Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
PETANG hari, hampir setahun lalu, televisi Al Jazeera di Doha, Qatar (yang sempat saya tonton di lounge sebuah hotel di Pontianak), menyiarkan wawancara dengan Eliya Zulu dari African Institute for Development Studies. Topik pembicaraan saat itu adalah pertumbuhan penduduk di Benua Afrika yang diramalkan bakal melonjak dalam abad ini. Yang menarik adalah kutipan perkiraan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNICEF. Zulu menyebutkan 4 dari 10 bayi yang lahir di dunia pada akhir abad ini adalah orok Afrika. Dengan wajah sumringah, dia mengatakan generasi baru Afrika itu merupakan sumber daya unggul yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di benuanya.
Wawancara itu mengarah pada isu "bonus demografi" yang kini aktual di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dalam ilmu kependudukan, istilah "bonus demografi" merujuk pada besarnya proporsi penduduk produktif-berusia 15-64 tahun-dalam suatu evolusi demografis. Dalam khazanah Inggris, varian istilah itu adalah demographic dividend laiknya kosakata perdagangan. Ragam lainnya, demographic gift, membayangkan gelombang angkatan kerja sebagai anugerah yang patut disyukuri. Ini mengingatkan ungkapan "mem-peroleh bonus"-obrolan tetangga mengenai ibu yang hamil tanpa disangka setelah lama jeda.
Secara kebetulan, lusa berikutnya setelah siaran itu, Profesor Thamrin Usman, Rektor Universitas Tanjungpura, Pontianak, berpidato, "Generasi muda harus bisa memanfaatkan bonus demografi karena tahun 2025 akan menjadi era emas buat Indonesia." Pernyataannya itu terkait dengan rencana kerja sama kampusnya dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional untuk pengembangan teknologi nuklir di bidang kesehatan. Frasa "bonus demografi" yang dikutip Pak Rektor dan urgensinya dengan rencana kerja sama tersebut menyiratkan bahwa di balik kata "bonus" itu terdapat tuntutan mutu (manusia) yang andal, bukan sekadar jumlah besar.
Istilah "bonus demografi" agak berbeda perspektif dengan "ledakan penduduk" yang sangat populer sebelumnya. Keduanya sama-sama menyangkutkan soal penduduk dengan sisi ekonomi, tapi dengan makna tak serupa. Pada "bonus demografi", pertambahan penduduk dimaknai sebagai harapan. Tambah penduduk, seperti kata Zulu yang telah dikutip, berarti terjadi investasi sumber daya manusia masa depan. Perihal "ledakan penduduk", terjemahan population bomb, seperti terbaca pada judul buku laris Paul R. Ehrlich (1968), terasa memerikan musibah dan kecemasan. Mungkin inilah pengaruh panjang teori Malthus berabad lampau yang menghadap-hadapkan pertumbuhan penduduk dengan pangan. Banyak penduduk, menurut teori itu, dikhawatirkan mengganggu keseimbangan persediaan dan kecukupan pangan.
Bisa jadi "bonus demografi" sejalan dengan pemeo "banyak anak banyak rezeki" yang akrab pada sebagian masyarakat di Tanah Air. Banyak anak diyakini tak akan membuat beban hidup jadi berat karena setiap anak membawa rezeki masing-masing yang telah tersurat sejak lahir. Sebagian orang Jawa meromantisisasi suasana somah yang bahagia dengan purwakanti "regenging omah jalaran bocah" atau kemeriahan rumah tangga disebabkan oleh kehadiran anak. Tak aneh bila alam pikiran seperti itu dinilai jadi hambatan kultural upaya pembatasan kelahiran anak seperti program Keluarga Berencana pada masa lalu (lihat Hildred Geertz, Keluarga Jawa, Grafiti Pers, 1983).
Maka "bonus demografi" juga bisa dilihat sebagai ungkapan yang mengingatkan kembali arti penting nilai anak atau value of children menurut istilah teknis demografi. Di sini, anak dipandang sebagai "barang konsumsi" yang tahan lama, atau aset investasi, sehingga patut dipikirkan berapa nilainya. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, biaya anak terhitung tinggi, sementara manfaat ekonominya rendah. Jadilah anak di negeri kapitalis itu ditaksir sebagai investasi yang tidak menguntungkan. Itu sebabnya masyarakat di negara-negara makmur justru cenderung memilih berkeluarga kecil.
Sebaliknya, di negara-negara sedang berkembang, terutama di perdesaan, bocah-bocah jadi jaminan ekonomis keluarganya. Paling tidak, anak bisa membantu orang tuanya bekerja di sawah, angon sapi, dan semacamnya. Selain itu, anak ditamsilkan sebagai "buah hati" yang selalu mampu menyentuh sisi emosional orang tuanya. Andai membeludak pada zaman feodal, bonus demografi akan jadi himpunan cacah yang berlimpah dan peneguh kuasa bagi pembesar lokal. Sedangkan bagi lingkaran keraton, kesuburan dalam keturunan akan menjamin tersedianya pilihan penerus takhta.
Pertanyaannya kini, cukup andalkah bonus demografi menjawab tantangan zamannya. Soalnya, saat ini, indeks pembangunan manusia Indonesia tergolong rendah di dunia; cuma di urutan ke-6 dari 10 negara di Asia Tenggara-di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura di puncak tangga. Maka bonus demografi juga kerap diibaratkan sebagai pedang bermata dua: jadi berkah bila siap mengelolanya, atau musibah bila tak bisa mengimbanginya.
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo