Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kenaikan Cukai Rokok: Demi Investasi Masa Depan

Sri Mulyani menjelaskan pengenaan cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi di Tanah Air.

15 Desember 2021 | 20.23 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Dua hari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau CHT berikut batasan minimum harga jual ecerannya pada 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menyampaikan pokok-pokok kebijakan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kali ini, alasan dan rencana kenaikan tarif cukai dan harga jual ecerannya yang rata-rata 12 persen itu disampaikan di hadapan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya memang mohon maaf rapat kerja ini diajukan setelah Presiden memutuskan dan memberikan arahan mengenai kebijakan ini. Maka menurut kami merupakan prioritas dan sangat penting untuk rapat bersama komisi XI," ujar Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Rabu, 15 Desember 2021.

Dalam paparannya, Sri Mulyani menjelaskan pengenaan cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi di Tanah Air. Namun, kebijakan itu juga diambil dengan mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.

Menurut data yang ia kantongi, rokok menjadi pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan.

Angka tersebut lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein, seperti daging, telur, tempe, serta ikan. "Sehingga rokok menjadikan masyarakat miskin," ujar dia. Kebijakan menaikkan tarif cukai ini diharapkan membuat harga sebungkus rokok semakin tidak terjangkau bagi masyarakat miskin.

Dari sisi kesehatan, rokok memicu risiko stunting pada anak dan bisa memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19 atau 14 kali berisiko terkena Covid-19 dibandingkan dengan bukan perokok.

Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan. "Ini membebani karena sebagian pasien Covid-19 ditanggung negara,” kata bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Dengan menaikkan tarif cukai rokok, Sri Mulyani berharap tingkat konsumsi rokok di masyarakat, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja, dapat dikendalikan. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimum menjadi 8,7 persen di tahun 2024.

"Kami mencoba menurunkan kembali prevalensi berdasarkan RPJMN untuk mencapai 8,7 turun dari 9,1 persen dari 2018," ujar dia.

Di sisi lain kenaikan tarif cukai tersebut juga diharapkan mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara sebesar Rp 193 triliun, sesuai Undang-undang APBN 2022. Selain itu, kebijakan CHT juga penting sebagai mitigasi atas dampak kebijakan yang berpotensi mendorong rokok ilegal.

Sri Mulyani sebelumnya menetapkan tarif cukai hasil tembakau naik rata-rata 12 persen pada 2022. Besaran tarif itu telah disepakati bersama Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Namun, untuk kategori sigaret kretek tangan, kenaikan ditetapkan maksimum 4,5 persen.

Rinciannya, tarif CHT untuk golongan sigaret kretek mesin atau SKM I adalah 13,9 persen menjadi Rp 985, sedangkan SKM IIA dan SKM IIB naik masing-masing 12,1 persen dan 14,3 persen menjadi Rp 600.

Berikutnya, tarif untuk sigaret putih mesin I naik 13,9 persen menjadi Rp 1.065, serta SPM IIA dan SPM IIB naik masing-masing 12,4 persen dan 14,4 persen menjadi Rp 635. Adapun untuk golongan sigaret kretek tangan atau SKT IA kenaikannya 3,5 persen menjadi Rp 440, SKT IB naik 4,5 persen menjadi Rp 345, SKT II naik 2,5 persen menjadi Rp 205, dan SKT III naik 4,5 persen menjadi Rp 115.

Di sisi lain penyesuaian tarif cukai dan batasan minimum HJE jenis Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya adalah sebesar 17,5 persen, dengan tarif cukai spesifik.

Seusai Sri Mulyani menyampaikan paparannya, anggota Komisi Keuangan DPR pun berebut untuk bertanya dan memberikan tanggapan mengenai kebijakan tersebut. Pro kontra menyeruak di ruangan rapat tersebut.

Pertentangan misalnya datang dari legislator dari Partai Golkar Misbakhun yang mempersoalkan pertimbangan kenaikan tarif cukai yang sebagian besar adalah dari alasan kesehatan. Menurut dia, pemerintah juga harus mengingat bahwa cukai hasil tembakau selama ini turut bersumbangsih kepada penerimaan negara. Industri itu juga menjadi tumpuan para petani tembakau dan pabrik rokok kecil.

"Simplifikasi selalu menguntungkan satu produsen asing perusahaan besar. Ke depan kita harus lebih berimbang. Harus ada regulasi yang berpihak ke petani tembakau dan pabrik rokok kecil," ujar Misbakhun.

Suara kontra sebelumnya juga muncul dari luar ruang rapat. Misalnya saja Komite Nasional Pelestarian Kretek alias KNPK menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok di atas 10 persen menjadi pukulan berat bagi pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) dari hulu hingga hilir. Pasalnya mereka menilai saat ini juga ada dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi.

Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Azami Mohammad menilai, pertimbangan primer pemerintah dalam menetapkan kebijakan tarif cukai diarahkan untuk mematikan sektor IHT. Dapat dilihat dari penekanan terhadap pengendalian konsumsi.

“Pengendalian konsumsi menjadi alasan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai, ini artinya industri ditekan melalui kebijakan tarif cukai yang tinggi sehingga tidak dapat tumbuh dan pelan-pelan mati,” ujar Azami, Selasa, 14 Desember 2021.

Azami berujar kebijakan tarif cukai 2022 akan berdampak kepada pengurangan tenaga kerja hingga 990 orang dengan penurunan produksi hingga 3 persen, bahkan bisa lebih.

“Karena produksi menurun serta konsumsi menurun. Konsekuensinya adalah menekan harga bahan baku serta mengurangi tenaga kerja” ujarnya. Di sisi lain, menurut Azami, cukai rokok masih dibutuhkan oleh pemerintah perihal penerimaan APBN. Cukai rokok menyumbang hingga 11 persen dari total penerimaan APBN.

Lain sudut pandang, legislator PDIP Indah Kurnia menyebut pengumuman pemerintah itu sudah cukup baik lantaran menunjukkan keberpihakan kepada pelaku industri rokok rakyat dengan kenaikan tarif cukai rokok untuk golongan sigaret kretek tangan yang lebih rendah dari sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.

Di sisi lain, kebijakan ini tetap membidik adanya penurunan prevalensi merokok anak, penurunan produksi, serta tambahan bagi penerimaan negara. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah bisa semakin menyederhanakan golongan tarif tersebut, sehingga tidak ada lagi celah bagi produsen untuk mensiasati kebijakan cukai tersebut.

"Kalau disimplifikasi, penerimaan negara bisa triliunan. Jadi pabrik asing besar harus membayar cukai dengan tarif tertinggi, serta yang boleh bayar rendah adalah pabrik lokal dan kecil," ujar Indah.

Komite Nasional Pengendalian Tembakau sebelumnya menyebut kenaikan tarif cukai rokok 2022 itu sebenarnya lebih rendah dibandingkan dua tahun ke belakang yang mencapai 12,5 persen pada 2021 dan 23,35 persen. Namun mereka mengapresiasi upaya menyederhanakan golongan tarif cukai dari 10 menjadi 8 golongan.

"Saya mengapresiasi langkah pemerintah atas kenaikan cukai dan penyederhanaan golongan tarif cukai 2022, karena pemerintah sudah seharusnya tidak lagi takut dengan mitos-mitos kerugian ekonomi ala industri tembakau yang menghambat dinaikkannya cukai rokok," ujar Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany.

Menurut dia, standar keterukuran pengendalian tembakau sudah jelas, yaitu derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat bukan sakit-sakitan karena
rokok. Dengan demikian, kebijakan rokok mahal seharusnya dilakukan. Ia mengatakan kebijakan tersebut ibarat investasi untuk masa depan.

Pendapat Hasbullah itu dikuatkan oleh hasil riset dari Center for Indonesia Strategic Development Initiatives alias CISDI. Chief Strategist CISDI Yurdhina Meilissa mengatakan studi lembaganya menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok tidak serta merta berdampak buruk bagi perekonomian, seperti yang selama ini kerap dikhawatirkan.

"Bahkan kenaikan tarif cukai hingga 45 persen pun diperkirakan akan tetap menghasilkan dampak positif pada perekonomian dengan nilai output positif dan penciptaan lapangan pekerjaan," tutur dia. karena itu, kenaikan rata-rata 12 persen berlaku tahun depan diperkirakan tidak akan berdampak signifikan pada kondisi ekonomi.

Adapun Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI Tulus Abadi menilai kenaikan cukai rokok sebesar 12 persen adalah keniscayaan regulasi yang patut diapresiasi, apalagi disertai dengan simplikasi sistem cukai rokok.

Namun, ia mengingatkan bahwa pengendalian rokok dengan instrumen cukai harus disertai dengan upaya pengendalian dari sisi pemasaran dengan melarang penjualan rokok ketengan atau per batang. Pasalnya, kata dia, penjualan rokok secara ketengan menjadi cara paling mudah bagi anak-anak dan remaja untuk membeli rokok.

“Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah agar melarang penjualan rokok secara ketengan, atau per batang (single stick sales)," kata Tulus.

Atas semua pro kontra yang berada di khalayak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah akan memperbaiki kebijakannya ke depan dan terus memperhatikan hal-hal penting terkait cukai rokok.

"Kami akan melaksanakan terus, misalnya pembinaan, pengawasan, serta bekerja sama dengan Kementerian-Lembaga juga pemerintah daerah, terutama mengenai kebijakan penjualan rokok kepada anak-anak," ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus