Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kuburan tanpa Jasad

Beberapa anak Timor yang dianggap meninggal tidak diperbolehkan masuk kampung karena sudah ada kuburannya.

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhamad Lekibere alias Lekibere, 51 tahun, harus menahan diri bertemu dengan keluarganya di Desa Fatukalu, Distrik Turiskai, Timor Leste. Pasalnya, dia sudah dianggap meninggal oleh keluarga karena lama menghilang. Bahkan kuburan atas nama Lekibere telah dibuat di kampungnya. Maka, sesuai dengan adat setempat, ia dilarang masuk ke kampung sebelum dibuatkan upacara adat.

Nama Lekibere terpampang jelas di kuburan yang tidak diketahui siapa yang dikuburkan di dalamnya. Sejak 1975, tatkala berumur 15 tahun, Lekibere meninggalkan kampung halamannya dan lari ke Dili. Ia kabur dari kampungnya karena terjadi bencana kelaparan akibat peperangan. Di Dili, Lekibere direkrut oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO).

Selama beberapa tahun menjadi anggota TBO, Lekibere akhirnya dibawa anggota ABRI ke Indonesia dan dimasukkan ke pesantren di Makassar, Sulawesi Selatan. Kemudian ia sempat menetap di Bandung dan kini tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur. Lekibere, yang kala itu belum memiliki kepercayaan (menganut animisme), memilih masuk Islam. "Saya tidak tahu siapa yang dikuburkan di dalamnya karena saya masih hidup," katanya kepada Tempo saat ditemui di Dili.

Tatkala Lekibere pulang beberapa waktu lalu, kedua orang tuanya telah meninggal. Keluarga besarnya merasa kaget karena ternyata Lekibere masih hidup. Keluarga tidak bisa berbuat banyak karena kuburan Lekibere telah ada di kampungnya. Ia tetap dianggap meninggal dan dilarang masuk kampung.

Jika tetap hendak diterima keluarganya di kampung, Lekibere harus mengikuti proses adat bersama istri dan anaknya yang berada di Indonesia. Dia hanya pasrah jika harus menghadirkan istri dan anaknya untuk membuat upacara adat di kampungnya. "Saya pasrah saja karena terhambat biaya buat adat itu," ujarnya.

Nasib serupa dialami Abdulrahman Jose, 40 tahun. Dia tidak bisa balik ke kampungnya di Desa Waibobo, Distrik Viqueque, karena kuburan atas namanya telah dibuat di sana. "Saya sudah dianggap meninggal," katanya. Jose hanya bisa menemui keluarganya di Desa Hera, Distrik Kota Dili. Dia dilarang sang kakak mengunjungi kampungnya sebelum dibuatkan upacara adat. Jose dan keluarga harus lari dan tinggal di hutan pada 1975-1976 karena peperangan yang terjadi di daerah mereka. Peperangan itu akhirnya memisahkan Jose dan keluarganya pada 1979.

Saat terpisah, Jose dibawa anggota ABRI Angkatan Darat Batalion 821 ke Makassar untuk bersekolah di pesantren. Setelah itu dia ke Kalimantan Timur dan menetap hingga saat ini. "Kala itu situasi sangat genting dan kelaparan di mana-mana sehingga saya ikut saja dengan anggota ABRI," tuturnya. Namun Jose merasa senang karena bisa bertemu dengan keluarganya yang telah terpisah selama 36 tahun. "Bertemu dengan keluarga, bagi saya, sudah cukup, walaupun saya sudah dianggap meninggal oleh keluarga," ucapnya.

Yohanes Seo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus