Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Siti berangkat dari masalah klise yang melibatkan uang, utang, dan perempuan. Ada perempuan butuh uang karena terlilit utang. Perempuan itu adalah Siti (Sekar Sari). Dan masalahnya semakin menjadi karena penagih utang. Demi melunasi utang, Siti rela melakoni segala pekerjaan, termasuk menjadi perempuan penghibur di tempat karaoke esek-esek. Masalah yang sering kita dengar terjadi di dunia nyata.
Karena masalahnya klise, alurnya jadi mudah ditebak. Ujung-ujungnya mestilah soal pelunasan utang. Sutradara Eddie Cahyono pun tak menunjukkan gelagat akan memberi tikungan yang mengagetkan penonton pada debut film layar lebar pertamanya ini. Dan, benar, cerita mengerucut tak jauh-jauh dari dugaan. Alur yang penuh tikungan dan kejutan bukan gaya Eddie. Selama cerita masuk akal, runut, dan mengalir, cukuplah bagi dia.
Eddie hanya ingin membuktikan bahwa film dengan cerita yang simpel bisa tetap menarik asalkan dituturkan dengan baik dengan taburan dialog cerdas yang mengena. Film sendiri sengaja dibikin hitam-putih. Konon hal itu dilakukan karena tim tak punya cukup biaya untuk menyewa peralatan lampu yang memadai sehingga warna tak optimal. Tapi efek hitam-putih justru berhasil membuat film semakin dramatis.
Eddie mengajak penonton selama sehari mengikuti kehidupan si tokoh utama. Sepanjang film, lensa selalu berfokus pada Siti. Kita mengikuti Siti ketika dia kelabakan membujuk anaknya, Bagas (Bintang Timur Widodo), berangkat ke sekolah. Kita hadir melihat Siti menjajakan peyek jingking di pantai. Juga saat dia mabuk-mabukan bersama "klien"-nya, Brigadir Kepala Gatot (Haydar Saliz).
Siti adalah poros semua adegan. Kamera hampir tak pernah mengikuti apalagi mendalami tokoh lain. Dengan cara ini, Eddie berhasil menenggelamkan penonton dalam pergulatan yang dialami Siti. Tokoh selain Siti ditempatkan dengan fungsi yang spesifik. Mereka menjalankan tugas masing-masing sebatas pada perannya. Dari sini kita bisa melihat bagaimana Eddie berhasil membangun penokohan yang solid, efektif, dan efisien.
Ada tokoh seperti Bagus. Sepanjang film, suami Siti yang lumpuh akibat kecelakaan dan mogok bicara sejak Siti bekerja di tempat karaoke ini hanya tidur di atas ranjang, makan, dan melamun. Tapi tokoh Bagus diberi peran sentral. Baguslah yang jadi musabab Siti berjerih payah mencari uang. Utang Rp 5 juta yang harus dilunasi itu adalah utang Bagus.
Menjadi lebih menarik ketika Eddie menyandingkan Bagus dengan Marni, mertua Siti. Dua tokoh itu dekat dengan Siti karena mereka tinggal serumah. Tapi keduanya beda pandangan tentang pekerjaan malam Siti. Marni, yang suka membantu Siti berjualan, lebih luwes, sedangkan Bagus selalu memprotes walau tak bisa memberi solusi apa-apa. Bukan tanpa perhitungan dua tokoh itu disandingkan. Dua tokoh itu melukiskan kubu di masyarakat dalam memandang perempuan seperti Siti.
Akting Sekar Sari patut dipuji. Ia mampu menampilkan perempuan yang tabah dan pintar menyembunyikan kerapuhannya. Adegan Siti meneriakkan kata "asu" di pantai menunjukkan keberhasilan Sekar mendalami watak Siti. Ia marah tapi tak bisa melepaskan amarahnya. Sekar diganjar penghargaan Best Performance Silver Screen Award dalam Singapore International Film Festival 2014. Begitu juga adegan di ranjang ketika kamera memfokuskan lensa pada wajah Siti dan Bagus. Sekar mampu memancarkan sisi getir Siti. Akting Sekar berhasil membuat penonton merasa bersimpati kepada tokoh Siti, yang memilih menjadi pelacur kendati sudah bersuami dan beranak satu.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo