Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Uji Cepat Melawan Sampar

Presiden Joko Widodo memerintahkan pelaksanaan rapid test atau tes cepat secara massal untuk melacak penyebaran penyakit menular Covid-19. Tetap membutuhkan metode pemeriksaan lama yang lebih akurat membaca virus.

21 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga mengantre untuk melakukan tes corona atau Covid-19 di Poli Khusus Corona Rumah Sakit Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, 16 Maret 2020. ANTARA/Moch Asim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah melakukan tes massal (mass rapid test) untuk mendeteksi penyebaran wabah Covid-19.

  • Rapid test atau tes cepat dapat membaca jejak virus corona dalam tubuh manusia.

  • Metode reaksi berantai polimerase (PCR) dan pemetaan genom (sequencing) tetap dibutuhkan untuk mengkonfirmasi hasil rapid test meski prosesnya lebih panjang.

BUTUH 17 hari bagi Presiden Joko Widodo memutuskan penggunaan rapid test kit atau alat tes cepat agar pendeteksian orang yang terpapar virus corona diketahui lebih dini. Sejak Presiden Jokowi mengumumkan dua pasien pertama penyakit Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret lalu, sampar itu merebak sangat cepat hingga menjangkiti lebih dari 300 orang di 17 provinsi dan mengakibatkan 25 orang meninggal. “Saya minta alat rapid test terus diperbanyak,” kata Jokowi menjelang rapat di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 19 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehari setelah keputusan itu, pemerintah langsung menggelar pemeriksaan massal pertama dengan rapid test di Jakarta Selatan. Melalui siaran langsung pada Jumat, 20 Maret lalu, Jokowi mengatakan tes cepat itu dilakukan di kawasan yang diketahui memiliki jejak kontak dengan pasien positif Covid-19. Pemeriksaan pun dilakukan dari rumah ke rumah. “Indikasi yang paling rawan di Jakarta Selatan,” ujar Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, pemeriksaan Covid-19 mengandalkan metode reaksi berantai polimerase atau polymerase chain reaction (PCR). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) yang menjadi motor utamanya. Kementerian Kesehatan menyatakan prosedur pengecekan sampel Covid-19 di lembaga itu sudah sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Balitbangkes yang memiliki standar biosafety level 2 (BSL-2). Untuk menjamin akurasi, lembaga tersebut memeriksa setidaknya tiga spesimen dari satu pasien.

Ketika wabah meluas, pemerintah memberi jalan bagi 15 laboratorium untuk membantu mendeteksi virus corona pada pasien. Fasilitas pemeriksaan itu berada di Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Papua. Sebagian di antaranya merupakan laboratorium institusi penelitian, antara lain Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya; dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Depok.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan populasi yang berisiko terpapar Covid-19 di Indonesia bisa mencapai 700 ribu orang. Pemerintah bakal menyiapkan sekitar 1 juta rapid test kit untuk pemeriksaan massal. Pemeriksaan massal ini dilakukan untuk orang-orang yang memang memiliki risiko tinggi tertular setelah dilihat dari riwayat kontak dan perjalanannya.

Yurianto mengatakan metode rapid test merupakan pemeriksaan spesimen menggunakan sampel cairan darah. Prosedur ini juga lebih mudah dilakukan karena tidak membutuhkan sarana pemeriksaan di laboratorium yang harus memiliki standar keamanan biologi tingkat tinggi (BSL-2). “Tes ini bisa dilakukan di hampir semua rumah sakit di Indonesia,” katanya.

•••

MODEL pemeriksaan menjadi kontroversi sejak wabah Covid-19 mengoyak Indonesia dalam tiga pekan terakhir. Pemeriksaan dengan PCR dinilai masih menjadi patokan utama karena lebih akurat membaca keberadaan virus corona di tubuh pasien. Namun prosedurnya dianggap terlalu lama, bisa memakan waktu hingga tiga hari dan membutuhkan laboratorium dengan standar keamanan tinggi yang jumlahnya terbatas. “Terlalu lama untuk bisa mendeteksi penyebaran wabah,” ujar guru besar biokimia dan biologi molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom.

Menurut Nidom, rapid test bisa dipakai sebagai penapisan awal orang-orang yang diduga terjangkit virus corona. Cara itu juga bisa dipakai memetakan penyebaran penyakit dalam satu komunitas. Selain itu, metode tersebut cocok dipakai dalam skala besar karena prosedurnya lebih cepat dan murah. Hasil rapid test ini bisa didapat dalam waktu kurang dari satu jam. Harga rapid test kit, kata Nidom, tidak jauh berbeda dengan rapid test flu, berkisar Rp 150-200 ribu. Bandingkan dengan harga tes PCR yang di kisaran Rp 1-2,5 juta.

Metode PCR menggunakan sampel yang diambil lewat metode usap atau swab–pengambilan lendir dari saluran pernapasan–atau feses orang yang diduga menderita Covid-19. Adapun rapid test digunakan untuk mendeteksi antibodi yang bisa diketahui dari sampel darah. Keberadaan antibodi itu bisa menggambarkan apakah tubuh seseorang pernah atau sedang terinfeksi virus corona. “Tidak perlu menunggu sampai ada gejala penyakit timbul dulu,” ucap Nidom pada Kamis, 19 Maret lalu.

Rapid test terdiri atas dua jenis untuk menguji antibodi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) terhadap virus corona. Jika hasil rapid test seseorang menunjukkan antibodi IgG positif, dia pernah terpapar virus corona. Adapun indikator IgM dipakai untuk mendeteksi apakah orang yang diperiksa sedang terinfeksi virus corona atau tidak.

Meski demikian, rapid test tidak bisa membaca dengan detail konsentrasi virus. Jasad renik itu mampu membuat orang memiliki gejala sakit jika plaque-forming unit (PFU) atau konsentrasinya berkisar 100.000-10.000.000 per mililiter sampel. Jika konsentrasi virus masih di bawah 1.000 PFU per mililiter, antibodi manusia bisa menghabisinya. Namun jejak virus tetap bisa terbaca rapid test kit lewat antibodi. “Makanya PCR tetap diperlukan untuk penegakan diagnosis dan penanganan yang tepat,” ujar Nidom.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga mengandalkan PCR untuk mendeteksi virus corona. Baru ditunjuk Jokowi untuk ikut memeriksa spesimen Covid-19 pada 13 Maret lalu, Eijkman sebenarnya lebih dulu menerima sampel untuk diperiksa dari beberapa rumah sakit. “Sejak awal kami memang sudah siap,” kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio pada Rabu, 18 Maret lalu.

Amin mengatakan pemeriksaan dengan PCR masih menjadi standar utama melacak virus corona pada pasien. Eijkman memiliki lima peneliti yang khusus diterjunkan untuk memeriksa sampel terkait dengan wabah Covid-19. Menurut Amin, mereka hanya menerima sampel yang dikirim dari rumah sakit. Kapasitas pemeriksaan pun hanya 80 sampel per hari. “Kalau jumlah kasus meningkat drastis, harus kami naikkan kapasitasnya,” ujar Amin.

Proses PCR bisa berlangsung hingga lima jam. Durasi panjang dan terbatasnya kapasitas pemeriksaan menjadi ganjalan metode PCR untuk mengecek sampel dalam jumlah besar. Dalam sehari, Eijkman hanya menjalankan satu kali PCR. Jika sampel datang setelah prosedur PCR dimulai, ia akan diikutkan dalam kloter pemeriksaan pada hari berikutnya. Namun, jika ada yang hasilnya positif Covid-19, sampel akan langsung diperiksa sekali lagi pada hari yang sama untuk memastikannya. “Makanya kami sampaikan pemeriksaan bisa dua-tiga hari,” katanya.

Achmad Yurianto mengatakan rapid test tetap perlu dikombinasikan dengan PCR dan pemetaan genom (genome sequencing) untuk mengkonfirmasi status virus corona. Pasalnya, rapid test dinilai memiliki tingkat kesalahan yang cukup tinggi karena hanya bisa membaca keberadaan jejak virus di dalam tubuh lewat antibodi. Kondisi ini berpotensi memicu “alarm palsu”, yang sempat membuat banyak negara kelabakan karena mendadak jumlah kasus positif Covid-19 meningkat drastis.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, NUR ALFIYAH, MAHARDIKA SATRIA HADI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus