Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Achmad Yurianto: Kita Tidak Kebal Corona

Juru bicara penanganan corona, Achmad Yurianto, menjelaskan soal pencegahan dan penanganan kasus corona di Indonesia, termasuk tentang penggunaan thermal scanner yang tidak cukup efektif.

7 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Achmad Yurianto. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sampai satu pekan, pemerintah Indonesia mengidentifikasi empat orang yang positif terjangkit virus corona. Pada Jumat, 6 Maret lalu, juru bicara penanganan wabah virus corona, Achmad Yurianto, mengatakan dua kasus baru terkait dengan pasien kasus 1 dan 2, perempuan 31 tahun dan ibunya, 64 tahun, di Depok, Jawa Barat.

Sebelumnya, sejumlah pihak sempat ragu terhadap pemerintah Indonesia karena belum ada kasus positif corona hingga akhir Februari lalu. Padahal wabah yang bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, pada Desember 2019, itu telah menyebar ke hampir 90 negara dan menewaskan 3.400 orang hingga Sabtu pagi, 7 Maret lalu. “Banyak yang kecewa karena enggak positif. Tapi, begitu positif, kecewa lagi, kenapa ada yang positif,” kata Yurianto, yang juga Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.

Kepada tim Tempo di kantornya di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis, 5 Maret lalu, Yurianto menjelaskan soal penyebaran corona dan penanggulangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


 
Mengapa Presiden Joko Widodo yang mengumumkan langsung kasus pertama virus corona?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebenarnya Menteri Kesehatan melaporkannya ke Presiden (Senin pagi, 2 Maret 2020). Kasarnya begini, “Pak Presiden, ini ada wabah, aku izin ngomong, ya.” Tapi, karena kemudian ini pandemi, mengenai sekian banyak negara, ibaratnya, “Sudah, Pak Menteri duduk di sini, aku saja yang ngomong.” Artinya, masalah ini diambil alih negara. Masalah ini bukan lagi hanya urusan Menteri Kesehatan. Itu pesan Pak Jokowi.

Tapi situasinya seolah-olah sangat genting. Padahal saat itu baru ada dua kasus.
Pandemi itu bukan pada jumlah orang, tapi pada sekian banyak negara yang terinfeksi. Demam berdarah dengue di Sikka, Nusa Tenggara Timur, misalnya, korbannya ratusan, tapi tetap saja statusnya kejadian luar biasa. Ini karena dampaknya enggak kemana-mana, hanya di situ.

Benarkah dua pasien asal Depok mengetahui terinfeksi corona karena pengumuman Presiden di televisi?
Presiden ngomong begitu kan dalam konteks wabah, bahwa terjadi pandemi. Undang-Undang tentang Wabah Penyakit Menular mengatakan otoritas yang boleh menyatakan wabah adalah Menteri Kesehatan. Kalau kejadian luar biasa itu kepala daerah, bupati, wali kota. Lagi pula Presiden tidak menyebut nama. Kan, beliau tahu etikanya.

Jadi pasien 1 dan 2 sudah tahu sebelum Presiden mengumumkan?
Pasien diberi tahu dokter penanggung jawab yang wajib menyampaikan diagnosis pada Ahad, 1 Maret 2020. Itu hak pasien. Tapi itu menjadi rahasia medis. Dengan memberitahukan hal itu, sebenarnya tujuannya satu, supaya dia menyadari bahwa dia berpotensi menularkan virus. Karena itu, dia tidak ingin kontak dengan orang lain atau ingin dibesuk. Kan, diisolasi.

Berapa banyak orang yang berpotensi tertular pasien 1?
Sekitar 50 orang dan bukan hanya orang Indonesia. Dari penelusuran kontak, kami awalnya mendapatkan lima orang, ketemu alamatnya, dan kami datangi. Lima orang ini kami periksa dan dinyatakan sebagai suspek. Semuanya kami masukkan ke Rumah Sakit Sulianti Saroso. Satu orang di antaranya warga negara Kolombia.

Hasil penelusuran lanjutan seperti apa?
Beberapa hari lalu, kami dihubungi sepuluh orang temannya (pasien 1). Mereka khawatir sakit. Waktu itu, mereka bilang enggak sakit. Tapi saya meminta mereka ke rumah sakit. Kasus ini kami sebut sebagai kluster Jakarta.

Apa kendala dalam memetakan orang-orang selain mereka?
Satu per satu kami tanya siapa lagi yang ada di ruangan itu. Terus kami kejar. Namanya tracing ya begitu. Beda dengan naik pesawat yang ada manifesnya, duduknya nomor berapa, gampang. Ini kan enggak ada.

Apakah kasus 1 dan 2 di Depok di luar perkiraan pemerintah?
Kami dari dulu tak pernah mengatakan kita kebal. Masalahnya adalah kapan. Dulu kan ada yang mengatakan ras Melayu itu tidak terinfeksi. Tapi, buktinya, anak buah kapal kita di Diamond Princess kan orang Melayu, positif juga. Asisten rumah tangga kita yang di Singapura kena juga. Kena ya kena aja.

Ketika wabah corona merebak, pemerintah menyetop penerbangan langsung dari dan ke Cina. Tapi kasus pertama justru terinfeksi dari orang Jepang.
Pertengahan Desember tahun lalu, terjadi penularan dari orang ke orang di Wuhan. Ini disebut sebagai first wave, gelombang besar-besaran pergerakan penyakit dari Wuhan, dari Hubei, ke seluruh daratan Cina. Sejak saat itu, WHO (Badan Kesehatan Dunia) bekerja sama dengan pemerintah Cina dan memutuskan Wuhan di-lockdown sehingga virus tidak menyebar. Otomatis semua penerbangan tutup.
     Namun, sebelum Wuhan ditutup, sebagian orang sudah ada yang keluar karena mau mudik Imlek. Ketika di Cina mulai terjadi penurunan jumlah kasus, muncul fenomena baru, tiba-tiba meledak di luar Cina. Diawali dengan Korea Selatan, Jepang, Iran, Italia, dan negara lain. Inilah second wave, orang-orang dengan gejala ringan yang membuatnya cepat menyebarkan virus.

Sejauh mana sensor panas di bandar udara dan pelabuhan bisa mendeteksinya?
Second wave ini menyebabkan standar yang selama ini kita pakai tidak lagi cukup efektif. Thermal scanner mengukur orang yang panas. Lha ini yang second wave banyak orang yang enggak panas. Lewat jadinya. Tapi kemudian kita mulai memperkuat prosedur dengan penggunaan health alert card (kartu riwayat perjalanan). Ini diterapkan sejak meledaknya kasus di Daegu, Korea Selatan. Kami menjalankan manual WHO.

Bagaimana dengan kasus orang Jepang yang menginfeksi pasien 1?
Dia datang hanya untuk pesta dansa pada 14 Februari lalu, terus balik lagi (ke Malaysia). Orang Jepang ini sekarang dirawat di rumah sakit Malaysia dengan covid positif. Dalam kasus lain, ada turis Jepang dan keluarganya yang datang ke Bali pada 15-19 Februari lalu. Dia sebelumnya minum obat, jadi badannya enggak panas, enggak batuk, tapi di dalam tubuhnya ada virus. Setelah dia pulang ke Tokyo, tanggal 22 Februari dia sakit. Begitu diperiksa, positif. Orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya kami sebut kluster Bali. Dari penelusuran, ada sebelas orang dan semua negatif.

Seberapa siap petugas dan fasilitas kesehatan di daerah dalam mencegah penyebaran virus corona?
Ada 132 rumah sakit yang sudah kami tunjuk di seluruh Indonesia. Pencegahan dan pengendalian penyakit ini juga menjadi peran pemerintah daerah. Masalahnya, disparitas antardaerah terlalu lebar. 

Seperti apa disparitasnya?
Saya terpaksa mengintervensi salah satu kabupaten karena ada orang dalam pemantauan yang di-reject dinas kesehatan. Orang itu sebelumnya diobservasi di Natuna. Penolakan itu diketahui Ikatan Dokter Indonesia setempat. Mereka berantem, akhirnya melapor ke saya. Ternyata memang di dinas itu enggak ada dokter. Akhirnya, saya menjelaskan ke masyarakat lewat radio karena terjadi kegelisahan.

Pemerintah sempat dikritik karena dianggap kurang transparan dalam menginformasikan penanganan virus corona. Bagaimana tanggapan Anda?
Banyak yang kecewa karena kita (sebelumnya) enggak kunjung positif. Begitu positif, kecewa lagi, kenapa ada yang positif. Bagi saya, enggak jadi masalah. Setiap hari kan saya menyampaikan angka kasus dan distribusi provinsinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus