Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pengangkatan perwira TNI atau Polri sebagai penjabat kepala daerah dianggap telah melanggar undang-undang.
Rencana pengangkatan perwira TNI dan Polri menjadi penjabat kepala daerah dinilai sebagai model dwifungsi militer gaya baru.
Pelibatan TNI dan Polri dalam urusan pemerintahan sipil, di luar yang diatur undang-undang, sudah dipertontokan dalam penanganan pandemi Covid-19.
JAKARTA — Berbagai kalangan mengkritik kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang memperkenankan perwira TNI dan Kepolisian Republik Indonesia yang masih aktif menjadi penjabat kepala daerah. Pada pemilihan kepala daerah 2016 dan 2018, pemerintah mengangkat perwira aktif dari TNI dan Polri untuk menjabat kepala daerah. Preseden itu dikhawatirkan terulang pada 2022 dan 2023 mendatang, yang akan terjadi kekosongan kepala daerah di 271 wilayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan sejarah pemisahan TNI dan Polri dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI Tahun 2000 dilandasi adanya keinginan untuk menghentikan campur tangan militer dalam urusan pemerintahan. "Karena ketika Orde Baru, terjadi dwifungsi ABRI yang menimbulkan gangguan pada demokrasi," kata Asfinawati kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika itu, kata dia, Dewan Perwakilan Rakyat lantas membuat Undang-Undang TNI yang berisi larangan tentara terlibat dalam urusan politik praktis dan pemerintahan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 39 ayat 1 hingga 4 UU TNI yang berisi larangan prajurit TNI menjadi anggota partai politik, mengikuti kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan lainnya.
Pada Pasal 47 ayat 1 UU TNI juga disebutkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Lalu dalam Pasal 47 ayat 2, dirinci bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor pemerintahan di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Sekretaris Militer Presiden; Badan Intelijen Negara; Badan Sandi Negara; Lembaga Ketahanan Nasional; Dewan Pertahanan Nasional; SAR Nasional; Badan Narkotika Nasional; serta Mahkamah Agung.
Asfinawati menjelaskan, tidak ada aturan yang memperkenankan TNI dan kepolisian mengisi jabatan di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri, termasuk mengisi jabatan penjabat sementara kepala daerah. Karena itu, kata dia, pengangkatan perwira TNI atau Polri sebagai penjabat kepala daerah telah melanggar undang-undang. Selain itu, berpotensi membuka peluang kembalinya praktik pemerintahan Orde Baru, yaitu dwifungsi militer dan kekuasaan pemerintahan yang terpusat dan cenderung tidak demokratis.
Presiden Joko Widodo saat peringatan ke-75 Hari Bhayangkara di Istana Negara, Jakarta, 1 Juli 2021. BPMI Setpres/Kris
Kementerian Dalam Negeri sebelumnya mewacanakan membuka opsi penunjukan perwira aktif TNI dan Polri untuk menjadi pejabat kepala daerah setelah banyak kepala daerah akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Sesuai dengan data Kementerian Dalam Negeri, 271 kepala daerah akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023 mendatang. Jika mengangkat pejabat kepala daerah, mereka akan menjabat hingga akhir 2024 karena pemilu 2024 secara serentak diusulkan pada Oktober tahun itu.
Menurut Asfinawati, penempatan perwira TNI dan Polri sudah dipertontonkan pemerintah dalam urusan di luar pilkada. Misalnya pemerintah menugaskan TNI, kepolisian, dan Badan Intelijen Negara untuk melakukan vaksinasi Covid-19 dan upaya penelitian obat Covid-19. Asfinawati menganggap pelibatan militer tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sedang mengembalikan fondasi Orde Baru, yaitu menjalankan berbagai lini pemerintahan dengan ditopang oleh kekuatan militer dan kepolisian.
Senada, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, juga mengkritik keputusan Kementerian Dalam Negeri yang memperkenankan perwira aktif TNI dan Polri menempati jabatan kepala daerah. Adi menilai keputusan itu bertentangan dengan semangat reformasi yang berupaya memisahkan lembaga pertahanan dari urusan politik dan pemerintahan sipil. "Apa pun judulnya, masuknya TNI-Polri akan menimbulkan kekhawatiran dan menciptakan pemerintahan yang antikritik," kata Adi.
Menurut Adi, perwira Kepolisian dan TNI bakal cenderung tidak demokratis karena memiliki prinsip keamanan dan pertahanan negara. Kondisi itu akan memicu kekhawatiran publik terhadap menguatnya rezim otoritarianisme. Karena itu, kata Adi, sebaiknya pemerintah menghentikan rencana tersebut dan berfokus memberi peluang kepada pegawai negeri sipil yang memiliki kualifikasi untuk menempati jabatan kepala daerah secara sementara. "Intinya, negara ini tidak kekurangan stok kepemimpinan di level daerah untuk melanjutkan suksesi berupa penempatan penjabat sementara," ujarnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menganggap pelibatan TNI-Polri dalam urusan pemerintah daerah merupakan bagian dari dwifungsi militer model baru yang sedang dilakukan oleh pemerintah. "Walaupun telah dipraktikkan sebelumnya, khusus untuk pilkada 2024 harus dipertimbangkan kembali, karena mereka akan menduduki jabatan dalam masa yang cukup lama," kata Charles.
Penjabat Gubernur Jawa Barat, Mochamad Iriawan, mengikuti apel di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 3 September 2018. humas.jabarprov.go.id
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengingatkan pemerintah agar tidak mengangkat penjabat kepala daerah dari anggota TNI dan Polri. Ia mengatakan seharusnya Kementerian Dalam Negeri sejak awal sudah menyiapkan calon penjabat kepala daerah, sehingga tidak perlu mengambil unsur dari TNI atau Polri.
"Kekhawatirannya adalah soal netralitas, apalagi nanti menjabat sampai 2024," kata dia.
Khoirunnisa berharap preseden penempatan perwira aktif TNI-Polri pada pilkada 2016 dan 2018 tidak berulang lagi. Padahal Kementerian Dalam Negeri bisa mengambil pejabat setingkat madya dari kementerian lain apabila kekurangan stok pejabat untuk diangkat menjadi penjabat sementara kepala daerah.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan mengatakan lembaganya belum membahas nama-nama calon penjabat kepala daerah. Meski begitu, ia mengatakan pemerintah mengangkat penjabat kepala daerah merujuk pada Pasal 201 UU Pilkada.
"Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat eselon I," kata Benni.
AVIT HIDAYAT | DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo