Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kesumat Turun ke Anak Buah

28 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kesumat Turun ke Anak Buah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAUFIQ Kiemas memiliki dua peran bertolak belakang dalam hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Menurut Yudhoyono, suami Megawati itu pernah berupaya mendamaikannya dengan Megawati, yang tak pernah akur sejak 2004."Taufiq Kiemas berusaha memulihkan hubungan kami berdua," ujarnya Rabu pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat belas tahun lalu, Taufiq justru orang yang pertama-tama memanaskan hubungan Yudhoyono-Megawati. Saat itu, Yudhoyono, yang menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di kabinet Megawati, diam-diam berencana maju dalam pemilihan presiden 2004. Ia telah membentuk Partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gelagat Yudhoyono bakal menjadi penantang Megawati memancing Taufiq bersuara. Taufiq, misalnya, mempertanyakan alasan Yudhoyono tak pernah melaporkan ihwal rencananya berlaga dalam pemilihan presiden kepada Megawati, yang telah mengangkatnya sebagai anggota kabinet."Bukan ngomong di koran," kata Taufiq saat itu.

Kurang dari tiga bulan sebelum pencalonan, Yudhoyono tak kunjung mengajukan pengunduran diri kepada Megawati. Waktu itu, Yudhoyono berdalih belum ada partai politik yang mengusungnya sebagai calon presiden. Tapi, bila tawaran itu datang, Yudhoyono mengaku akan langsung merespons."Saya firm soal pencalonan presiden, tak ada keraguan," ujarnya dalam wawancara khusus dengan Tempo pada 2004.

Setelah kian santer disebut bakal maju sebagai calon presiden, Yudhoyono tak dilibatkan dalam sejumlah rapat di Istana. Ia, misalnya, tak diajak bergabung dalam tim pemantau persiapan akhir Pemilihan Umum 2004. Megawati malah memilih Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo sebagai kepala tim. Yudhoyono atau wakil dari kementeriannya pun tak hadir dalam pembahasan rancangan peraturan pemerintah tentang kampanye pejabat negara.

Yudhoyono akhirnya mundur dari jabatan menteri pada Maret 2004. Dalam surat pengunduran dirinya, Yudhoyono meminta penjelasan Megawati mengenai alasan tak dilibatkannya dia dalam tugastugas pemerintahan selama beberapa waktu terakhir. Yudhoyono juga menulis adanya permintaan dari partai politik tertentu dan lingkaran dekat Megawati agar ia mundur dari kabinet."Sebagai pembantu presiden yang punya masalah dengan atasannya, saya harus tahu diri," ujarnya.

Yudhoyono akhirnya memenangi pemilihan presiden 2004 bersama Jusuf Kalla. Pasangan ini mengalahkan Megawati, yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi.

Hubungan Yudhoyono dengan Megawati makin anyep setelah ia menjadi presiden. Megawati kerap mengkritik kebijakan Yudhoyono. Megawati pun tak pernah datang saat upacara hari kemerdekaan di Istana Negara selama sepuluh tahun Yudhoyono berkuasa. Ia baru hadir lagi saat upacara 17 Agustus ketika Joko Widodo menjabat presiden.

Sekali waktu, saat upacara kemerdekaan tahun lalu, Megawati dan Yudhoyono bersirobok dalam satu panggung. Mereka bersalaman, berfoto bersama Presiden Jokowi, lalu mengikuti jamuan makan bersama."Presiden Yudhoyono hadir, Presiden Megawati hadir. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Pak Jokowi itu menyatukan," kata Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto saat itu.

Kini permusuhan Yudhoyono dan Megawati menulari orangorang dekatnya. Hasto Kristiyanto menuding manuver politik Yudhoyono demi putranya belaka, Agus Harimurti. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik membalas dengan menggugat kecakapan Puan Maharani, anak Megawati, sebagai menteri di kabinet Jokowi.

Tak cukup berperang di media, Hasto bertandang ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ia meminta Yudhoyono mengungkap informasi seputar peristiwa berdarah perebutan kantor PDI Perjuangan di Menteng, Jakarta, pada 27 Juli 1996. Ketika peristiwa itu pecah, Yudhoyono menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya."Beliau mengetahui peristiwa itu," ujar Hasto, Kamis pekan lalu.

Rachland Nashidik menuding Hasto menggoreng peristiwa KudatuliKerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli."Memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak SBY mengalahkan Megawati dalam Pemilu 2004," kata Rachland.

Raymundus Rikang

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus