Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jemari lelaki itu cekatan mencelup-celupkan saringan berisi mi ke dalam kuah kaldu, lalu menuangkan isinya ke mangkuk berisi bumbu. Ia menambahkan kuah berwarna cokelat dan bakso, kemudian menyajikannya kepada pelanggan. “Beginilah pekerjaan sehari-hari saya sekarang,” kata Donny Supriyadi saat ditemui di kedai bakso miliknya, Baso Mastato, di Jalan Ternate, Kota Bandung, Kamis, 16 Mei lalu.
Mantan vokalis grup musik beraliran hardcore punk, Jeruji, itu beralih profesi menjadi pedagang bakso setelah memutuskan menekuni ajaran Islam. Sebelumnya, pria yang akrab disapa Dempak—pelafalan dari Themfuck—itu menjual aneka sandang seperti kaus dan topi, juga cendera mata. Namun usahanya gagal karena sepi peminat. Ia lalu mencoba menjual keripik. Lagi-lagi bisnisnya itu tak berumur panjang.
Baru pada 2013, ketika mulai mengurangi kesibukannya bersama Jeruji, Donny mencoba peruntungan membuka Baso Mastato dengan konsep menggabungkan mi ramen—mi khas Jepang—dengan bakso. Usaha baksonya kini mulai berkembang. Selain di Jalan Ternate, yang dalam sehari menjual rata-rata 75 mangkuk bakso, Baso Mastato buka di Jalan Jalaprang, Kota Bandung. Donny pun telah menggandeng mitra bisnis dengan membuka cabang di Cianjur, Bekasi, dan Sukabumi. “Ya, alhamdulillah, ternyata klopnya dagang bakso,” ucap Donny, 44 tahun.
Nafkah buat keluarga menjadi salah satu perhatian khusus Donny sebelum benar-benar meninggalkan dunia musik pada 2015. Sebelumnya, mata pencarian utamanya dari ngeband dan penjualan cendera mata. “Musik, bagi saya, haram,” ujar Donny. Ia mengutip hadis yang diriwayatkan Bukhari tentang larangan terhadap alat musik, konsumsi alkohol, kain sutra bagi laki-laki, dan zina.
Berbeda dengan Donny, Saktia Ari Seno alias Sakti, gitaris band Sheila on 7 pada 1996-2006, tak berpendapat bahwa musik dilarang. Namun pelajaran Islam jugalah yang membuatnya bertekad meninggalkan grup musik asal Yogyakarta itu. Ia harus memilih menjadi musikus atau mempelajari agama lantaran waktunya bentrok. “Saya memutuskan ngeboti (mengutamakan) belajar agama,” kata Sakti, yang kemudian bergabung dengan Jamaah Tabligh dan mengubah namanya menjadi Salman Al Jugjawy.
Salman banting setir menjadi penjual gamis dan bubur kalkun untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan istrinya berdagang buku secara online. Meski penghasilannya jauh menurun daripada saat masih bermain musik, ia merasa lebih tenang. “Kalau dulu mapan, tapi enggak mapan hati. Sekarang lebih mapan hati dan ekonomi pun Allah cukupi,” tuturnya.
Meski memilih meninggalkan dunia yang bergelimang harta demi menekuni agama, Salman merasa rezeki tak berhenti mengalir kepadanya dengan cara lain. Ibunya memberinya lahan 1.000 meter persegi di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia juga mendapat pemberian rumah dari orang lain. “Sedang saya bangun pesantren,” katanya.
Sementara Salman dan Donny memilih jalan sunyi, tak demikian dengan Dewi Sandra Killick. Setelah berhijab pada 2012, ia memutuskan berhenti menjadi penyanyi, tapi tetap berada di dunia hiburan. Namanya justru makin bersinar setelah ia mengenakan hijab.
Dewi mendapat banyak pekerjaan baru. Ia antara lain menjadi brand ambassador produk kosmetik, membintangi sinetron, serta mengiklankan bumbu dapur dan sabun cuci piring. Ia juga meluncurkan label hijab DOA pada Oktober 2018. Itu baru sebagian tawaran yang ia ambil. Lainnya ia tolak. “Prioritas saya berubah. Saya hanya berjalan dengan brand yang masih berjalan dengan visi-misi saya untuk memperbaiki diri dan berdakwah.”
Jalan Baru Para Pesohor/Tempo
Pun demikian dengan aktris Zee Zee Shahab, yang memilih berhijab sejak 2013. Meski ia pilih-pilih, tawaran pekerjaan terus datang. Terlebih dua tahun belakangan, ketika makin banyak orang yang belajar mendalami Islam. “Dulu banyak yang ngenyek (menghina), ‘Tunggu saja, paling nanti juga lepas hijab’,” katanya. “Sekarang banyak yang berhijrah, lingkungan pekerjaan juga mendukung.”
Fenomena mempelajari Islam lebih dalam membuat orang memilih produk yang sesuai dengan nilai keislaman. Menurut konsultan pemasaran Yuswohady, setelah munculnya gelombang orang yang mendalami Islam–mereka menyebutnya “hijrah”—dua tahun lalu, “hijrah” menjadi identitas baru yang dianggap keren. “Saya menyebutnya the new cool,” ucapnya.
Ia menambahkan, cool sebelumnya identik dengan sesuatu yang dianggap bernilai yang berasal dari Barat. Ketika para artis pun ikut berubah dan mempelajari agama, sesuatu yang berbau Islam juga dianggap keren. Dua tahun lalu, artis seperti Arie Kuncoro Untung dan istrinya, Fenita Jayanti, kembali mendalami ilmu agama. Fenita, yang sebelumnya pembawa acara gosip, lalu berhijab. Arie bersama teman-teman seprofesinya, seperti Dimas Seto, Teuku Wisnu, dan Irwansyah, lalu menginiasi banyak kegiatan. Salah satunya Hijrah Fest pada 9-11 November 2018, yang dihadiri ribuan pengunjung per hari.
Menurut Yuswohady, perkembangan ini membuat penilaian terhadap cadar berubah. Cadar, yang dulu dianggap sebagai hal menakutkan, kini dinilai bagus. Terlebih ketika sekarang penggunanya memadukan cadar dengan sneaker. “Itu the new cool.”
Pendalaman terhadap ilmu agama, kata dia, membuat mereka makin menyadari apa yang boleh dan dilarang oleh Islam, termasuk urusan memilih produk di luar makanan. Bagi mereka, konsumsi adalah bagian dari ibadah sehingga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yang mengutamakan kehalalan.
Peluang ini dicium oleh para produsen dengan berlomba-lomba mencitrakan produknya halal. “Kata halal itu menjadi kunci,” tutur Yuswohady. Maka label halal pun kini tak hanya distempelkan pada pangan, tapi juga pada produk kosmetik, peralatan masak, detergen, bahkan kulkas.
Menurut Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center, Sapta Nirwandar, produk halal tak hanya naik daun di Indonesia, tapi juga di dunia, terutama di negara yang berpenduduk mayoritas muslim. “Lihat merek besar seperti Nike, Marks & Spencer, dan Uniqlo, mereka menjual produk hijab.”
Halal Lifestyle Center memperkirakan muslim Indonesia membelanjakan U$ 218,8 miliar untuk produk halal pada 2017 dengan konsumsi paling tinggi pada makanan (U$ 170,2 miliar), diikuti pakaian (U$ 20 miliar) dan wisata (U$ 10 miliar). Lembaga itu memprediksi nilai konsumsi tersebut terus tumbuh sampai 5,3 persen pada 2025.
Namun, kata Sapta, Indonesia masih ketinggalan dalam urusan ekonomi syariah. Global Islamic Economy Report 2018-2019 menempatkan Indonesia di peringkat ke-10. Ia berharap makin banyak pengusaha muslim yang terjun ke bisnis halal. “Kalau makin banyak yang hijrah mengembangkan industri ini, banyak yang memakai, makin sejahtera karena ini bagian dari pilar ekonomi.”
Fenomena masyarakat yang mendalami Islam sudah mulai dirasakan dunia usaha. Pengembang perumahan syariah, Mohammad Givie Jadiprastowo, berkisah, 12 tahun lalu, saat ia mengadakan acara seminar tentang anti-riba di sebuah hotel di Jakarta, hanya tiga orang yang datang. Kini justru konsumen yang mencari perumahan syariah dengan pembelian secara tunai. “Sekarang malah kami yang kebingungan memenuhi permintaan karena tak punya modal,” katanya.
Perancang busana muslim Dian Pelangi juga merasakan efek ini. Banyak pelanggan baru memesan baju rancangannya. “Ada yang minta pakaian syari, atau yang biasa tapi disesuaikan dengan profesinya.”
Direktur Pemasaran Wardah, Salman Subakat, mengatakan hal serupa. Penjualan produk kosmetik halal tersebut terdongkrak seiring dengan fenomena masyarakat mendalami Islam. “Saya enggak mengukur, tapi logikanya ada peningkatan,” tuturnya.
NUR ALFIYAH, AMINUDDIN A.S. (BANDUNG), M. SYAIFULLAH (YOGYAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo