Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKERJAAN menerbitkan aneka selebaran telah menjadi masa lalu bagi Santayana Kiemas. Ketika PDIP masih bernama Partai Demokrasi Indonesia dan habis-habisan ditekan rezim Orde Baru, ia merupakan salah satu aktivis yang gigih melawan penindasan lewat kabar stensilan.
Tapi waktu berlalu, zaman pun berganti. Sekarang PDIP telah menjadi partai yang berkuasa. Aktivitas Yana, panggilan akrab Santayana, pun sontak berubah. Seusai Pemilu 1999, pria separuh baya ini terpilih menjadi salah satu wakil rakyat di parlemen Provinsi Jakarta. Seiring dengan itu, kesibukannya di bidang bisnis tiba-tiba menggelembung padat.
Dengan setelan jas perlente, ia kerap terlihat lagi kongko-kongko di hotel berbintang sekelas Hilton atau Grand Mahakam, Jakarta. Kantornya pun tersebar di banyak gedung mentereng. Beberapa waktu lalu, ia sering terlihat berkantor di lantai 9 Wisma Dinners Club, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Belakangan ia lebih banyak mengunjungi kantornya yang lain di kawasan Warung Buncit dan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Apa saja sebetulnya bisnis yang ditekuni adik kandung Taufiq Kiemas itu? Macam-macam, ternyata.
Kendati terhitung belum kawakan dalam berdagang, Santayana telah berani meluncur ke bisnis perminyakan. Di sini, menggandeng kelompok usaha Setdco milik pengusaha Setiawan Djody, ia mengibarkan bendera PT Setdco Mega Trans. Menurut rencana awal, perusahaan itu akan mengapalkan minyak mentah dari Iran ke Indonesia. "Tapi sampai sekarang belum beroperasi," kata seorang eksekutif Setdco yang tak mau disebut namanya.
Kendati telah dikonfirmasikan bawahannya, Djody sendiri membantah telah berkongsi dengan Santayana. "Saya ini oposisi Mega, jadi tak mungkin berbisnis dengan dia," ia menegaskan.
Di luar itu, Santayana juga disebut-sebut berencana membangun hotel di kawasan Nusa Dua, Bali. Cukup? Belum. Ia konon tergiur pula terjun ke bisnis televisi kabel.
Dari semua bisnisnya, yang paling kontroversial adalah kepemilikan sahamnya di maskapai Indonesian Airlines, yang kini di tepi jurang kebangkrutan itu. Di sini, Santayana masuk melalui PT Daya Karti Nagari. Tercatat di Panitia Bersama Sertifikasi Provinsi DKI Jakarta, ini adalah sebuah perusahaan pemasok barang yang hanya memiliki 10 karyawan, dengan rentang usaha yang luar biasa lebar: dari urusan suku cadang, alat-alat listrik, bahan makanan ternak, pupuk, sampai usaha di sektor kehutanan.
Sayang, Santayana amat berhemat kata dalam menjelaskan berbagai usaha yang sekarang ia terjuni. "Saya tak mau berkomentar dan tak mau diekspos. Saya low profile saja," ujarnya.
Entah karena niat ingin merendah itu, entah karena hal lain, yang jelas sampai kini ia belum menyerahkan daftar hartanya kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Bersama serombongan wakil rakyat dari Jakarta lainnya, Santayana memilih tak mengikuti ketentuan yang diamanatkan undang-undang.
Beberapa bulan lalu, saking jengkelnya, Ketua Subkomisi Legislatif KPKPN, Abdullah Hehamahua, pernah mengancam akan melaporkan "kebandelan" itu ke polisi. Sekarang peringatan itu diulanginya, "Akan saya beri peringatan sekali lagi. Setelah itu, langsung ke polisi."
Nugroho Dewanto, Y. Tomi Ariyanto, Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo