Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN majelis hakim Pengadilan Negeri Jakar-ta- Selatan yang mengabulkan eksepsi mantan guru SMPN 56 Jakarta, Nurlaila, dalam kasus penyeleng-garaan satuan pendidikan ilegal, pemalsuan dok-umen, dan memasuki suatu lahan tanpa izin, patut disambut gembira.
Sikap terpuji majelis hakim itu meniupkan angin segar bagi kemungkinan diprosesnya kembali kejanggalan pro-ses tukar guling lahan SMP yang terletak di kawasan Me-lawai, Jakarta Selatan.
Kasus ini bermula pada 2000 ketika lahan dan bangun-an SMPN 56 Melawai di-ruilslag oleh PT Tata Disantara, mi-lik mantan Menteri Abdul Latief. Kompleks sekolah itu di-tukar dengan gedung baru SMP di kawasan Jeruk P-urut, Cipete, dan gedung SMA di Bintaro, Jakarta Selatan. Pro-ses ini tak melibatkan guru, siswa, dan orang tua siswa SMPN 56.
Nurlaila dan guru-guru lain terusik dengan sejumlah keanehan dalam proses ruilslag tersebut. Soal alasan tukar guling, misalnya, Departemen Pendidikan Nasional dan Pe-merintah DKI dianggap tak pernah konsisten. Mereka berdalih lokasi sekolah terlalu dekat dengan mal. Di waktu yang lain mereka beralasan bahwa kawasan Melawai ada-lah sarang narkoba dan rawan tawuran yang membahaya-kan siswa. Bahkan ada lagi alasan lain: sekolah tersebut ber-ada di dekat pompa bensin. Anehnya, semua alasan itu tak berlaku bagi sekolah lain.
Keganjilan lain yang dilihat Nurlaila dan guru-guru di sana adalah nilai tukar tanah. Tanah dan gedung SMP se-luas 4.580 meter persegi hanya dihargai Rp 24 miliar de-ngan perhitungan harga tanah Rp 5 juta per meter persegi. Padahal, harga tanah di sana pada tahun 2000 berkisar Rp 10–20 juta per meter persegi atau seharga Rp 9,6 juta berdasarkan nilai jual obyek pajak.
Inilah yang melatari Nurlaila menjadi motor gerakan -un-tuk menggugat proses ruilslag. Dia menilai dalam k-asus ini pendidikan telah dikorbankan demi kepentingan -bisnis. Gerakan itu membuat Nurlaila dan Jonny Rimon Elian, mantan Ketua Komite Orang Tua Murid SMPN 56 Melawai, didakwa mendirikan sekolah ilegal, telah menanda-tangani buku rapor, dan memasuki halaman SMPN 56 -tanpa izin.
Dakwaan seperti itu tampak tak jernih dan bisa dituduh sebagai sebuah ”dakwaan titipan”. Soalnya, saat itu aksi me-nentang ruilslag yang dimotori Nurlaila sedang me-manas. Ketimbang sibuk memperkarakan Nurlaila dan Jonny, kejaksaan semestinya memfokuskan diri untuk menyelidiki dugaan korupsi di balik kasus itu dan juga kasus korupsi yang lain.
Seperti diketahui, setelah Nurlaila mengajukan gugatan ruilslag bermasalah itu, kejaksaan menggelar jumpa pers pada 31 Desember 2004. Mereka mengatakan telah menurun-kan tim penyelidik yang dibentuk oleh Jaksa Agung Muda Intelijen Basrief Arief. Menurut hasil penyelidikan sementara, negara dirugikan dalam kasus tukar guling itu sebesar Rp 12,4 miliar. Mantan Direktur PT Tata Disantara di-tetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu.
Namun, hingga kini kelanjutan kasus ini tak jelas kabarnya. Sudah setahun berjalan, kasus itu tetap jalan di tempat. Jika kejaksaan membiarkan kasus ini tak juga ditindaklanjuti, tak mengherankan jika muncul anggapan bahwa pendidikan telah dikalahkan oleh kepentingan bisnis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo