puluh tahun tidak terdengar informasi tentang keberadaan mereka.
Selain perjalanan pulang ke kampung halaman, kunjungan ini meliputi tur keliling Dili untuk lebih memahami sejarah dan perkembangan di dalam negeri serta pertemuan dengan masyarakat sipil dan pejabat pemerintah, termasuk Perdana Menteri, Menteri Solidaritas Sosial, pemimpin Provedoria Dos Direitos Humanos e Justica, dan Duta Besar Republik Indonesia. Kunjungan ini, kata Direktur AJAR Timor Leste, Maun Ze, merupakan kerja gabungan dua inisiatif yang melebur. Komnas HAM dan mitranya, Provedoria Dos Direitos Humanos e Justica, menandatangani nota kesepahaman (MOU) pada 2013 untuk menindaklanjuti rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Komnas HAM membentuk Tim Pendataan Anak-anak Timor Leste yang dipindahkan ke Indonesia pada 1975-1999 pada Februari 2014. Mereka kemudian melakukan penyelidikan bersama organisasi kemasyarakatan sipil.
Pada 2005, CAVR membuat estimasi bahwa setidaknya 4.000 anak telah dipisahkan selama masa konflik. CAVR serta Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (2008) membuat rekomendasi untuk segera mencari orang hilang dan mempertemukan anak-anak yang dipisahkan. Sejak penyerahan laporan KKP kepada kedua presiden pada 2008, pembicaraan dua negara untuk menjalankan rekomendasi KKP masih berjalan. Pada Juli 2009, Timor Leste mengajukan sebuah proposal pendek kepada Indonesia untuk mempertimbangkan pembentukan sub-working group terkait dengan isu orang hilang. Namun sampai kini belum ada perkembangan konkret.
Pada Oktober 2011, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan presiden untuk rencana aksi pelaksanaan rekomendasi KKP. Namun sangat disayangkan, berkaitan dengan rekomendasi pembentukan komisi orang hilang, rencana aksi hanya menyebutkan tentang penanganan anak-anak yang terpisah. Sedangkan persoalan substantif tentang pencarian orang hilang sama sekali tidak dimasukkan.
Sampai 2015, belum ada kemajuan konkret dalam upaya ini. Karena itu, tim bersama mengimbau pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan konkret untuk mempertemukan anak-anak yang dipisahkan dengan sanak keluarga mereka di Timor Leste. Pemerintah Indonesia diminta melaporkan keberadaan anak-anak asal Timor Leste, memberi kemudahan dalam urusan mengurus paspor, serta mendukung biaya perjalanan untuk anak-anak ini dan keluarga mereka. Sedangkan pemerintah Timor Leste perlu memberikan status bebas visa bagi anak-anak yang dipisahkan beserta anggota keluarganya dan membantu upaya pemulihan keberadaan mereka dalam keluarga secara adat.
"Pemerintah kedua negara diminta memfasilitasi partisipasi keluarga korban dan masyarakat sipil," ujar Direktur Kontras Yati Andriyani. Menurut Direktur AJAR Timor Leste, Maun Ze, pihaknya menerima banyak laporan dari warga Timor Leste mengenai anak yang hilang. "Laporan-laporan yang kami terima ini diharapkan bisa ditindaklanjuti sehingga mereka bisa dipertemukan," katanya.
Juru bicara Kepresidenan Timor Leste, Fidelis Megahanias, membuka kesempatan kepada anak-anak Timor Leste yang telah ditemukan untuk menjadi warga negara, karena Timor Leste membolehkan warganya memiliki dua kewarganegaraan. "Sesuai dengan undang-undang Timor Leste, warga negaranya boleh memiliki dua kewarganegaraan," ucapnya.
Yohanes Seo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo