Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pro-Kontra Kiai Naga Siluman

Setelah dikembalikan pemerintah Belanda kepada Indonesia pada 10 Maret lalu, Museum Nasional belum juga memamerkan keris legendaris milik Diponegoro alias Raden Mas Ontowiryo. Rupanya ada pro dan kontra soal keaslian keris berjulukan Kiai Naga Siluman itu. Benarkah keris itu tosan aji milik pangeran Yogyakarta yang diserahkan 190 tahun lalu? 

11 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Keris yang diduga sebagai Keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro./Dok. SNKI dan Brojobuwono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Belanda mengembalikan keris Naga Siluman milik Diponegoro

  • Para pakar keris menganggap pusaka itu Naga Sasra, bukan Naga Siluman

  • Dokumen surat Sentot Alibasya dan keterangan Raden Saleh menjadi bukti

KERIS milik Diponegoro alias Raden Mas Ontowiryo dikembalikan pemerintah Belanda kepada Indonesia pada 10 Maret lalu. Keris berjulukan Kiai Naga Siluman itu 190 tahun silam diserahkan Diponegoro kepada Belanda. Peneliti Belanda dan Indonesia yang memverifikasi memastikan keris itu Naga Siluman berdasarkan arsip surat keterangan panglima perang Diponegoro, Sentot Alibasya Prawirodirdjo, dan dokumen Raden Saleh, yang melihat keris tersebut di Belanda. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun para pakar keris Indonesia sangsi tosan aji itu Naga Siluman milik Diponegoro yang diberikan kepada Belanda sebagaimana disebutkan Sentot. Sebab, dari ciri-cirinya, keris itu adalah Naga Sasra. Ada karakter visual yang sangat berbeda antara Naga Siluman dan Naga Sasra. Para pakar keris menganggap tak mungkin dulu Pangeran Diponegoro tak bisa membedakan mana Naga Siluman dan Naga Sasra. Walhasil, Museum Nasional, yang seusai wabah virus corona berencana memamerkan keris itu bersama barang-barang lain Diponegoro, akan lebih dulu menunggu titik temu antara pakar keris dan sejarawan.

***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


PRO-KONTRA seputar keris Naga Siluman tampak membuat Kepala Museum Nasional Siswanto berhati-hati. Setelah keris Diponegoro itu kembali ke Indonesia, Museum Nasional mendapat mandat menyimpannya. Rencananya, keris itu dipamerkan kepada publik. Tapi, begitu keris diserahkan Raja Belanda Willem-Alexander kepada Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada 10 Maret lalu, terjadi kontroversi yang ramai di media sosial. Para pemerhati tosan aji dan pakar keris ragu benda pusaka itu adalah Kiai Naga Siluman yang diberikan Diponegoro kepada Belanda pada 1830. Keberatan utamanya adalah bentuk keris yang diterima Presiden Joko Widodo itu menunjukkan Kiai Naga Sasra, bukan Naga Siluman. Beberapa di antaranya beranggapan para peneliti Belanda dan sejarawan Indonesia yang memverifikasi keris itu salah mengidentifikasi.

Karena perdebatannya masih runyam, Siswanto menunda rencana memamerkan keris tersebut. “Pro-kontra mesti diselesaikan dulu, karena kami tidak ingin peninggalan pahlawan seperti Diponegoro menjadi bahan pertentangan,” kata Siswanto kepada Tempo, 19 Maret lalu. Lagi pula, dia menambahkan, saat ini Museum Nasional masih ditutup sementara karena wabah virus corona. Setelah situasi membaik, Museum Nasional berencana menggelar diskusi terfokus dengan sejumlah pihak, seperti sejarawan dan pakar keris. “Karena soal ini tidak mungkin dibahas secara online.”

Siswanto menjelaskan, nantinya pameran tidak cuma memampangkan keris Diponegoro, tapi juga menyajikan peninggalan lain sang Pangeran yang lebih dulu dikembalikan Belanda. Di antaranya tongkat, payung kehormatan, pelana kuda, juga tombak. Barang-barang itu kembali ke Tanah Air setelah pada 1975 pemerintah Indonesia dan Belanda membuat kesepakatan pengembalian benda bersejarah. Keris tidak ikut dalam pengembalian pada 1978 dan 2015 karena pada masa itu catatan tentang pusaka tersebut hilang.

 

Keturunan Diponegoro generasi ketujuh, Roni Sadewo, yakin keris itu milik leluhurnya. Namun ia sepakat dengan kalangan perkerisan yang menganggap keris tersebut tidak ber-dhapur Kiai Naga Siluman. “Keris itu memenuhi ciri Naga Sasra,” ucapnya saat ditemui di Yogyakarta, 21 Maret lalu. Roni menjelaskan, Naga Siluman memiliki sosok naga di bagian bawah atau sor-soran keris. Namun sosok yang ada hanya bagian kepala, sementara tubuh hewan mitos itu menghilang di tubuh keris. Karena tubuhnya tak tampak, keris ini disebut Naga Siluman. Sedangkan pada keris yang dikembalikan Belanda, tubuh si hewan utuh hingga ke ekor. Naga Siluman juga umumnya memiliki 13 luk atau lekukan, sementara Naga Sasra punya 11 luk. Adapun keris Naga Siluman yang dikembalikan Belanda memiliki 11 lekukan. 

Menurut Roni, ada kemungkinan keris itu Naga Sasra, tapi dinamai Naga Siluman karena disesuaikan dengan pengalaman batin pemiliknya. Bisa jadi pula Diponegoro bukan pemilik pertama keris itu. “Mungkin ia menerima keris itu dengan nama Naga Siluman,” ujarnya. Kalau begitu yang terjadi, “Naga Siluman adalah rujukan untuk namanya, bukan perihal bentuk.”

Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Raja Belanda Willem Alexander (kedua kiri) dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti saat pengembalian keris Pangeran Diponegoro di Istana Bogor, Jawa Barat, 10 Maret lalu./ANTARA/Sigid Kurniawan

Penulis buku Tafsir Keris, Toni Junus, menyebutkan verifikasi semestinya juga melibatkan ahli keris, bukan hanya sejarawan. Sebab, dia menjelaskan, urusan keris mesti ditengok pula dari pandangan kosmologi Jawa. Toni pun mengkritik penjelasan salah satu anggota tim verifikasi dari Indonesia, sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, yang menyatakan ukiran di ganja bawah keris (wuwung gonjo) adalah kepala naga. “Itu hendak saya revisi. Prof (Margana), you ini salah,” ujarnya saat dihubungi, 18 Maret lalu. Ia menjelaskan, yang disebut Margana sebagai naga di keris itu sejatinya singa. Sosok singa tersebut adalah kronogram dari tahun Saka 1558 sebagai bagian dari euforia saat Sultan Agung mengalahkan tokoh pemberontak dari Kabupaten Pati, Adipati Pragola II. Dalam hitungan Masehi, tahun itu tercatat 1636, sesuai dengan umur keris Naga Siluman dalam penelitian Belanda.

Simbol singa itu biasanya disandingkan dengan gajah. Namun, pada keris yang diserahkan Belanda, hanya ada singa tanpa gajah. Walau tak semua Naga Sasra menyandingkan dua hewan itu, Toni menduga ukiran gajah di bagian ganja keris Diponegoro dicongkel. Sebab, dia melihat ada bekas akar tercerabut di dekat lubang peksi (lubang tempat penyambungan bilah keris dengan gagang) keris tersebut. Namun, terlepas keris tersebut betul milik Diponegoro atau bukan, Toni yakin keris itu asli. Ia menduga, bilapun milik sang Pangeran Yogyakarta, keris tersebut mungkin dirampas di rumahnya. Sebab, keris itu bukan tipe senjata yang bisa dibawa berlaga ke medan perang.

•••

KERIS Naga Siluman, menurut sejarawan Peter Carey, tak disebut oleh Pangeran Diponegoro saat menulis Babad Diponegoro. Dalam babad itu, yang disebut Diponegoro hanya keris keramatnya, Bandayudha. Bandayudha adalah keris utama Diponegoro. Nama Naga Siluman baru muncul dalam surat panglima Diponegoro, Sentot Alibasya Prawirodirdjo. Surat itu berisi kesaksian Sentot bahwa Diponegoro menyerahkan keris Naga Siluman kepada Jan-Baptist Cleerens. Roni Sadewo menjelaskan, Diponegoro bertemu dengan Sentot pada 1830 di Magelang, Jawa Tengah. Ketika itu, Diponegoro tengah berunding dengan Belanda, yang dipimpin Jenderal Hendrik Markus de Kock. Ada pula Cleerens, yang menjembatani komunikasi Belanda dengan Diponegoro.

Cleerens menjanjikan Diponegoro bisa kembali ke Kebumen, Jawa Tengah, bila perundingan dengan Belanda buntu. Sebagai tanda kepercayaannya, Diponegoro memberi Cleerens keris Naga Siluman dengan disaksikan Sentot. “Tukar-menukar hadiah itu biasa, karena De Kock pun pernah memberikan dua kuda Eropa kepada Diponegoro,” tutur Roni. Hubungan Cleerens dan Diponegoro sangat dekat. Diponegoro bahkan memanggilnya dimas atau adik. Sedangkan De Kock dipanggil Diponegoro dengan sebutan eyang. Oleh Cleerens, surat kesaksian Sentot, beserta keris tersebut, kemudian dibawa ke Belanda untuk dipersembahkan kepada Raja Willem I. Perupa Raden Saleh pun diminta Belanda memeriksa Kiai Naga Siluman pada 17 Januari 1831.

Selama hampir dua abad di Belanda, keris Naga Siluman sempat sulit ditemukan, seolah-olah menghilang seperti namanya. Sampai kemudian pada 2017 sejumlah peneliti dari Museum Volkenkunde, Leiden, mulai menelusurinya di koleksi keris mereka. Tujuannya adalah mengembalikan pusaka Diponegoro kepada Indonesia. Duta Besar Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, mengatakan proses penelusuran itu tergolong rahasia. Para peneliti menghindari publikasi karena keris Diponegoro adalah peninggalan sejarah yang sensitif. Namun, kata dia, semua langkah diketahui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi serta Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.

(Dari kiri) Mpu Basuki Teguh Yuwono, Ketua Bidang Tradisi SNKI Mpu Totok Brojodiningrat, Kurator Museum Volkenkunde Belanda Pin Westerkamp, Francine Brenkgreve, dan Raden Usman Effendi saat proses verifikasi keris Pangeran Diponegoro di Laboratorium Museum Volkenkunde Belanda, Desember 2018./Dok SNKI/Septiana

Profesor sejarah politik dan dekan fakultas sosial-budaya Vrije Universiteit di Amsterdam, Susan Legêne, adalah salah satu verifikatur keris Diponegoro. Lagêne menyebutkan makna keris Diponegoro bahkan dipaparkan sejak awal berdirinya Republik Indonesia. Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 27 Desember 1949, keris itu disebut peserta konferensi sebagai contoh obyek dengan nilai simbolis tinggi. “Karena itu, secara politik penting kepemilikannya,” ujarnya.

Sayangnya, keberadaan keris Diponegoro sempat tak terlacak. Pada 1984, Direktur Museum Volkenkunde 1955-1981, Pieter Pott, mulai menelusuri keris tersebut. Pott, yang meninggal pada 1989, sempat menemukan satu pusaka yang ia tengarai Kiai Naga Siluman. Namun Legêne menduga Pott belum yakin benar akan temuan itu sehingga tak mempublikasikannya.

Dalam pameran tentang Indonesia di Amsterdam, Desember 2005, keberadaan keris ini mulai dipertanyakan. Begitu pun saat tongkat Kanjeng Kiai Cokro milik Diponegoro dipulangkan ke Indonesia pada Februari 2015. Sampai akhirnya pada 2017, Museum Volkenkunde bertekad menyeriusi pencarian keris Naga Siluman. “Waktunya sudah matang untuk menelitinya lagi,” kata antropolog dan kurator Museum Volkenkunde, Francine Brinkgreve. Ia kemudian menjadi pengarah penelitian keris Diponegoro.

Yang menjadi pijakan awal adalah informasi bahwa keris itu tersimpan lebih dari seabad di Volkenkunde. Hal itu berawal dari kejadian pada 1883, ketika tempat penyimpanan koleksi benda langka Kerajaan Belanda, Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden, ditutup. Koleksi di tempat itu kemudian diserahkan kepada tujuh institusi, termasuk Volkenkunde, yang dulu bernama Rijks Ethnographisch Museum. Sayangnya, dalam proses ini banyak dokumen hilang, termasuk surat Sentot yang menjelaskan keris Diponegoro. Walhasil, keris itu hanya tersimpan dengan nama Seri 360.

Menurut Brinkgreve, petunjuk paling jelas bagi tim verifikatur adalah uraian Raden Saleh. Informasi itu membantu mereka menelisik Kiai Naga Siluman di antara 113 keris koleksi Volkenkunde. “Raden Saleh menerangkan masih ada jejak emas di atas bilah keris,” ucapnya. Proses pencarian juga berpegang pada kriteria keris: berasal dari Yogyakarta, lebih tua dari 1830 (tahun penyerahan), berhias ular atau naga, dan bilahnya berlumur emas. Di tengah upaya pencarian, tim mendapat informasi keris itu pernah ikut pameran Centennial Exposition di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 1876. Dari situlah tim mendapat gambaran lebih detail tentang fisik keris.

Potret Pangeran Diponegoro karya Soedjono Abdullah (1947), dalam pameran Aku Diponegoro Sang Pangeran Dalam Ingatan Bangsa, di Galeri Nasional, Jakarta, Februari 2015./TEMPO/Nurdiansah

Untuk memperkuat penelusuran, dua empu, Basuki Teguh Yuwono, yang merupakan dosen program studi keris di Institut Seni Indonesia Surakarta, dan Totok Brojodiningrat, diundang ke Leiden pada Januari 2019. Taksiran mereka terhadap keris berkode RV-360-8084 tak sama. Satu pakar menduga keris itu berasal dari masa Sultan Agung, yang lain memperkirakan keris dibuat pada 1759. Adapun sejarawan UGM, Sri Margana, yang datang ke Leiden pada Februari untuk memverifikasi, meyakini sosok hewan di keris sebagai naga. Selain Margana, sejarawan Bonnie Triyana dan kurator Jani Kuhnt-Saptodewo terlibat dalam riset ini.

Margana yakin keris yang diperiksanya asli milik Diponegoro. “Harus ada bukti juga bila seseorang menganggap keris itu bukan milik Diponegoro,” tuturnya. Sebelum terbang ke Leiden, Ketua Departemen Sejarah UGM itu menelaah segepok dokumen penelitian Pott, Legêne, dan Johanna Liefeldt. Pada 2017, Liefeldt menemukan dokumen korespondensi tertanggal 25 Januari 1831 yang menyebutkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens menawarkan salah satu keris Diponegoro kepada Raja Willem I. Namun dokumen ini tak menyebutkan nama keris. Baru pada 2019 peneliti bernama Tom Quist memaparkan dokumen surat Sentot dan catatan Raden Saleh yang mendeskripsikan fisik keris dengan cukup teliti.

Tapi Basuki Teguh Yuwono menganggap pertanggungjawaban ilmiah riset keris Naga Siluman milik Diponegoro mesti dikaji dari berbagai perspektif. “Kenyataannya, daya dukung datanya lemah, dan tim peneliti membuat celah yang menjadi kelemahan dasar karena tidak melibatkan pakar perkerisan,” ujarnya. Menurut Basuki, sumber data yang dipakai peneliti memang akurat. Namun data yang ada tidak an sich tertera pada artefak keris sehingga bisa menjadi celah kekeliruan dalam penelitian.

Ketika di Leiden, Basuki pun sudah mengungkapkan seluk-beluk keris itu. Ia menilai proporsi warangka dengan deder (bagian pegangan atau hulu) keris tidak sesuai. Warangka keris Naga Siluman itu terlalu besar. Begitu pun bagian gandar atau batangnya, yang terlampau panjang dibanding bilah keris. Padahal, dalam budaya keris, ada metode baku untuk menentukan proporsi dan ukuran. Sedangkan keris Naga Siluman milik Diponegoro itu tak memenuhi kaidah wangun lan mungguh alias kurang pas.

Basuki mengaku pernah mencoba memasukkan bilah keris Naga Siluman itu ke sarungnya. Tapi ternyata leng-lengan atau lubang sarung itu tak selaras dengan ganja atau bagian penyatu bilah dengan pesi keris. Karena itu, Basuki menduga warangka tersebut sebenarnya bukan pasangan asli bilah kerisnya. Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta berdampak besar pada aspek sosial-budaya masyarakat, termasuk urusan keris. Menjadi tabu dan tak etis bila ada keris yang mengombinasikan gaya Solo dengan Yogyakarta. Adapun keris Naga Siluman yang dikembalikan Belanda berbilah tangguh Mataram dengan hulu nunggak semi gaya Yogyakarta, dan warangka ladrang capu gaya Surakarta. Basuki menganggap kombinasi itu tak lazim.

Basuki juga menyoroti fisik keris Naga Siluman yang bilahnya telah rusak. Ia menduga kualitas besi bahannya tak begitu baik, atau mungkin kurang matang ditempa. Selain itu, permukaan bilah telah mengalami korosi karena karat menahun. Kemungkinan besar, kata Basuki, kondisinya sudah seperti itu saat diberikan Diponegoro kepada Belanda. “Kondisi ini juga perlu diteliti lagi, karena Belanda pasti merawatnya dengan baik,” ucapnya. Ia menambahkan, sebaiknya pendapat bahwa keris yang dikembalikan kepada Indonesia ini Kiai Naga Siluman tak perlu dipaksakan.

Penulis buku Keris Naga dan tujuh buku lain tentang keris dan pusaka Nusantara ini menilai argumentasi bahwa Naga Siluman hanyalah nama gelar lemah. Sebab, dalam dunia keris, nama ataupun gelar biasa dipahatkan pada gandar. Hal itu tak dijumpai dalam keris yang dikembalikan Belanda. Pangeran Diponegoro pun tak punya kebiasaan menamai pusakanya dengan gelar yang merujuk pada dhapur keris. Toni Junus senada dengan Basuki. Menurut Toni, Diponegoro seorang bangsawan penggemar keris. “Mustahil dia keliru membedakan Naga Sasra dan Naga Siluman,” katanya. Ia bahkan mempertanyakan isi dokumen yang menyatakan keris itu bernama Kiai Naga Siluman.

Ukiran di keris Naga Siluman masih diperdebatkan apakah berbentuk naga atau singa./Oud Archief

Ihwal adanya keraguan dari para pakar keris Indonesia yang menyangsikan keterangan bahwa keris itu milik Diponegoro, Brinkgreve menegaskan, riset bukanlah ilmu pasti. “Kami meriset ini semaksimal mungkin dengan menggali dokumentasi dan informasi,” ujarnya. Begitu pun soal nama keris yang menjadi perdebatan, tim verifikatur merujuk pada surat Sentot. “Satu yang kami cukup yakini dalam penelitian ini adalah bahwa itu keris yang sama dengan yang dibawa Cleerens ke Belanda pada 1830.”

Akan halnya pakar Diponegoro, Peter Carey, menganggap kesaksian Sentot Alibasya autentik. Bagi dia, ihwal mengapa Diponegoro menyatakan keris itu Naga Siluman merupakan bagian dari teka-teki sejarah. Menurut Carey, bisa saja Diponegoro sengaja menyebutnya keris Naga Siluman. “Seorang Diponegoro pun kadang berbohong untuk membesarkan dirinya sendiri,” tuturnya. Adapun empu Subandi Suponingrat, pembuat keris yang tinggal di Solo, Jawa Tengah, mengatakan, penamaan adalah hak Diponegoro sebagai pemilik keris. “Sulit menilai mana yang benar, tergantung kacamata dari mana kita melihatnya. Kalau kita mau mengubah sejarah yang ada berdasarkan buku dhapur, ya monggo,” ucapnya. Perihal warangka yang tak pas, Carey mengatakan hal itu tidak bisa dipakai sebagai rujukan. Menurut dia, Diponegoro pernah membeli sarung keris di Manado untuk senjata kesayangannya, Bandayudha. Sarung itu menarik minat Diponegoro karena terlihat mewah. “Jadi jangan terpaku pada warangkanya juga, karena itu pun bisa dibeli (tidak dibuat bersama keris).”

•••

TERLEPAS dari kontroversinya, ahli politik sejarah, Martijn Eickhoff, menganggap pengembalian benda bersejarah seperti keris Diponegoro mempunyai fungsi moral dan sosial. “Obyek itu tidak seharusnya ada di Belanda,” katanya. Eickhoff berharap pengembalian ini bisa menjadi momentum untuk meninjau kembali posisi Diponegoro dalam sejarah bersama Belanda dan Indonesia.

Adapun sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, lebih melihat pengembalian ini sebagai bentuk iktikad baik Belanda untuk membangun hubungan baik dengan Indonesia. “Tak hanya untuk urusan politik, tapi juga kesejarahan dan budaya. Belanda melihat Indonesia mulai memainkan peran strategis di Asia Tenggara dan Asia,” ujarnya. Bondan menyebutkan pemerintah dan masyarakat Indonesia semestinya memanfaatkan momentum ini untuk mendorong Belanda merepatriasi peninggalan sejarah negeri ini.

dokumen keris diponegoro./Oud Archief

Pada 2013, Belanda sudah menawarkan repatriasi hampir 12 ribu obyek ke Indonesia. Proses ini berlangsung lama, sampai akhirnya 1.500 obyek tiba di Museum Nasional, Desember 2019. Peneliti Jos van Beurden mengingatkan bahwa repatriasi ini masih jauh dari rampung. Dia mencontohkan, tali kuda milik Diponegoro masih tersimpan di Museum Bronbeek. “Semestinya museum sudah lama mengembalikannya, mengacu pada perjanjian dua negara pada 1975,” ucapnya.

Kurator Weltmuseum Wien, Wina, Austria, Jani Kuhnt-Saptodewo, menambahkan, ada pula keris yang masih terkait dengan Diponegoro di Eropa. Keris sepanjang 48,7 sentimeter itu masuk museum pada 1886, dari seorang kolektor bernama George Lodewijk Weynschenk. Weynschenk lahir di Yogyakarta pada 1847. Ia putra pasangan Georg Weynschenk dan perempuan Yogyakarta bernama Ramag. Saat dewasa, George kembali ke Austria. Ia membawa 26 benda dari Indonesia, dua di antaranya keris. Salah satu keris itu kemudian dihadiahkan ke Kerajaan Austria.

Menurut informasi dari George, keris bernama Sri Pengantih itu dulu dimiliki Sultan Hamengku Buwono IV. Keris tersebut menjadi jimat selama Perang Jawa, dan konon dipakai Diponegoro. Jani, yang ikut memverifikasi keris Diponegoro di Leiden, mengatakan kembalinya pusaka itu mesti dihargai. “Kalau kita sebagai bangsa tak menerimanya dengan lapang dada, itu akan membuat museum-museum di Eropa jera dan tidak meneruskan langkah (repatriasi) ini,” tuturnya.

ISMA SAVITRI, LINAWATI SIDARTO (LEIDEN), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), DINDA LEO LISTY (SOLO) 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus