Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIRGANTARA Indonesia pekan silam berhasil menyelesaikan satu unit CN 235-220 yang dipesan Angkatan Udara Pakistan. Ini bukanlah keberhasilan komisaris dan direksi sekarang, melainkan realisasi kontrak pembelian empat unit pesawat yang ditandatangani pada 29 Juni 2001 di Rawalpindi, Pakistan. Total nilai kontraknya mencapai US$ 52 juta (Rp 440 miliar). Bukan jumlah yang kecil untuk perusahaan milik negara yang sedang babak-belur.
Keberhasilan Dirgantara itu seperti hujan sehari di antara panas ratusan tahun. Maklumlah, penyelesaian kontrak itu justru dilakukan ketika pemerintah menetapkan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas 6.600 karyawan Dirgantara Indonesia. Kasus ini salah satu contoh ketidakmampuan pemerintah Megawati Soekarnoputri menangani berbagai masalah di sektor riil yang dihadapi bangsa Indonesia. Wajar jika terjadi ledakan pengangguran selama dua tahun pemerintahan Megawati. Pada 2001, tingkat pengangguran telah berkurang menjadi 36,2 persen dari 40 persen pada 1998. Sementara itu, pada akhir tahun 2003, pengangguran meningkat kembali menjadi 40 persen.
Peningkatan pengangguran tersebut terjadi karena pemerintahan ini tidak punya visi, kepemimpinan lemah, dan tidak mampu menyelesaikan masalah sektor riil. Fokus utama pemerintah hanya pada stabilitas moneter seperti inflasi dan nilai tukar. Sebaliknya, pemerintah telah mengabaikan penciptaan lapangan kerja dan penyelesaian berbagai persoalan di bidang industri, pertanian, dan sebagainya. Pemerintah juga terlihat sibuk menjual aset negara tanpa memikirkan keuntungan negara. Sehingga tidak mengagetkan jika selama dua tahun pemerintahan Megawati, kerugian negara semakin meningkat, dan terjadi proses deindustrialisasi yang mendorong jumlah pengangguran.
Dalam kasus Dirgantara Indonesia, misalnya, pemerintah sebenarnya masih punya peluang untuk menyelamatkan produsen pesawat ini. Ketika menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, kami berusaha keras mencari solusi untuk menyelamatkan perusahaan ini pada tahun 2000. Pilihan termudah adalah menutup perusahaan itu sebagaimana dianjurkan Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi negara akan menderita kerugian yang sangat besar jika Dirgantara ditutup. Selain itu, investasi sumber daya manusia untuk menciptakan belasan ribu pegawai terdidik dan memiliki keahlian akan hilang sia-sia. Lebih dari itu, negara kepulauan yang sangat luas seperti Republik Indonesia jelas memerlukan industri penerbangan dan maritim, asalkan kompetitif dan sesuai dengan permintaan pasar.
Paradigma industri pesawat terbang sebagai high-cost aircraft industry (industri penerbangan serba mahal) harus diubah menjadi competitive-cost aircraft industry (industri penerbangan kompetitif). Pengembangan produk tidak boleh dilakukan atas dasar pengaruh kekuasaan negara atau power approach. Strategi technology push harus diubah menjadi market pull. Produksi harus ditentukan berdasarkan analisis permintaan pasar serta kemampuan daya saing, bukan ditentukan oleh selera manajemen yang "hobi dengan teknologi".
Saat itu, kami menetapkan periode 2000-2003 sebagai periode konsolidasi bagi PT Dirgantara. Jika periode ini bisa dilewati dengan selamat, setelah 2004 Dirgantara akan memasuki periode pengembangan lebih lanjut. Selama periode konsolidasi itu, perlu dilakukan reorientasi bisnis, restrukturisasi SDM, restrukturisasi keuangan, dan peningkatan kinerja perusahaan. Dalam rangka reorientasi bisnis, Dirgantara diminta lebih fokus pada produksi suku cadang dan komponen perusahaan dunia seperti Boeing, Airbus, dan British Aerospace. Indonesia sangat kompetitif dalam sektor ini. Produksi lainnya hanya dibatasi pada produksi helikopter, pesawat CN-235, dan peralatan pendukung persenjataan.
Hasil penyelamatan itu pun tidak sia-sia. Pada Mei 2002, Ernst & Young mengeluarkan laporan audit keuangan PT Dirgantara untuk tahun buku 2001-2001 dengan status wajar tanpa pengecualian. Dirgantara terbukti mampu meningkatkan penjualan dari Rp 508 miliar pada 1999 menjadi Rp 689 miliar pada 2000 dan Rp 1,4 triliun pada 2001. Dirgantara juga berhasil membalik keadaan dari merugi Rp 75 miliar pada 1999 menjadi meraih keuntungan pada 2001 sebesar Rp 11 miliar. Kondisi ini menunjukkan kepercayaan pelanggan luar negeri sebenarnya mulai tampak. Terbukti, Dirgantara mendapatkan kontrak dua pesawat dari Presiden Korea Selatan dan Pakistan.
Meski begitu, bukannya tak ada kritik terhadap Dirgantara. Komponen yang paling sulit dalam penyelamatan tersebut adalah mengubah budaya kerja perusahaan. Budaya serba majal dan jor-joran tanpa memperhatikan aspek kompetisi sangat sulit diubah. Upaya manajemen memperbaiki budaya kerja itu agar berdasarkan prinsip kompetensi dan beban kerja, bukan senioritas, ternyata mendapat perlawanan dari sejumlah karyawan senior. Manajemen saat itu tidak melakukan sosialisasi yang memadai untuk mengubah budaya kerja dan efisiensi perusahaan. Sedangkan sebagian tokoh pekerja, tanpa memahami tujuan konsolidasi dan survival perusahaan, menuntut kenaikan gaji pada saat kondisi perusahaan belum terlalu membaik.
Masalahnya, mengapa Presiden Megawati tidak belajar dari pengalaman ketika ada perbaikan kinerja PT Dirgantara selama periode konsolidasi dan survival 2000-2002. Pemerintah Megawati bukan hanya tidak mampu memperbaiki sektor riil, tetapi justru membuatnya menjadi lebih buruk. Pergantian manajemen pada 2002 lebih banyak berdasarkan pertimbangan nepotisme ketimbang profesionalisme. Manajemen baru yang dilantik oleh Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi ternyata tidak memiliki kepemimpinan dan tidak dikenal di kalangan industri penerbangan dunia. Karena itu, tak mengherankan jika Dirgantara sulit mendapatkan order baru sepanjang 2003.
Dalam kondisi banyak pemutusan hubungan kerja seperti ini, Menteri Negara BUMN justru meningkatkan jumlah komisaris dari lima orang menjadi sembilan anggota. Ini jelas bertentangan dengan prinsip efisiensi dan rasa keadilan. Di negara-negara lain yang berhasil, penyelamatan perusahaan justru dilakukan dengan mengurangi jumlah direksi dan komisaris, bahkan gaji direksi selama perusahaan dalam masa sulit. Sebut saja Lee Iacoca, bos Chrysler. Presiden salah satu perusahaan otomotif terbesar di Amerika ini bersedia menerima gaji hanya US$ 1. Di Jepang, sangat biasa bos-bos perusahaan menerima potongan gaji dan fasilitas pada saat perusahaan sulit, ketimbang memberhentikan buruh.
Upaya yang sama pernah kami lakukan di PLN ketika merugi. Kerugian kumulatif PT DI dari 1986-2000 adalah Rp 1,98 triliun, sementara kerugian PT PLN mencapai Rp 26,9 triliun atau 17 kali lebih besar. Saat itu, kami memerintahkan PLN melakukan revaluasi aset sekaligus memberikan fasilitas deffered tax payment (penundaan pembayaran pajak) dan debt-equity swap (utang dibayar dengan ekuitas) untuk memperbaiki posisi keuangan menjadi lebih sehat. Dengan revaluasi aset tersebut, aset PLN meningkat dari Rp 52 triliun menjadi Rp 202 triliun. Modalnya meningkat dari minus Rp 9,1 triliun menjadi Rp 119,4 triliun.
Susahnya, pemutusan hubungan kerja telah menjadi pilihan utama dari pemerintah meskipun biaya pesangonnya ternyata sangat besar, sampai Rp 600 miliar. Repotnya lagi, dengan profil pegawai yang tersisa, sulit mengharapkan Dirgantara memiliki kemampuan teknis profesional untuk menghasilkan pesawat yang reliable (andal) dan aman. Kebijakan PHK ini merupakan kebijakan salah kaprah. Banyak masalah yang sebenarnya dapat diselesaikan tanpa pemutusan hubungan kerja, bahkan malah bisa menciptakan lapangan kerja. Adalah ironis, satu-satunya prestasi pemerintah Megawati dalam sektor riil adalah penjualan aset-aset negara yang sangat merugikan bangsa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo