Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bilik Disinfektan Ramah Manusia

Peneliti mengembangkan bilik disinfektan yang ramah bagi manusia karena tidak menggunakan bahan kimia. Ada yang memakai ozon, ada pula yang menggunakan asap cair.

11 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bilik disinfektan berbasis ozon./Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti LIPI mengembangkan bilik disinfektan yang menggunakan uap air berozon (ozone nanomist) sebagai pengganti bahan kimia.

  • Peneliti Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengganti bahan kimia disinfektan dengan asap cair atau cuka kayu.

  • Ozon dan asap cair diklaim aman terhadap tubuh manusia ketimbang bahan kimia seperti sodium hipoklorit dan hidrogen peroksida.

ANTO Tri Sugiarto berperan sendiri dalam klip video berisi cara kerja produk buatannya. Ia terlihat berjalan santai di dalam bilik berdinding plastik transparan. Kabut putih memenuhi kamar tak berpintu yang mirip boks telepon umum tersebut. Sekilas, tak ada perbedaan dengan bilik disinfektan yang kini marak digunakan untuk menumpas virus corona. “Bilik ini sama sekali tidak menggunakan bahan kimia. Jadi aman bagi tubuh manusia,” kata Kepala Balai Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anto bersama peneliti Institut Teknologi Bandung mengembangkan bilik pembasmi kuman tersebut menggunakan disinfektan berupa ozon (O3). Doktor bidang rekayasa produksi dari Gunma University, Jepang, itu mengatakan alat yang dinamai Airborne Sterilization tersebut kombinasi dari beberapa paten yang sudah ada. Ia mengembangkan alat itu sejak 2008. “Ini kelanjutan penelitian sebelumnya, cuma pemanfaatannya yang berbeda,” ujarnya melalui sambungan telepon pada Senin, 30 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anto menjelaskan, terdapat dua komponen utama Airborne Sterilization. Pertama, ozone nanobubble generator yang menghasilkan uap air mengandung ozon atau ozone nanomist. Kedua, reaktor plasma yang mengubah oksigen menjadi ozon. “Bahan bakunya oksigen. Setelah dipakai, akan kembali menjadi oksigen,” tuturnya. “Jadi tidak perlu mengisi apa pun karena alat ini sudah mengandung disinfektan, cukup isi ulang airnya.”

Airborne Sterilization memiliki kapasitas 50 liter per jam. Anto sudah memiliki beberapa purwarupa dan siap memproduksinya untuk kebutuhan memerangi pandemi Covid-19. “Kami sedang berkoordinasi dengan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional terkait dengan jumlah yang akan diproduksi,” kata Anto, yang tidak mau merinci biaya pembuatan alat itu karena berasal dari dana penelitian. Adapun perkiraan harga alat ini Rp 5-10 juta, tergantung kapasitas.

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, memiliki produk serupa dengan yang dikembangkan Anto. Namanya iChamber. Menurut Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat ITS Agus Muhammad Hatta, bilik disinfektan mereka menggunakan ozon sehingga lebih aman dari metode penyemprotan cairan kimia. “Prinsip kerjanya hanya mengubah oksigen yang ada di udara menjadi ozon,” ucap Agus.

Meski pengguna harus menahan napas selama 10 detik di dalam bilik disinfektan ozon, Agus dan Anto menyatakan ozon aman bagi manusia. Menurut Anto, ozon telah banyak digunakan untuk sterilisasi bahan makanan, minuman, alat produksi, peralatan medis, air kolam renang, dan pengolahan air minum. “Bahkan ozon juga untuk terapi penyakit, termasuk SARS dan MERS,” ujar Anto sambil menunjukkan laporan studi College of Pharmacy, India, yang terbit di Journal of Natural Science, Biology, and Medicine pada 2011.

Pengembangan bilik disinfektan yang diklaim ramah manusia karena tak memakai bahan kimia ini menjadi jawaban atas merebaknya pemakaian bilik disinfektan yang menyemprotkan bahan kimia. Bilik disinfektan itu dipasang di perkantoran swasta ataupun pemerintah. Bahkan banyak orang menyemprotkan sendiri cairan disinfektan ke permukaan tubuh, pakaian, dan barang belanjaan. Merespons fenomena ini, Kementerian Kesehatan merilis surat edaran pada Jumat, 3 April lalu.

Surat edaran yang ditandatangani Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kirana Pritasari itu meminta jajaran dinas kesehatan di daerah tidak menganjurkan penggunaan bilik disinfektan. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan cairan disinfektan yang lazim digunakan adalah sodium hipoklorit, klorin, etanol 70 persen, benzalkonium klorida, dan hidrogen peroksida. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penyemprotan disinfektan hanya ke benda mati, bukan ke tubuh manusia.

Ahli farmasi Zilhadia menuturkan, sodium hipoklorit menjadi senyawa disinfektan pertama yang digunakan di Amerika Serikat pada 1911 dan sampai kini paling banyak dipakai di seluruh dunia. “Namun berbagai jurnal melaporkan reaksi toxic dari senyawa ini di antaranya potensial menimbulkan alergi, menyebabkan kerusakan jaringan kolagen, dan mengiritasi selaput mukosa,” kata Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Asap cair hasil penyulingan/Saptadi Darmawan

Penelitian ilmiah pun, Zilhadia melanjutkan, menemukan senyawa yang dihasilkan sodium hipoklorit berupa klorin dapat mengiritasi paru-paru. “Sodium hipoklorit dapat membentuk senyawa organik terklorinasi yang bersifat karsinogenik,” ucapnya. Zilhadia, yang meraih gelar doktor ilmu kefarmasian di Universitas Indonesia pada 2016, menyebutkan penggunaan sodium hipoklorit yang berlebihan juga akan mengganggu ekosistem secara keseluruhan.

Tak ingin menggunakan bahan kimia, peneliti dari Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembangkan cairan disinfektan berbasis asap cair alias cuka kayu dan bambu. Menurut Gustan Pari, pemimpin penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan BLI itu, cuka kayu adalah produk dari proses karbonisasi dalam pembuatan arang. “Sangat aman bila terkena tubuh karena berasal dari bahan lignoselulosa, seperti kayu, bambu, dan tempurung,” tutur Gustan.

Gustan juga mencontohkan pemakaian asap cair ini dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya di industri makanan, seperti dalam masakan ayam pedas asap sebagai aditif perasa aroma asap. Asap cair, kata dia, juga digunakan untuk menyembuhkan sakit gigi dengan cara dikumur serta mengeringkan jerawat dan luka akibat virus herpes. “Intinya, sangat efektif untuk penyembuhan luka dan menghilangkan rasa gatal,” ujar profesor riset bidang kimia kayu itu. Menurut dia, kandungan utama asap cair adalah asam asetat dan fenol.

Gustan juga membagikan formula meracik disinfektan asap cair untuk bilik disinfektan. Untuk mendapatkan satu liter cairan disinfektan itu, dibutuhkan 949-969 mililiter air suling yang dicampur dengan 20 mililiter asap cair, 10-30 mililiter etanol 70 persen, serta 1 mililiter minyak serai sebagai pewangi untuk menghilangkan bau sengit asap cair. “Etanol sebagai pelarut pewangi juga untuk mempercepat proses penguapan pada baju. Bisa juga tidak ditambahi etanol,” kata Gustan.

Zilhadia mengapresiasi para peneliti yang mengembangkan disinfektan ramah manusia dan lingkungan ini. Namun, menurut dia, riset harus memiliki dasar ilmiah dan dibuktikan efektivitasnya. Ia mencontohkan, daun sirih memiliki kandungan senyawa fenol (C6H5OH), kavikol (C9H10O), eugenol (C10H12O2), kariofilen (C15H24), silen (C8H10), dan lainnya. “Namun untuk mitigasi virus corona tentu tidak serta-merta bisa digunakan. Harus ada penelitian yang membuktikannya,” ucapnya.

Menurut Zilhadia, penemuan formula atau bahan aktif baru dalam disinfektan yang merupakan barang kesehatan bagi rumah tangga itu harus mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan. Izin edar diberikan setelah bahan melalui proses evaluasi dan dinyatakan memenuhi syarat keamanan, mutu, dan manfaat. “Apalagi jika diklaim sebagai disinfektan untuk virus, tentu perlu kajian lebih lanjut,” dia menjelaskan.

Kolega Gustan, Saptadi Darmawan, yang juga Ketua Kelompok Peneliti Pengolahan Kimia, Energi, dan Hasil Hutan Bukan Kayu, mengatakan disinfektan asap cair dibuat berdasarkan nilai kearifan lokal sehingga dikategorikan sebagai obat tradisional. Lagi pula, asap cair dan minyak serai sudah masuk industri produk obat tradisional sesuai dengan aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Jika ada regulasi yang mengharuskan produk ini dilegalisasi Badan POM, kami akan mengikuti,” ujarnya.

DODY HIDAYAT, MOH. KHORY ALFARIZI, KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus