Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam otobiografi Permanent Record, Edward Snowden menulis riwayat hidupnya secara kronologis
Kolumnis The Guardian, Glenn Greenwald, yang pertama kali menerima dokumen dari Snowden, menuliskan biografi pembocor rahasia Amerika Serikat itu, No Place to Hide.
Snowden menjadi pembisik yang mengungkap pelanggaran konstitusi Amerika Serikat pada usia yang sangat muda.
SEORANG pemuda di pengujung usia dua dekade dengan kesadaran dan kepercayaan diri menemukan bahwa organisasi keamanan terbesar di Amerika Serikat telah melakukan pelanggaran konstitusi negara. Sang pemuda akhirnya meluncurkan “bom” kepada pemerintah. Bom itu adalah pembocoran informasi bahwa National Security Agency (NSA) telah melakukan serangkaian pengintaian terhadap seluruh warga Amerika tanpa setahu mereka. Pemuda itu bernama Edward Snowden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku Permanent Record yang terbit pada September 2019 ditulis Snowden sendiri, yang kini memilih tinggal di Moskow, Rusia. Buku ini segera menjadi best seller di sejumlah toko buku besar karena kisahnya memikat orang yang ingin tahu siapa tokoh yang dibenci pemerintah Amerika itu. Namanya kerap dikaitkan dengan sejumlah pembongkar rahasia, seperti Julian Assange dan WikiLeaks-nya serta Chelsea Manning yang memasok informasi bagi Assange.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria kelahiran Juni 1983 itu menulis riwayatnya secara kronologis, dari masa kecil hingga dewasa. Ed—panggilan akrab Edward Snowden—adalah sulung dari dua bersaudara anak pasangan marinir yang kemudian bercerai ketika ia masih kecil. Ed jatuh cinta pada komputer sejak ayahnya pulang membawakan perangkat tersebut. Walau kemampuannya masih terbatas, kotak ajaib itu berhasil menyihir Ed sehingga ia memilih mengurung diri di kamar berjam-jam ketimbang bermain di luar rumah.
Ed tak malu-malu mengakui bahwa ia bukan siswa berprestasi di sekolah. Dia lebih banyak tidur di kelas guna membayar jam-jam yang ia habiskan untuk memelototi layar komputer setiap malam. Ia merasa lebih banyak belajar lewat komputer ketimbang di ruang kelas. Bahkan Ed hampir putus sekolah ketika tak ada kampus yang mau menerimanya tanpa ijazah sekolah menengah atas. Kuliah pun tak menantang bagi dia. Apalagi perkembangan komputer makin canggih sehingga kian tinggi pengenalan Ed terhadap komputer.
Ed terpilih masuk ke komunitas intelijen di bawah Central Intelligence Agency tanpa ijazah SMA, apalagi perguruan tinggi. Namun Ed mempunyai sejumlah sertifikat yang menunjukkan bahwa dia memiliki kualifikasi yang sama dengan programmer ataupun pemimpin proyek, dan ia terus menunjukkan percepatan karier.
Pada usia 18 tahun, dari layar kaca Ed menyaksikan dua pesawat menabrak menara kembar World Trade Centre. Tak kurang dari 200 ribu orang menjadi korban. Mendadak sontak pemuda ini menyatakan dirinya hendak bergabung dengan militer. Sayang, karier sebagai pemegang senjata tidak terlalu cocok untuknya. Ia mengalami cedera serius dalam latihan di kamp militer, dan akhirnya memilih tak meneruskan pendidikan.
Ia kembali ke komputer, tapi tetap berada dalam jajaran aparat keamanan. Setelah menjalani tour of duty di beberapa pos di Jenewa, Jepang, dan Hawaii, Ed sebenarnya sudah memiliki apa yang menjadi dambaan pemuda seumurannya: karier bagus dan gadis yang dicintai. Tapi Ed menjadi lebih idealis terutama ketika ia membaca kembali isi Konstitusi Amerika Serikat yang teronggok di pojokan kantor.
Ed kagum terhadap para pendiri negara yang merumuskan konstitusi, tapi ia kecewa melihat lembaga besar NSA begitu teledor dalam melakukan pekerjaan. Lebih dari itu, NSA malah menjadikan warga negara sendiri sebagai sasaran pengintaian. Ed tak dapat menerima pandangan bahwa pengintaian itu merupakan respons atas aksi teroris yang kadang menyamar sebagai warga negara.
Membaca otobiografi ini awalnya terasa lambat. Namun, seiring dengan makin penting bahasan tentang diri Edward Snowden, intonasi buku ini makin menegangkan. Misalnya saat Ed merancang rencana keluar dari kantor dan terbang ke Hong Kong pada Juni 2013 untuk menemui wartawan yang percaya kepadanya. Ia bahkan tak memberi tahu pacarnya, Lindsay Mills, dan hanya meninggalkan pesan seolah-olah mendapat penugasan mendadak ke luar negeri.
Ketegangan terjadi ketika persembunyian Ed di Hong Kong diketahui dan para jurnalis menyerbu hotel tempat tinggalnya selama dua minggu. Untunglah sejumlah pihak menolongnya keluar dari Hong Kong. Ketegangan lain berlangsung ketika ia memilih menuju Ekuador tapi mesti singgah di Rusia. Di Rusia, ia dikabari bahwa paspornya tidak berlaku lagi dan tak dapat melanjutkan penerbangan. Sementara itu, pemerintah dan militer Rusia sangat ingin Ed membagikan pengetahuannya.
Yang menarik, otobiografi ini juga memuat buku catatan harian Mills. Perempuan ini kalut karena, tanpa kabar apa pun dari Ed, tiba-tiba harus berhadapan dengan berbagai aparat dan semua menanyai dia tentang Ed. Tapi kekalutan itu tak membuat Mills membenci Ed karena ia yakin Ed melakukan apa yang dianggap benar. Akhirnya, pada 2015, Mills menyusul Ed ke Moskow dan dua tahun kemudian mereka menikah.
•••
GLENN Greenwald adalah advokat yang tinggal di Brasil. Hidupnya berjalan normal sebelum datang surat elektronik dari seseorang yang tak dikenalnya pada awal Desember 2012. Pengirim e-mail menyebut dirinya Cincinnatus, merujuk pada Lucius Quinctius Cincinnatus, petani dalam kisah Romawi pada ke-5 abad sebelum Masehi. Cincinnatus ditunjuk Kaisar Roma memimpin pertahanan dari serangan pemberontak dan ia berhasil memenuhi amanat itu. Setelah menyelesaikan tugas, ia memilih kembali menjadi petani.
Greenwald juga kolumnis koran The Guardian. Kolom-kolomnya tajam menyoroti pengawasan yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat terhadap warga sendiri. Saat e-mail saling berbalas intensif, Greenwald diminta terbang ke Hong Kong untuk mendapatkan bocoran dokumen yang akan mengguncang dunia. Sebagai penggoda, si pengirim melampirkan sampel bocoran dokumen itu dan Greenwald pun terperangah. Itu bukan dokumen isapan jempol.
Greenwald tak menyangka bahwa si pembocor dokumen seorang anak muda yang masih panjang umur kariernya. Semula ia membayangkan akan bertemu dengan petugas intelijen lapangan yang sudah bosan bekerja, berada di ujung karier, dan ingin membuat sensasi dengan dokumen yang dimiliki. Posisi untuk bisa membaca dokumen semacam itu juga mengundang dugaan bahwa ini pasti kerja petugas mata-mata senior.
Dalam buku No Place to Hide, Greenwald membagikan banyak materi dalam bentuk dokumen yang telah dibocorkan Snowden, dan temuannya sangat-sangat mengejutkan. Wawancara dengan Snowden dilakukan satu-dua hari saja, tapi Greenwald memilih tetap di Hong Kong selama beberapa hari selanjutnya untuk mulai menuliskan skandal besar pembocoran ini.
Greenwald mengaku, awalnya ia diremehkan sejumlah koran. Laporannya yang dimuat The Guardian dipertanyakan New York Times, terutama menyangkut kapasitas Greenwald yang seorang pengacara alih-alih jurnalis. Bahkan beberapa media lain mencoba mengulik masa lalu Greenwald, termasuk soal utang yang ia miliki pada masa lalu. Tapi perlahan-lahan wartawan lain dan kelompok Committee to Protect Journalists membela posisi Greenwald karena melihat kerangka yang lebih besar.
Pada 2016, sutradara Oliver Stone membuat film dengan judul nama pemuda ini. Film menggambarkan bagaimana pemuda kelahiran Elizabeth City, North Carolina, itu menjadi pembocor rahasia yang harus dibayar dengan hidupnya sendiri. Kita bisa berdebat apakah akibat ini sebanding dengan kesaksian yang disampaikannya. Yang pasti, nama Edward Snowden selalu terbawa jika kita membicarakan kasus pembongkaran dokumen di Amerika Serikat dan ia menjadi pembisik pada usia yang sangat muda.
IGNATIUS HARYANTO, PENGAJAR JURNALISTIK UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA, SERPONG, BANTEN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo