TEMPO, 14 April 1973

Pada satu siang, 31 tahun silam. Suasana di depan Kantor Kejaksaan Negeri Banjarmasin tampak luar biasa. Sepasukan polisi berwajah garang bersenjata lengkap menyebar di setiap depa halaman kantor. Menjaga kantor sesama penegak hukum? Sama sekali bukan. Polisi dari komando resor kepolisian setempat—sekarang kepolisian resor—justru sedang mengepung kantor kejaksaan. Polisi memaksa jaksa "menyerahkan" orang yang pernah dijadikan tersangka kasus pembunuhan. Pokok ketegangan, di pengadilan, jaksa dan hakim membebaskan terdakwa. Yang jadi pertimbangannya adalah penjelasan terdakwa. Terdakwa mengaku membuat keterangan palsu di depan polisi karena tak tahan siksaan, seperti badan dipukul kayu gada, jari kaki ditindih kursi, dan tubuh disuluti rokok. Polisi rupanya jengkel karena jaksa membebaskan mangsanya. Ini hanya penggalan kisah-kisah kebrutalan polisi yang diangkat TEMPO edisi 14 April 1973. Dilaporkan pula, saat itu pun banyak polisi yang punya hobi main tembak tanpa melalui prosedur operasi baku. Saat publik mempersoalkan kekerasan polisi, pejabat kepolisian umumnya bersikap defensif. "Yang dihantam jangan polisi, tapi oknumnya," kata Irjen Polisi Widodo, Kepala Komando Daerah Kepolisian Metropolitan saat itu. Kini, ketika pasukan polisi menyerbu kampus dan menembaki mahasiswa Universitas Muslim Indonesia, masihkah kata "oknum" akan dipakai?