Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAUFIQ Kiemas memiliki dua peran bertolak belakang dalam hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Menurut Yudhoyono, suami Megawati itu pernah berupaya mendamaikannya dengan Megawati, yang tak pernah akur sejak 2004."Taufiq Kiemas berusaha memulihkan hubungan kami berdua," ujarnya Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat belas tahun lalu, Taufiq justru orang yang pertama-tama memanaskan hubungan Yudhoyono-Megawati. Saat itu, Yudhoyono, yang menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di kabinet Megawati, diam-diam berencana maju dalam pemilihan presiden 2004. Ia telah membentuk Partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelagat Yudhoyono bakal menjadi penantang Megawati memancing Taufiq bersuara. Taufiq, misalnya, mempertanyakan alasan Yudhoyono tak pernah melaporkan ihwal rencananya berlaga dalam pemilihan presiden kepada Megawati, yang telah mengangkatnya sebagai anggota kabinet."Bukan ngomong di koran," kata Taufiq saat itu.
Kurang dari tiga bulan sebelum pencalonan, Yudhoyono tak kunjung mengajukan pengunduran diri kepada Megawati. Waktu itu, Yudhoyono berdalih belum ada partai politik yang mengusungnya sebagai calon presiden. Tapi, bila tawaran itu datang, Yudhoyono mengaku akan langsung merespons."Saya firm soal pencalonan presiden, tak ada keraguan," ujarnya dalam wawancara khusus dengan Tempo pada 2004.
Setelah kian santer disebut bakal maju sebagai calon presiden, Yudhoyono tak dilibatkan dalam sejumlah rapat di Istana. Ia, misalnya, tak diajak bergabung dalam tim pemantau persiapan akhir Pemilihan Umum 2004. Megawati malah memilih Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo sebagai kepala tim. Yudhoyono atau wakil dari kementeriannya pun tak hadir dalam pembahasan rancangan peraturan pemerintah tentang kampanye pejabat negara.
Yudhoyono akhirnya mundur dari jabatan menteri pada Maret 2004. Dalam surat pengunduran dirinya, Yudhoyono meminta penjelasan Megawati mengenai alasan tak dilibatkannya dia dalam tugastugas pemerintahan selama beberapa waktu terakhir. Yudhoyono juga menulis adanya permintaan dari partai politik tertentu dan lingkaran dekat Megawati agar ia mundur dari kabinet."Sebagai pembantu presiden yang punya masalah dengan atasannya, saya harus tahu diri," ujarnya.
Yudhoyono akhirnya memenangi pemilihan presiden 2004 bersama Jusuf Kalla. Pasangan ini mengalahkan Megawati, yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi.
Hubungan Yudhoyono dengan Megawati makin anyep setelah ia menjadi presiden. Megawati kerap mengkritik kebijakan Yudhoyono. Megawati pun tak pernah datang saat upacara hari kemerdekaan di Istana Negara selama sepuluh tahun Yudhoyono berkuasa. Ia baru hadir lagi saat upacara 17 Agustus ketika Joko Widodo menjabat presiden.
Sekali waktu, saat upacara kemerdekaan tahun lalu, Megawati dan Yudhoyono bersirobok dalam satu panggung. Mereka bersalaman, berfoto bersama Presiden Jokowi, lalu mengikuti jamuan makan bersama."Presiden Yudhoyono hadir, Presiden Megawati hadir. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Pak Jokowi itu menyatukan," kata Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto saat itu.
Kini permusuhan Yudhoyono dan Megawati menulari orangorang dekatnya. Hasto Kristiyanto menuding manuver politik Yudhoyono demi putranya belaka, Agus Harimurti. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik membalas dengan menggugat kecakapan Puan Maharani, anak Megawati, sebagai menteri di kabinet Jokowi.
Tak cukup berperang di media, Hasto bertandang ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ia meminta Yudhoyono mengungkap informasi seputar peristiwa berdarah perebutan kantor PDI Perjuangan di Menteng, Jakarta, pada 27 Juli 1996. Ketika peristiwa itu pecah, Yudhoyono menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya."Beliau mengetahui peristiwa itu," ujar Hasto, Kamis pekan lalu.
Rachland Nashidik menuding Hasto menggoreng peristiwa KudatuliKerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli."Memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak SBY mengalahkan Megawati dalam Pemilu 2004," kata Rachland.
Raymundus Rikang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo