Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAYAR memperlihatkan sepasang agen rahasia Inggris, Harry dan Amy, pada 1950an yang bersembunyi di sebuah apartemen yang sempit di Berlin. Apartemen itu berada di zona Soviet. Dalam kondisi tak menentu, keduanya terjebak hubungan asmara. Tibatiba Harry dihubungi matamata bernama Krystina, sahabat masa lalunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amy mencegah Harry menemui Krystina. Namun Harry berkeras karena Krystina pernah menyelamatkannya. Kala bertemu, Krystina mengajak Harry kabur dari Berlin. Tiket telah diatur. Tiket Krystina menuju Luebeck, sebuah kota pelabuhan Jerman. Harry mendapat firasat bahwa pasti di sana Krystina akan dibunuh, karena sepi sekali itu kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di Luebeck, mudah sekali membuang mayat tanpa ketahuan," kata Harry kepada Amy.
Film noir hitamputih ini menceritakan kehidupan agen rahasia lintas negara di Berlin selama puncak Perang Dingin. Harry dan Amy dikontrol atasan mereka, intel KGB. Film itu dimainkan aktor dan aktris kelompok Imitating the Dog. Harry diperankan Matt Prendergast, Laura Atherton menjadi Amy, dan atasan yang mengontrol mereka diperankan Morven Macbeth.
Tapi, yang menarik, saat film itu diputar di Nipah Mall, Makassar, Jumat, 13 Juli lalu, dan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 20 Juli lalu, tiga pemeran tersebut berada di panggung tepat di bawah layar. Tanpa melihat film yang mereka mainkan sendiri, ketiganya menuturkan dialog yang mereka ucapkan dalam film. Mereka bukan dubber (dubber akan mengisi suara dengan melihat adegan demi adegan film). Dialog mereka mengisi percakapan di layar.
Mereka pun bernyanyi apabila layar menampilkan soundtrack film. Mereka mengisi suara dengan membaca naskah berlembarlembar. Tapi mereka tidak hanya berdiri di satu posisi, melainkan bergerak melakukan interaksi satu sama lain, menciptakan adegan minimalis. Lembaran naskah sampai dihamburkan ke lantai kala terjadi konflik dalam film.
Penonton menyaksikan dua pertunjukan, film dan teater, berjalan paralel. Mulamula hal ini cukup membingungkan. Hampir bisa dipastikan mata penonton ulangalik antara menyaksikan film dan melihat akting di panggung. Lamakelamaan timbul kesadaran bahwa film dan teater itu saling mengisi. Yang segera tersampaikan adalah kemampuan Prendergast, Atherton, dan Macbeth menampilkan adegan serta mengisi suara dengan timing yang akurat. Kalimat dan gerak mereka di panggung, meski tanpa melihat layar, sinkron dengan apa yang mereka mainkan dalam film."Kami mulanya memperhatikan dengan saksama setiap momentum dan gerakan hingga koneksi itu muncul," ujar Pete Brooks, direktur Imitating the Dog.
Bagi publik teater Indonesia, tontonan ini sesuatu yang baru. Belum ada kelompok teater Indonesia yang khusus menekuni kemungkinankemungkinan interaksi film dengan teater. Imitating the Dog di Inggris terus bereksperimen mensinergikan teater dengan teknologi digital. Nocturnes adalah karya terbaru Imitating the Dog, pertama kali dipentaskan dalam Festival Edinburgh 2017. Yang hendak dicapai cukup ambisius. Dengan menampilkan film dan teater secara bersamaan, mereka ingin mengetahui siapa sebenarnya yang mengatur sebuah cerita. Teaterkah? Ataukah film? Teater yang meniru film, atau film yang mengikuti aktor di depannya? Siapa yang memegang kontrol?
Terlambat sedikit dialog yang diucapkan Matt Prendergast, Laura Atherton, dan Morven Macbeth di panggung, koordinasi antara film dan teater kacau. Film tak akan berhenti berputar. Improvisasi di panggung, meski dimungkinkan, sangat terbatas. Tak boleh keluar dari adegan film yang berjalan. Improvisasi tetap mengungkapkan apa yang ada dalam film."Gagasan yang hendak kami sampaikan di sini adalah kita tak bisa keluar dari kisah hidup kita sendiri. Kalau keluar, itu jadi cerita yang berbeda," kata Pete Brooks, agak filosofis. Harus diakui kemampuan luar biasa para aktor di panggung dalam menghafal adeganadegan yang mereka tampilkan di film.
Morven Macbeth, misalnya. Di panggung, ia harus memerankan banyak karakter dalam film."Saya memainkan sebelas karakter," ucapnya. Di layar, ia mengisi suara sepasang agen KGB tua lakilaki dan perempuan, anak kecil, juga Krystina. Ia pun mampu menampilkan berbagai macam karakter suara yang berbeda. Film itu hidup oleh suarasuara yang diucapkan di panggung.
Tapi, dalam diskusi di kampus Institut Kesenian Jakarta, seorang penonton menilai film dan teater masih berebut mencuri pandangan mata penonton. Ia mempertanyakan tidak dibedakannya adegan dalam film dengan pertunjukan di panggung. Jika dibedakan, keduanya bisa betulbetul saling melengkapi. Misalnya saat di panggung ada adegan minum, yang tampak di layar adalah detail gelas tempat minuman. Atau saat di panggung ada adegan mengarahkan pistol, di layar detail pistol itu yang muncul. Layar bioskop yang lebih besar memang berisiko lebih banyak dipandang penonton. Apalagi gerakan di panggung cenderung minimalis, mirip latihan reading naskah. Pete Brooks menerangkan bahwa adegan dalam film lebih banyak dibuat closeup demi kebutuhan interaksi dengan pentas teater.
Proses kreatif Nocturnes awalnya seperti latihan teater pada umumnya. Naskah ditulis, syuting dilakukan, lalu para pemeran berlatih untuk mengkoordinasikan film dengan teater. Pembuatan film pun sangat sederhana."Teknologi yang kami pakai sebenarnya tak begitu canggih," kata Brooks. Untuk menghasilkan lakon Nocturnes, mereka menggunakan aplikasi Switcher Studio, yang dapat diunduh gratis di App Store dan mudah digunakan oleh siapa saja.
Seluruh materi adegan film, menurut Brooks, sebenarnya dibuat di studio hanya dalam lima hari. Dalam lokakarya yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta bertajuk"Cinematic Dramaturgy", Brooks membeberkan teknik pembuatan filmnya. Misalnya saat Harry menunggu taksi. Dalam syuting, Matt Prendergast berdiri di depan sebuah layar putih besar. Dari belakangnya, proyektor menembakkan gambar sebuah pintu. Prendergast menolehkan kepala, lantas mengangkat satu tangan seolaholah sedang menghentikan taksi. Lalu lewatlah"taksi" itu, sebuah properti dari kardus yang siluetnya terlihat seperti mobil. Tiga kamera menangkap aksi Prendergast dari tiga sudut tertentu, kemudian gambarnya digabungkan dalam satu layar. Hasilnya sepotong adegan Harry menghentikan taksi dalam film Nocturnes. Modal mereka cuma back projector dan properti sederhana.
Nocturnes hanyalah salah satu eksperimen Imitating the Dog. Lewat ceramahnya yang bertema"Technology as Scenographic Metaphor", Brooks menyuguhkan contoh bahwa materi setiap eksperimen karya Imitating the Dog selalu berbeda."Kami pernah menayangkan secara real time atau live streaming pertunjukan teater yang kami sisipi bagian dari film," katanya. Dari contoh yang disajikan, peserta melihat kelompok teater itu ada di tempat lain dan mengambil bagian dalam frame di layar sinema. Mereka juga pernah mengadaptasi novel A Farewell to Arms karya Ernest Hemingway. Setnya berupa bangsal rumah sakit. Lalu tibatiba muncul video mapping di dinding rumah sakit. Tokohtokoh pun muncul. Mereka juga menggunakan video mapping dalam pentas opera klasik Tosca karya Giacomo Puccini dengan ratusan pemain di Italia."Yang paling eksperimental, kami pernah menggunakan 16 proyektor. Dan setiap penonton diberi earphone agar merasakan efeknya," tutur Brooks.
Imitating the Dog dibiayai pemerintah Inggris dan diberi misi khusus mengeksplorasi teknologi dalam pentas teater. Mereka umumnya bermain untuk skala menengah, yaitu di hadapan 200500 audiens."Cukup rumit, karena kami harus bereksperimen tapi juga mesti memastikan penonton memahami apa yang kami tampilkan," kata Brooks. Agar lakon mereka bisa diakses sebagian besar penonton, umumnya naskah dibangun berdasarkan budaya populer. Misalnya film, novel, atau animasi yang sudah dikenal secara umum.
Kedatangan Imitating the Dog ke Makassar dan Jakarta memberi wawasan bahwa wilayah teater makin luas dengan adanya teknologi. "Teknologi telah berkembang sangat pesat sejak kami memulai hal ini. Teknologi dulu mahal, kini banyak yang gratis," ujar Brooks."Dengan teknologi digital, kami ingin terus mencari bahasa penceritaan teater yang lain." Tapi memang yang hendak dicapai dalam Nocturnes cukup ambisius.
Seno Joko Suyono, Moyang Kasih Dewi (Jakarta), Didit Hariyadi (Makassar)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo