Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah proses ketika membuat patung raksasa Corpus Christi, sebuah ide menyergap benak perupa Teguh Ostenrik. "Yesus yang saya buat adalah Yesus dari Papua," katanya. Maka model wajah Yesus yang umum di seluruh dunia ia abaikan. Tak mesti berhidung mancung, berdagu lancip, berambut ikal, dan berjanggut lurus. Ia membuat yang berlawanan dari itu semua. Ia menjadikan wajah orang Papua sebagai model.
Untuk membuat janggut Yesus lebih kriwel daripada biasanya, Teguh memerlukan ratusan per berkarat. Agar lebih tebal dibanding bibir Yesus yang dicitrakan artis-artis Eropa, bibir Isa dari Papua itu dibikin dari pelat besi yang dipanaskan, lalu dibentuk. Mata Sang Kristus belo. Alisnya tebal. Dan rambutnya, yang terbuat dari sambungan besi beton sebesar pensil, dibikin gimbal.
"Bagi saya, Yesus adalah pahlawan emansipasi. Dan warga Papua sedang berjuang untuk itu. Lepas dari penjajahan oleh bangsa sendiri," kata Teguh.
Pada Kamis, 4 Juni 2015, Yesus raksasa setinggi 5,3 meter yang tampak menderita itu dipasang di tembok altar Gereja Katolik Santo Yohanes Maria Vianney, Bambu Apus, Cilangkap, Jakarta Timur. Inilah karya Teguh yang paling berat. Bobot patung Yesus disalib itu diperkirakan tiga ton. Panjang rentang tangannya pun 5,3 meter.
Corpus Christi-dalam bahasa Indonesia berarti tubuh Kristus-terbuat dari ratusan besi rongsok yang disambung satu per satu hingga membentuk tubuh Yesus. Besi yang digunakan bermacam-macam. Ada yang berbentuk pipa, gir, lempengan, juga besi-besi bekas mesin pabrik. Besi didapat Teguh dari berbagai sumber. Ada yang dari pengepul besi rongsok, ada juga besi sumbangan bos pabrik.
Karya Teguh yang satu ini bisa dibilang di luar kebiasaan. Karya dia yang menggunakan besi rongsok selama ini bentuknya abstrak. Jarang ada yang figuratif alias mengikuti bentuk suatu obyek. Untuk yang figuratif biasanya Teguh menggunakan bahan perunggu karena lebih mudah dibentuk mengikuti model. Dari segi teknik, membuat patung dari besi sampah jauh lebih sulit ketimbang dari perunggu, karena mediumnya tak ramah pahat.
Teguh, yang juga seorang Katolik, mulai membuat Corpus dengan membentuk model lebih dulu. Model itu dibikin dengan beberapa utas kawat yang dibentuk mengikuti rupa patung Yesus disalib. Setelah model jadi, barulah besi rongsok dilas satu per satu mengikuti alur kawat hingga akhirnya membentuk tubuh Yesus di atas kayu salib. Hampir semua besi yang digunakan utuh seperti bentuk aslinya. Kecuali bagian cawat dan jari-jari kaki. "Karena bentuknya menuntut detail, jadi harus memakai besi yang dibentuk," kata Teguh.
Pembuatan Corpus Christi bermula dari diskusi antara Romo Rochadi Widagdo dan Teguh pada awal 2015. Sejak Januari lalu, Rochadi dipindah tugas dari Gereja Paroki Kristus Raja, Pejompongan, Jakarta Pusat, ke Gereja Paroki St Yohanes Maria Vianney. Gedung Gereja St Yohanes hingga kini belum sepenuhnya jadi. Rochadi mengajak Teguh membikin sesuatu di gereja itu, mumpung gedung masih dalam proses pembangunan. "Kelihatannya menarik kalau Teguh bikin patung Yesus di altar," kata Rochadi.
Merespons ajakan Rochadi, Teguh menawarkan ide membuat patung Yesus dari limbah besi. Rochadi setuju. Bahan limbah menggambarkan filosofi kelahiran Yesus di dunia. "Yesus menyelamatkan manusia yang kotor dan terasing oleh dosa. Kemudian Ia angkat dan dibikin jadi indah," kata Rochadi.
Keping-keping besi rongsok yang digunakan untuk membuat Corpus Christi merepresentasikan arti gereja. "Gereja adalah kita, manusia yang berkumpul dalam Kristus," katanya. Barulah, di tengah-tengah proses pembuatan, Rochadi diberi tahu Teguh bahwa ia ingin membuat Yesus dari Papua. "Saya setuju saja," ujar Rochadi.
Corpus Christi dibikin selama sebulan sejak hari Jumat Agung pada 3 April lalu. Adalah suatu kebetulan patung itu mulai dikerjakan pada hari peringatan penyaliban Yesus. "Kebetulan anak-anak bisa mulai mengerjakan pada hari itu," kata Teguh. Pengerjaan melibatkan empat ahli las. Bukan perkara mudah memindahkan karya dari studio Teguh di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan, ke gereja seluas setengah lapangan sepak bola itu. Tubuh patung harus dibelah jadi empat bagian, kepala-dada, lengan kiri, lengan kanan, dan kaki.
Ketika diangkat ke tembok altar yang tingginya 20 meter itu, tubuh patung pun masih dalam keadaan cerai-berai. Satu per satu bagian diangkat dengan katrol rantai, diikat ke tembok dengan sekrup besar, kemudian dilas di atas. Pengelasan melibatkan dua ahli panjat, yakni Adi Tunggal Saputra dan mantan atlet panjat dinding dan tebing Mustopa. Di ketinggian 20 meter, sambil bergelantungan pada seutas tali, mereka mengelas menyambung tubuh Corpus.
Ini bukan pertama kali Teguh terlibat membuat karya untuk ditaruh di gereja. Puluhan karya Teguh ada di sekujur gereja St Mary of the Angels, Singapura. Bedanya, karya-karya di sana hampir semua dibikin dengan perunggu. Karya Teguh juga ada di gereja Paroki Kristus Raja, Pejompongan. Juga atas ajakan Romo Rochadi, Teguh membuat karya untuk ditaruh di sana.
Perbedaan lain ada pada posisi kepala Yesus. Pada patung Corpus di Singapura, kepala Yesus menunduk. Menurut Rochadi, patung dengan wajah menunduk adalah fase ketika Yesus sudah wafat. Sedangkan Corpus yang terbaru dibikin dengan wajah menengadah, dengan mata terbuka melihat ke langit. "Itu adalah fase saat Dia menyerahkan diri kepada Allah Bapa," kata Rochadi.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo