Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Julukan eksekutif berjiwa pengamat masih melekat pada diri Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ke-pala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ini. Sejak dia menyandang "ban kapten" Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri dalam Kabinet Persatuan Nasional pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, suaranya terus nyaring.
Nyanyian Kwik Kian Gie kadang terdengar sumbang tidak hanya di telinga kolega kabinet, tapi juga bagi awak PDI Perjuangan, partai tempatnya bernaung sejak 1987. Dua tahun lalu, ayah tiga anak ini mengguncang kandang "Banteng Gemuk" gara-gara merilis pernyataan partainya paling korup. Pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII Jakarta ini tak cuma dicerca. Ia diminta mundur karena memperburuk citra partai. "Saya sekadar menyampaikan fakta," katanya terus terang. Saat partainya terperosok ke urutan nomor dua pada Pemilu 2004, ia dituding menyumbang kemelorotan itu.
Kini, saat bosnya, Megawati Soekarnoputri, siap berlaga pada Pemilu Presiden 2004, "si anak nakal" kembali buka suara. Ia menduga peluang Mega berkuasa kembali terbuka lebar. Apalagi pesaing kuatnya mungkin cuma Wiranto dari Partai Golkar. Berikut ini penuturan pikirannya kepada Arif Firmansyah dari Majalah TEMPO di kantornya, Kamis pagi pekan lalu, satu jam sebelum Mega-wati mengumumkan Hasyim Muzadi sebagai pasangannya.
Sehari setelah pemilu 5 April, ada rapat besar PDI Perjuangan. Waktu itu Anda dituding sebagai pemicu me-rosotnya suara partai?
Betul. Saya mengatakan tidak benar kalau saya jadi pemicunya. Ini bisa diacu ke opini publik tentang PDI Perjuangan yang ada di koran-koran dan seminar. Dari situ kan tergambar partai ini sebagai partai politik yang kadernya korup. Anggota DPR-nya tiba-tiba punya mobil hebat. Gubernurnya rebutan jabatan. Nah, perilaku itu menjadi perbincangan di mana-mana. Bagi saya, itu yang menyebabkan suara partai melorot. Saya katakan dua tahun lalu, kalau kondisi ini diteruskan, suara partai akan hancur dalam pemilu. Tapi masih ada waktu dua tahun untuk membenahinya. Terserah mau dibenahi atau tidak. Setelah itu, saya ditelepon Pak Sutjipto, yang memaki-maki. Saya bentak balik dan apa urusannya dengan omongan saya. Sejak itu, saya memang dijadikan ejekan dan guyonan dalam rapat. Nah, ketika kami kalah, soal itu dilemparkan kembali.
Apakah nama Hasyim Muzadi dan calon lain untuk pasangan Megawati langsung muncul saat itu?
Belum sama sekali. Sepanjang pengetahuan saya, soal itu memang tidak digodok karena Bu Mega tidak mau. Bu Mega menganggap calon pasangannya untuk pemilu presiden merupakan hak prerogatif dia sebagai ketua umum partai. Dia seorang diri yang akan menentukannya. Dengan sikap Bu Mega, banyak anggota dewan pimpinan pusat (DPP), seperti Roy Janis dan Pramono Anung, berbicara tidak berdasarkan pikiran Bu Mega. Menganalisis sendiri dan berpendapat sendiri. Terlalu banyak kalau harus disebutkan.
Apakah pilihan pada Ha-syim murni hak prerogatif Megawati?
Ya. Itu urusan Bu Mega 100 persen. Bu Mega tidak pernah berbicara soal itu kepada saya. Saya berani mengklaim ini memang pilihan pribadi Bu Mega. Saya dan Bu Mega memang dekat. Bahkan saya tidak tahu kenapa sikap Bu Mega pada Guntur dan Guruh sama dengan sikapnya kepada saya. Ini memang unik karena kalau dia tidak mau bicara, ya, itu betul-betul tidak mau bicara. Keunikan Bu Mega yang lain, dia tidak pernah berkata jelek satu kali pun tentang orang lain.
Sejak kapan nama Hasyim menjadi pilihan Megawati?
Saya tidak dilibatkan dan tidak diajak bicara sama sekali tentang proses yang satu ini. Bertemu dengan Bu Mega memang sering dalam sidang kabinet. Dalam sidang ka-binet, kami duduk semua. Ketika Bu Mega datang, kami berdiri. Setelah sidang selesai, kami bubar dan tidak ada pembicaraan apa-apa. Kalau mau bicara yang pribadi seperti yang dulu-dulu, biasanya berdua saja seperti dalam acara akhir pekan di Vila Gunung Geulis.
Sebenarnya lebih menguntungkan mana: duet Mega-Hamzah atau Mega-Hasyim?
Saya tak kenal Pak Hasyim. Tapi, kalau hitung-hitungan saya, bukan figur mana yang menguntungkan, melainkan figur yang bisa meneruskan tugas presiden jika presiden berhalangan.
Apakah hitung-hitungan tadi juga menjadi pertimbangan Mega Center dan Tim Mega Presiden?
Tentang Mega Center dan Tim Mega Presiden ini, saya hanya bisa menceritakan prosedurnya. Jadi, pada 6 April ada rapat DPP di Lenteng Agung. Tapi banyak sekali orang yang bukan anggota DPP ikut hadir. Di situ ada juga Cornelis Lay dan Sony Keraf, dua orang yang disebut otaknya partai sekarang. Di situ dibahas kekalahan PDI Perjuangan. Setelah itu, Pak Laksamana bilang, "Yang sudah ya sudah. Sekarang kita harus fokus pada pemilihan presiden dan akan melibatkan menteri yang ada." Namun Bu Mega bilang tidak mesti semuanya. Beberapa nama disebut. Uniknya, nama saya dan Pak Laksamana sendiri tidak disebut.
Seminggu kemudian ada sidang kabinet terbatas?
Ya. Dalam sidang ini, duduk di sebelah saya Pak Nabiel Makarim, yang bukan orang PDI Perjuangan. Pak Nabiel bilang kepada saya, "Nanti malam kita ketemu di Teuku Umar (rumah Megawati?Red.)." Dia bilang ada un-dangan. Saya jawab tidak diundang. Saya tidak tahu siapa yang mengundang. Keesokan harinya, saya mendengar dari orang yang ikut hadir. Katanya ramai, dan Bu Mega memberikan pengantar sedikit, lalu terjadi diskusi yang dipimpin Laksamana sampai pukul 24.00 WIB. Setelah itu, diskusi praktis terjadi setiap malam. Kemudian muncul nama Mega Center di koran.
Anda tidak tahu diskusi-diskusi itu?
Tidak. Setelah itu, ada ra-pat kerja nasional di Hotel Sahid, kan? Setiap anggota diberi map yang isinya ada surat keputusan DPP yang ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal. SK itu membentuk tim sukses Mega yang nama resminya Tim Mega Presiden. Di surat itu ada strukturnya, tapi tidak ada nama orangnya. Strukturnya ruwet bukan main. Dari wilayah dan daerah. Saya sempat bertanya kepada orang yang bergerombol tentang Mega Center. Dijawab Mega Center bukan organisasi, cuma orang-orang yang diundang diajak brain storm-ing. Yang penting-penting dicatat dan diberikan ke Tim Mega Presiden. Di Mega Center ini, orang-orangnya sangat heterogen, dari berbagai kalangan. Saya sama sekali tidak dilibatkan, diundang pun tidak dalam pembentukannya.
Anda pernah mengungkapkan Megawati masih punya peluang dalam pemilihan presiden. Dari mana kalkulasi politiknya?
Sekarang yang menonjol dari hasil pemilu 5 April lalu, kan, Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Kemudian pendapat umum mengatakan sebenarnya Partai Demokrat dari nol menjadi 7 persen. Ada yang bertanya apakah angka 7 persen itu dibikin oleh Pak SBY atau oleh partai. Kesimpulan umum mengatakan partai dibikin oleh Pak SBY. Nah, partai yang memilih Pak SBY itulah yang disebut mesin politik. Artinya, orang yang menggerakkan agar orang lain memilih Pak SBY sekitar 7 persen. Nah, sejelek-jeleknya PDI Perjuangan, partai yang hancur-hancuran ini ternyata masih meraih 20 persen. Karena nama partai ini jelek, yang 20 persen adalah mereka yang fanatik betul. Mereka tidak peduli dengan nama jelek atau apa, yang penting memilih PDI Perjuangan. Kalau 20 persen dibanding 7 persen, tentu lebih besar yang 20 persen.
Hanya itu kalkulasi Anda?
Pertimbangan lain, Bu Mega dan Pak Hamzah diuntungkan luar biasa karena potret mereka berdua diwajibkan di mana-mana. Anak sekolah dari desa dan pedalaman tahu itu. Untuk orang desa yang tidak terdidik dan tidak tahu sama sekali dengan politik, ketika dihadapkan pada pilihan potret dalam pemilihan, kecenderungan memilih Bu Mega besar sekali.
Jika Anda mengandaikan SBY hanya punya mesin politik 7 persen, bukankah ada Jusuf Kalla dengan gerbong Indonesia timur?
Tapi kan hanya Indonesia timur. Bu Mega hampir menyeluruh ke Indonesia. Selain itu, ada faktor lain, yakni nama Sukarno. Bagaimanapun, nama Sukarno masih punya daya tarik. Ketika hari pertama Megawati masuk ke PDI yang dipimpin Soerjadi dulu, langsung terasa pengaruhnya. Bahkan ada satu kampanye, Bu Mega jadi pembicara pertama, dan setelah dia berbicara, kampanye langsung bubar. Makanya waktu itu Bu Mega dijadikan pembicara terakhir dalam setiap kampanye penting. Saya tahu betul karena mengikutinya sejak awal.
Kalau melihat pesaing dalam pemilu presiden, siapa pesaing kuat Megawati?
Kalau mengikuti perasaan saya, meski beberapa faktor harus dipenuhi dulu, mungkin Pak Wiranto. Meski Pak SBY punya kans juga, saya condong ke Pak Wiranto pesaing kuatnya. Pertimbangannya, dia calon Golkar meski Golkar tidak solid. Namun, kalau saya amati belakangan dari koran, tampaknya Pak Wi-ranto sudah mulai akur dengan Pak Akbar Tandjung. Pak Wiranto bisa membuat dirinya acceptable untuk Golkar. Dia punya mesin politik yang rapi di seluruh Indonesia. Apalagi, dalam pemilu sekarang, Golkar menjadi partai terbesar. Kalau Pak Wiranto juga bisa membuat dirinya acceptable untuk TNI, terutama Angkatan Da-rat, dengan sendirinya akan ada solidaritas yang lumayan besar.
Tanpa menghitung siapa wakilnya, dia sudah sekuat itu?
Ya. Tidak soal siapa wakilnya. Kalaupun wakilnya dianggap penting dan seumpama jadi dengan Pak Sholahuddin, tentu dia punya kekuatan bagus karena ada gerbong Nahdlatul Ulama. Jadi, ada tiga mesin besar di belakang Pak Wiranto menurut pengamatan saya.
Bukankah gerbong NU sudah tersedot ke Hasyim Muzadi?
Gerbong Pak Sholahuddin lebih besar karena dia keturunan darah biru di lingkungan NU. Dia kan cucu pendiri NU. Pengaruhnya cukup besar.
Ini soal lain. Anda sering bersuara miring tentang partai, kadang tentang kebijakan pemerintah, padahal Anda berada di dalamnya. Bagaimana Anda menjelaskannya?
Saya jelaskan yang partai dulu. Saya punya pemahaman aktif dalam partai politik. Politik telanjur punya konotasi kotor. Namun yang saya suka dari politik adalah penyelenggaraan negara. Orang hidup tentu punya keinginan jadi apa. Ada yang jadi birokrat, guru, karyawan, yang biasanya punya interes pada penyelenggaraan negara. Kalau ini pilihannya, tujuannya untuk kebaikan rakyat banyak. Nah, ini yang mendorong saya ingin terlibat dalam penyelenggaraan negara lewat politik. Dua pilihannya: mengikuti kata hati dan bersikap jujur, atau menutupi kebenaran. Saya pilih yang pertama meski harus berbenturan dengan kolega sendiri. Ini ada risikonya dan risiko paling besar ada dalam politik. Dalam partai, acuan saya adalah Megawati sendiri sebagai ketua umum partai.
Kenapa?
Sewaktu masuk PDI tahun 1987 bersama saya, Mega punya kekuatan: dia tidak mau bohong. Bahkan, ketika diinterogasi tujuh kali, dia tetap pada pendiriannya. Seandainya Bu Mega mau mengikuti keinginan penguasa waktu itu, mungkin seabrek jabatan disiapkan. Sikap Bu Mega ini yang saya tiru. Bedanya, kalau Bu Mega bicara di internal partai, saya lebih ke luar. Bicara Bu Mega di dalam partai dan bicara saya di luar partai klop terus. Ketika saya bilang partai terkorup dua tahun lalu, Bu Mega tidak berhenti bilang, "Saya jamin perolehan PDI Perjuangan akan merosot karena Saudara-Saudara menggunakan aji mumpung."
Sampai kapan topik ini dibicarakan Megawati?
Sampai 6 April lalu di Lenteng Agung. Bahkan ketika itu Bu Mega bilang, "Benar kan omongan saya?" Sutjipto hanya berani mengomentari pendapat saya, tidak berani menanggapi Bu Mega.
Bukannya pendapat seperti itu memperburuk citra partai?
Buktinya tidak. Sebab, setelah itu, terjadi dialog yang sangat ramai, baik di seminar maupun wawancara di radio. Intervensi positif dari pernyataan itu datang dalam bentuk surat, pesan pendek, dan telepon. Kata mereka, paling tidak ada yang mau bersuara jujur di dalam partai.
Lantas soal suara miring Anda sebagai "orang dalam" dalam pemerintahan?
Bagi saya, di dalam pemerintahan pun pilihannya dua: bicara bohong atau jujur. Saya pilih bicara yang jujur saja. Bagi saya, publik boleh tahu pembicaraan yang jujur dan perbedaan pendapat de-ngan menteri lain. Itu yang dinamakan esensi transparansi dan demokrasi yang dewasa.
Jadi, tidak soal bersilang pendapat dengan menteri lain?
Bukan hanya wajar. Kita punya contoh lama tahun 1955. Waktu itu kan perdebatan antarmenteri biasa saja. Setiap menteri kan membawa ideologi partainya. Namun, ketika masuk zaman Pak Harto, tradisi itu mundur dan seolah-olah kita jadi karatan sama sekali. Saya sempat mengalami masa-masa itu selama setahun karena pada 1956 saya berangkat ke Belanda. Kebiasaan melihat perdebatan ini saya lanjutkan selama di Belanda.
Tapi apakah tidak lebih baik mundur daripada me-nyerang dari dalam?
Memang banyak yang menyarankan agar saya mundur saja. Yang menekan saya mundur biasanya orang-orang mafia Berkeley dan turunannya yang menjadi penganut aliran Berkeley.
Atau mungkin orang seperti Anda lebih cocok berada di luar sistem?
Saya jelaskan untuk yang partai dulu. Saya anggap partai ini rumah saya dan keluarga saya. Indonesia memasuki era yang transparan sejak reformasi. Orang tahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam rumah saya. Misalnya keluarga saya terdiri atas ibu yang pelacur, kakak jadi penggarong dan kena narkoba, pokoknya hancur-hancuran. Lalu saya ditanya orang, "Apakah ibu Anda pelacur?" Menurut saya, harus bilang ya karena kenyataannya begitu. Jika mengikuti pendapat tadi, kenapa saya tidak melarikan diri dari rumah tadi? Bagi saya, sikap ini moralitas yang jelek sekali. Apalagi kalau keluar sambil mencemooh. Moralitas yang benar adalah mengaku terus terang sembari memperbaiki dari dalam. Ini yang saya yakini sampai sekarang yang membuat saya berada di dalam partai terus.
Bukankah sikap seperti itu dianggap merugikan baik bagi partai maupun bagi kabinet?
Sekarang kita harus berpikir dalam perpolitikan atau kenegarawanan. Kalau pola pikir konteks politik, memang merugikan. Padahal, jika pola pikir kita sebagai negarawan, sangat menguntungkan karena bisa membuat partai menjadi partai yang jujur, solid, dan disegani.
Apa beda perpolitikan dan kenegarawanan dalam konteks ini?
Arena politik itu khas dan uniknya bukan main. Arena ini memungkinkan orang yang bodoh, tidak mengerti apa-apa, curang, dan busuk bisa menjadi orang penting dan punya kekuasaan. Itu sebabnya banyak orang busuk yang terjun ke arena politik. Tapi, kalau ada orang baik ingin ikut serta dalam penyelenggaraan negara, mau tidak mau harus menceburkan diri di arena itu, karena itu memang sarananya. Orang baik yang terjun ke politik ini ada dua tipe. Pertama, tidak tahan dan muak, lalu keluar, seperti Bung Hatta. Kedua, menceburkan diri dan tahu ada orang busuk di sekitarnya, lalu bermanuver, seperti Bung Karno. Tipe kedua ini, kalau perlu, juga jadi busuk, tapi kebusukannya dipakai untuk menghantam orang yang mengotorinya. Selama masih hidup biasanya sulit berinteraksi dan sulit membedakan siapa yang binatang politik dan siapa yang negarawan. Tipe negarawan kadang harus membentengi diri dari cara kotor. Biasanya sikap ini akan diketahui setelah lama mati.
Dan Anda tipe yang kedua?
Saya harus bermanuver agar tidak tertusuk oleh orang-orang yang kotor. Me-mang ini berisiko.
Sekarang Anda merasa di-singkirkan dari partai?
Saya tidak merasa disingkirkan dari partai, tapi saya disingkirkan dari beberapa orang di DPP. Ketika soal korupsi saya angkat, saya diminta menjadi pembicara dalam rapat kerja nasional di Hotel Shangri-La Jakarta. Saya paparkan kenapa saya punya pendapat seperti itu. Banyak yang mendukung argumentasi saya.
Bukankah Anda sudah tidak dilibatkan dalam rapat-rapat partai seperti soal Mega Center dan Tim Mega Pre-siden?
Kenapa saya harus merasa begitu? Yang saya pahami, Bu Mega tidak menganggap yang namanya Mega Center itu. Setahu saya, setelah datang pada hari pertama pembentukan Mega Center itu, Bu Mega tidak pernah lagi datang sampai hari ini, walaupun tempat diskusi Mega Center di rumah dia sendiri. Itu ditinggal tidur, menerima tamu, makan, dan sebagainya. Kalau Tim Mega Presiden, ini memang ditandatangani Bu Mega, tapi sampai hari ini tidak jelas siapa yang duduk di dalamnya. Cuma yang saya dengar ketuanya Sutjipto. Ini juga karena ada kebijakan dari Bu Mega bahwa kader partai yang duduk di pemerintahan tidak boleh jadi calon anggota legislatif. Termasuk dia sendiri. Pertimbangannya agar kepala daerah bisa berkonsentrasi bekerja untuk negara.
Bukannya Megawati mengumpulkan para kepada daerah untuk mendukung pencalonannya sebagai presiden beberapa hari lalu?
Nah, itu saya tidak tahu. Kalau benar Bu Mega yang mengambil inisiatif langkah itu, saya muak, karena sama dengan Golkar di zaman Orde Baru. Kenapa kekuasaan harus digunakan untuk memenangi pemilihan ini? Cara itu tidak boleh.
Apakah Megawati kehilangan rasa percaya diri sehingga dia sampai mengambil langkah itu?
Saya belum yakin langkah itu inisiatif Bu Mega sendiri. Saya yakin itu bukan inisiatif Bu Mega karena saya selalu hadir dalam setiap rapat DPP. Kalau sedang makan siang, yang namanya Sutjipto, Sony Keraf, Cornelis Lay, Pramono Anung, Gunawan Sirosaroyo itu menjilat dan cari muka ke Bu Mega?. Ada yang bilang, "Itu saksi di daerah sudah saya tanya mau penghargaan duit atau penghargaan yang ditandatangani Ibu." Saya cuma mendengarkan dan ter-senyum. Ini sudah berlangsung lama.
Anda tidak pernah mengingatkan mereka?
Sudah sering.
Apa lagi yang Anda ingatkan?
Menjelang pemilu kemarin, PDI Perjuangan disebutkan bisa mendapatkan 42 persen suara. Ini hitungan eksak, kata mereka. Lalu saya tanya dari mana angka itu muncul. Jawab mereka dari jawaban semua dewan pimpinan cabang dan pengurus anak cabang yang sanggup mengumpulkan suara dalam jumlah tertentu. Akhirnya keluar angka 48 persen. Tapi Sutjipto dan kawan-kawan tidak percaya kalau 48 persen, sampai akhirnya muncul angka 42 persen. Bu Mega diyakinkan habis-habisan bahwa perolehan partai segitu. Selesai rapat, saya ditanyai soal itu oleh wartawan. Saya jawab tidak mungkin dapat segitu. Kalau 20 persen saja, sudah bagus. Di rapat berikut dibahas lagi oleh Sutjipto, Pramono, dan Gunawan, yang saya sebut "The Gang of Three", saling mengisi meyakinkan Bu Mega. Sewaktu ketemu Pramono, dia tanya bagaimana presentasi di rapat itu. Saya jawab saja, "Kenapa tidak kamu tulis 100 persen saja? Toh, papan tulisnya tidak akan memprotes." Nah, saya sudah mengingatkan sampai seperti itu. Sebenarnya Bu Mega tidak yakin dengan paparan itu.
Megawati lebih percaya yang mana?
Seperti saya katakan tadi, percaya pada perolehan 20 persen. Ketika rapat DPP tanggal 6 April itu, Bu Mega langsung bilang, "Benar kan apa yang saya katakan? Perolehan merosot jadi 20 persen karena banyak yang aji mumpung."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo