Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika kuda berlari di padang stepa

Pencurian ternak di sumba, dimana orang-orang sumba tahu siapa-siapa biang maling itu. tapi mereka tak punya keberanian mengungkapkannya, apalagi melawan. petugas keamanan lebih sering tak berdaya.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU roda pesawat menginjak landasan Mau Hau, Waingapu, yang terlihat hanyalah bongkah bumi hitam, kering, dan menyengat. Inilah Sumba. Sebuah pulau kecil, di sebelah barat Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Sekali lagi, ini Sumba, Bung! Tempat orang-orang menghabiskan waktunya sebulan dua bulan hanya untuk secarik kain tenun. Tempat kaum lelaki memerahkan giginya dengan sirih pinang. Tempat orang-orang suka bermimpi ke surga lewat bakar daging dan tenggakan laru (tuak). Tempat air jadi barang langka di sungainya yang berbatu dan berliku, tempat padang rumput hijau menghampar yang pada musimnya nanti hanya akan menjadi gumpalan api. Juga tempat sapi dan kerbau bergerombol, serta kuda berlarian yang - ketika kemarau menggigit terengah-engah kekurangan air dan makan, lalu mati menyisakan tengkoraknya. Seperti halnya sapi dan kerbau, di Sumba ini kuda adalah bagian keseharian mereka. Jenis Sandalwood malah ditahbiskan sebagai kuda asli Sumba dalam buku Horse Breeds of the World. Walau kini sudah sangat sulit mencari yang asli setelah kuda Arab dan Australia didatangkan ke sana sejak tahun 1870 - yang lalu beranak pinak saling-silang. Dengan populasi sekitar 55 ribu ekor, jadilah pulau yang besarnya satu setengah kali dari Madura itu sebagai penghasil kuda terbesar di Indonesia. Populasi yang sebagus itu juga dicapai kerbau, sekitar 75 ribu ekor. Kerbau pun dipercaya para Raja Sumba sebagai lambang kehormatan dengan membiarkan tanduknya mencapai bentangan sampai dua meter. Dan sapi juga merupakan hasil terpenting Sumba, meskipun kini ditaksir tinggal berjumlah 40 ribu ekor. Sapi itu disebut peranakan Sumba Ongole, setelah sejumlah sapi didatangkan dari India pada tahun 1912. Pada saat berkecamuknya Perang Vietnam, sapi Sumba sempat menjadi pengganjal perut para serdadu Amerika di Vietnam. Adalah Umbu Naengguli, Raja Karera - bagian selatan Sumba Timur - yang mengekspor sapi itu lewat Hong Kong. Memelihara ternak bagi orang Sumba bukan hanya pekerjaan sambilan. Ternak, bagi mereka, adalah banda ia marada (harta di sawah dan padang) yang selalu dipersoalkan dalam setiap upacara adat Marapu - agama yang dianut persen penduduk Sumba. Ternak adalah tanda mata adat untuk mengikat kekerabatan kelompok. Ternak adalah bahan bertegur sapa di jalan dan bahan perbincangan di pranggang (pasarj sambil minum laru. Karena itu, urusan ternak pun bisa membuat masyarakat Sumba naik pitam biarpun kuda, sapi, dan kerbau mereka dilepas bebas merumput di padang luas, dan hanya ditandai "cap bakar" pada pantat atau hotu (sobekan pada telinga) sebagai ciri kepemilikannya. Sejarah mencatat adanya sejumlah kerusuhan lantaran ternak. Pada bulan Agustus 1899, Raja Lewa-Kambera, Umbu Biditau, membakar semua rumah Raja Tabundung dan menjarah harta serta menawan sejumlah warganya. Urabu Biditau marah. Kuda pacu kesayangannya yang dinamai Leu Kokuru (kelapa bersih) dicuri anak buah Pindingara - saudara Raja Tabundung yang menjadi calon Raja Mbatakapidu. Pindingara tidak terima perlakuan Umbu Biditau. Apalagi istrinya ikut tertawan, dan kemudian malah dibunuh. Tanggal 15 Agustus tahun yang sama, pasukan Pindingara menggempur dan membumihanguskan kampung Lambanapu yang berada di wilayah kekuasaan Umbu Biditau. Kejadian inilah kemudian disebut "Perang Lambanapu" dalam buku Sumba dalam Jangkauan Sejarah. Persoalan tak berhenti sampai di sini. Ketika mendengar kabar bahwa Umbu Biditau hendak membalas, Pindingara menggempur lagi. Perang saudara tak terelakkan. Kobaran perang kian marak, ketika Belanda ikut serta. Gubernur Makassar dan Residen Kupang mengirim ammada kapal Java dan Pelikaan ke Sumba. Bahu-membahu dengan kekuatan Pindingara, para awak kapal itu turun ke darat menggempur pasukan Umbu Biditau. Umbu Biditau kewalahan, terdesak ke pedalaman, dan tertangkap. Pada tahun 1907, ia diasingkan ke Padang, Sumatera Barat. "Perang Lambanapu" bukan kerusuhan pertama di Sumba lantaran temak. Pada tanggal 11 Mei 1874, Ama Kuji Bire - saudara Raja Seba membakar daerah Parai Kamaru, menjarah semua harta Umbu Yiwa Makabunggulu, temmasuk 70 ekor kuda dan puluhan kerbaunya. Tindakan Ama Kuji hanya untuk memalas perbuatan bangsawan Kambera itu yang dituduhnya mencuri kuda orang-orang Sawu di Kambaniru. Pemerintah kolonial mendiamkan tindakan Ama Kuji, lantaran kuda "gubernemen" juga ikut tercuri Umbu Yiwa. Zaman kolonial sudah berlalu. Raja-raja Sumba tinggal nama. Tapi pencurian ternak terus saja terjadi. Angka kriminalitas di Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Sumba Barat tahun lalu, misalnya, meningkat lebih dari biasanya. Sebagian besar kriminalitas ini, ya, pencurian ternak. Pencurian ternak memuncak saat "musim lapar" - begitu orang setempat menyebut musim kemarau - tiba. Ternak curian ini bukan untuk dijual, tapi buat makan. Saat-saat seperti itu panas kemarau menghanguskan tetumbuhan. Apa lagi yang bisa dimakan? Lebih-lebih orang Sumba memang dikenal kuat makan daging. Maka, kelakuan pencuri yang kelaparan itu bisa sangat menjengkelkan. Seekor sapi cukup diseret ke tengah padang yang sepi, lalu dibabat sebelah kaki belakangnya atau bagian lain yang diinginkannya. Setelah itu, pencuri pulang dengan memanggul sepotong kaki sapi. Tubuh sapi ditinggalkan begitu saja. Pemilik ternak baru sadar ternaknya berkurang, bila musim penghujan tiba. Itulah saat-saat mereka mengumpulkan ternaknya, untuk membantu pekerjaan di sawah atau ladang. Saat itulah mereka melapor ke polisi. Mencuri ternak, seperti yang dituturkan Kuri Pagoba tidak sulit. (Lihat Maling Budiman yang Suka Menyair). Dengan mengendarai kuda tanpa pelana disertai keahlian melempar jerat seperti halnya lasso - si pencuri berusaha mendekati "pimpinan" dari sekelompok ternak itu. Bila "pimpinan kelompok" itu sudah terjerat, dan dibawa pergi, dengan sendirinya "anak buahnya" akan mengekor di belakang. Dengan mudah sekali, kelompok maling membawa satu kabaa'ba - 12 sampai 15 ekor - kabur. Kuda, sapi, dan kerbau lalu digiring berpuluh kilometer lewat stepa. Rombongan maling dan curiannya itu pun harus beristirahat. Biasanya ada pos-pos berupa gua, atau legong - hutan kecil yang bermata air. Adakalanya, si maling berani melewati jalan raya. Bila begitu, menurut seorang bekas maling ternak, biasanya mereka menyamar dengan memukul-mukul gong seperti membawa ke'de (hewan buat upacara adat). Sepintas orang tak mengira itu komplotan maling. Menyulap identitas hewan? Itu bukan hal sulit Bila tanda pemilikan temak yang ada berupa hotu, sang maling akan membikin potongan lagi pada telinga ternak itu, sehingga terjadilah hotu baru. Bila ada "cap bakar" di pantat ternak, sang maling membikin kiat lain. Misalnya, mengulit bagian bercap itu dengan pisau. Atau menyiramnya dengan air aki, sehingga kulit ngelotok Untuk menumbuhkan bulu baru, mereka membubuhkan bubur panas atau perasan tomat pada luka. Bila bulu sudah tumbuh, dibikinlah cap bakar baru. Pekerjaan selanjutnya adalah mengusahakan Kartu Tanda Pemilikan Ternak berikut Surat Keterangan Mutasinya (SKMT) yang tentu saja "aspal". Surat-surat itu gampang diperoleh, biarpun menurut ketentuan harus sepengetahuan Kepala Desa, Camat dan Dinas Peternakan. Tinggallah kini ternak diantarpulaukan, terutama ke Jakarta. Jika pencurian ternak untuk dijual, selalu bermuara di pelabuhan Waingapu. Anehnya, sebagian besar ternak yang dicuri di Sumba Timur dibawa dulu ke Sumba Barat, bukannya langsung ke Waingapu - ibu kota Sumba Timur. Ada tiga jalur besar penggiringan ternak curian. Pada jalur utara, temak dibawa lewat daerah Lewa lalu menyusup ke Memboro lalu Tombu terus Baleledo. Pada jalur tengah, hewan menyusuri sekitar ruas jalan Waingapu - Waikabubak sebelum ternak disimpan di hutan Rarabiri Lauli Atas. Sedang jalur selatan melalui pedalaman Wanokaka, Gaura, hingga Kodi. Dari ketiga daerah itu, setelah beberapa lama disimpan, ternak diangkut kembali ke Waingapu. Para maling itu bekerja dengan hanya mengharap imbalan sekitar Rp 20 ribu untuk seffap ekor ternak, dari populele (pedagang temak). Ada kebiasaan di Sumba yang memberi julukan kepada "kepala maling", sesuai dengan prestasinya. Kuri Bili dari Lauli Atas, misalnya, diberi julukan Kuri Bili Ranggamone. Sebab, ia berhasil mencuri kuda pacu milik Ranggamone bekas Komandan Kodim Sumba Barat. Sedang kepala maling yang lain, dari Tana Righu yang kebetulan juga bemama Kuri Bili, dijuluki Kuri Bili Kepala Banting, lantaran mencuri kuda pacu yang bernama Kepala Banting. Dengan begitu, sebenarnya orang-orang Sumba tahu siapa-siapa biang maling itu. Tapi mereka tak punya keberanian mengungkapkannya. Apalagi melawan. Petugas pun lebih sering tak berdaya. Keterbatasan tenaga, dana, dan kemampuan, selain sulitnya medan dan kelicikan para kepala maling, menjadikan pencurian ternak itu tak pemah sungguh-sungguh dapat diatasi. Maka, peternak pun memilih caranya sendiri untuk menjaga ternaknya. Yakni menjaga hubungan baik dengan para kawanan pencuri. Kalaupun ternak telanjur hilang, keluarkan saja uang Rp 10 sampai 20 ribu, buat kepala maling itu. Insyaallah ternaknya bisa kembali. Inilah Sumba, Bung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus