PURNAMA masih kurang sehari. Tapi malam sudah cukup terang untuk memungkinkan orang melihat tujuh laki-laki berjalan beriring-iringan melintasi padang rumput antara Mburukulu dan Watu Ndumur. Orang tentu akan menyangka iring-iringan pada 3 November 1987 malam itu tak lebih dari rombongan pemburu babi, kalau saja di antara mereka tak terselip Tara Bihu, yang membuat geram, dan sekaligus gentar, penduduk Sumba Timur. Sejak saingan beratnya, Rawa, mati ditendang kuda pada akhir 1969, tidak ada lagi pencuri ternak setengik laki-laki separuh baya yang murah senyum itu. Rekan-rekan seangkatannya sudah banyak yang pensiun - antara lain Pura Tanya, 42 tahun, dan Kartika, 45 tahun. Tapi Tara Bihu seperti tidak ingat usia. Ia masih saja giat menjarah ternak di seputar Kabaru sampai Waijelu. Terakhir, pertengahan Oktober 1987 lalu, ia mencuri kuda milik Ama Tail dari Mbundung. Hewan piaraan itu diseretnya ke tengah padang, lalu dipotongnya, dan kemudian dimakannya beramai-ramai bersama kawan-kawannya. Menangkap seekor kuda perkara mudah bagi Tara Bihu. Pada 1973, ia pernah melarikan 40 kuda milik Hina Jangga Ka'du, suami bibinya, melintasi padang rumput berbatu Hanggaroru, Rende, dan kemudian temak itu dijualnya di Waingapu. Tara Biru melarikan kuda-kuda itu, karena dendam pada Hina Jangga Ka'du, yang dianggapnya telah mempermalukan dirinya dalam urusan keluarga. Hina Jangga Ka'du tentu tidak tinggal diam begitu saja. Ia lalu mengerahkan orang-orangnya memasuki padang rumput antara Lawangga dan Prai Polohamu - tanah warisan orangtua Tara Bihu, yang kemudian menjadi ranch PT Bina Mulya Ternak. Sebanyak 60 kuda yang merumput di situ mereka bantai beramai-ramai. Tapi Tara Bihu juga tak tinggal diam. Ia lalu melakukan pembalasan. Tara Bihu membantai 20 ekor kuda milik Hina Jangga Ka'du. Permainan impas sudah - masing-masing kehilangan 60 ekor kuda. "Pokoknya, kalau mau ternak kita aman jangan sekali-kali bikin Tara Bihu tidak suka," nasihat Umbu Kahu, Kepala Desa Lambakara. "Dia bisa berbuat apa saja." Apakah dendam semata yang mendorong Tara Bihu melakukan kejahatan? Pura Tanya, bekas jagoan dari Pau, terkekeh-kekeh mendengar itu. Tubuhnya yang gempal terguncang-guncang. "Tara Bihu orang politik," katanya. Maksudnya, Tara. Bihu adalah seorang penyiasat dan licik. Pura Tanya pertama kali bersua dengan Tara Bihu di Rende, Sumba Timur, pada 1975. Tara Bihu adalah kabisa bokulu - orang merdeka bukan hamba bukan ningrat - yang terikat pada wilayah kekuasaan Raja Rende. Sedangkan Pura Tanya adalah atta bokulu - hamba besar - Raja Pau. Lantaran Raja Pau bersaudara dengan Raja Rende, Pura Tanya pun sering diajak rajanya ke Rende. Di situlah ia bertemu Tara dengan Bihu. Pada perkenalan pertamanya dengan Tara Bihu, Pura Tanya dijamu tuan rumah minum laru (tuak) dan anggur kolesom di sebuah kedai minum. Keduanya minum hingga teler. Setelah itu, acara masih dilanjutkan di rumah Tara Bihu. Mereka makan besar setelah membantai seekor babi. Habis makan, Tara Bihu lalu menawarkan sebuah kerja sama kepada tamunya. Karena ia selama ini kesulitan dalam menggiring ternak curiannya dari Mangili dan Waijelu ke Kota Waingapu - yang berjarak sekitar 200 km. Bila bersedia membantu, kata Tara Bihu, ternak-ternak curian itu akan dilewatkan padang rumput milik Raja Pau, dan disimpan di situ sampai dipindahtangankan. Pengurusan dari Pau hingga Waingapu adalah tugas Pura Tanya. Tawaran itu temyata cukup menggiurkan Pura Tanya. "Maklum, waktu itu, kami sama-sama penjahat," katanya. Itulah awal lahir masa-masa suram bagi peternak Sumba Timur. Di tahun-tahun itu, hampir tiap hari ternak petani raib dari padang penggembalaan, terutama bila musim kering berkepanjangan. Pada 1979, setelah empat tahun berjalan komplotan pencuri ternak Mangili-Melolo itu pun buyar. Keduanya lalu menempuh jalan sendiri-sendiri. Pura Tanya menjadi buruh, dan kemudian bertugas sebagai mata-mata polisi dengan imbalan sebuah kamera saku dan perekam kaset. "Sebagai pencuri, saya tidak pernah sampai dipenjara, walaupun sempat ditahan di kantor polisi," kata Pura Tanya membanggakan masa lalunya. Tidak demikian halnya dengan Tara Bihu. Ia tetap bergelut di dunia hitam itu - bahkan berhasil memperkukuh jaringannya setelah merangkul pencuri-pencuri ternak, seperti Purambawa, Kalikit, Anding, serta pasangan kakak beradik Diki dan Lili. Daerah-daerah yang dikuasai komplotan Tara Bihu adalah Tama, Mau Bokulu, Hanggaroru, dan Tamburi - desa-desa yang, menurut catatan polisi, rawan pencurian ternak. Di antara orang-orang yang diajaknya berkomplot, Tara Bihu tampak sangat terkesan dengan Lili. Maka, agar bisa memanfaatkan anak buah jagoan lokal ini, ia tak segan-segan menyerahkan seorang dari tiga istrinya untuk dikawini Lili. "Saya sering melihat Tara Bihu di Pasar Mburukulu. Kami tak pernah bertegur sapa sampai ia mendatangi dan mengatakan mengenali-saya sebagai anak buah . . . (sambil menyebut sebuah nama - Red.). Ia kemudian mengajak saya minum laru," kata seorang bekas pencuri yang tak mau disebut namanya. Sambil minum-minum, Tara Bihu menyebut nama seseorang, dan menceritakan bagaimana perlakuan orang itu pada dirinya. Setelah yang dijamunya mulai mabuk, Tara Bihu berkata, "Berani kamu mencuri ternaknya?" Upah yang diiming-imingkan Tara Bihu sebesar Rp 20.000,00. Empat belas jam kemudian, sekitar pukul 02.00 dinihari, pencuri upahan itu sudah menjalankan tugasnya. "Sekawanan kuda milik bangsat itu - ia tidak ingat lagi jumlahnya - saya giring ke Patawang, tempat istri kedua Tara Bihu," katanya. Tahun 1982, setelah dua tahun menjadi orang upahan, pencuri temak itu meninggalkan dunianya. Namun, ia tetap memelihara hubungan baik dengan Tara Bihu, khawatir terjadi apa-apa atas dirinya. Tara Bihu memang dapat berbuat apa saja. Ia akan menyambut siapa saja dengan senyumnya dan tawa tulus. Bahkan tidak jarang ia memotong satu atau dua ekor babi, serta sejumlah ayam, untuk mereka santap bersama. Kalau perlu, ia akan menghadiahi tamunya satu dua ekor kuda sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang. Tapi tuan rumah yang ramah dan bertubuh tipis ini akan segera memperlihatkan taringnya begitu merasa dirinya dikhianati. Pembalasan itu pernah diperlihatkan Tara Bihu kepada Ama Pipi, warga Desa Mbundung. Ama Pipi, selama ini, sering memberi tahu para pemilik temak bahwa yang mencuri piaraan mereka adalah Tara Bihu. Pengaduan Ama Pipi tak ayal membuat Tara Bihu naik pitam. Lalu, pada suatu malam, di tahun 1974, Tara Bihu beserta kawanannya mendatangi rumah Ama Pipi. Salah seorang di antara kawanan itu diperintahkan Tara Bihu memanjat atap rumah korban untuk menjarah harta simpanan tuan rumah. Sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di Sumba bahwa penduduk selalu menyimpan emas dan permata di atap rumah mereka. Mendengar ada sesuatu yang mencurigakan di atap, penghuni rumah terbangun, dan panik. Suasana lalu menjadi haru-biru. Ama Pipi berusaha melawan. Ia lalu mencabut parang, dan menghambur keluar. Baru tiba di pintu, creessss, sebuah bacokan mendarat di bahunya, sehingga menghentikan langkahnya. Sambil menahan nyeri, ia balik ke dalam rumah. Malang baginya, dari atap sebuah ayunan parang menebas lehernya. Ama Pipi tewas seketika. Masyarakat percaya bahwa yang menebas leher korban adalah Tara Bihu. Tapi yang masuk penjara adalah Ama Hina dan Windi, yang ikut bersama Tara Bihu pada malam pembantaian itu. Sang bos tetap tenang-tenang di rumah. "Banyak orang iri sama nyungga (saya) dan omong kosong kiri kanan. Nyungga tidak pernah kasih mati itu orang tua," tuturnya. Tara Bihu bukan tak pernah tertangkap. Tapi ia selalu saja lolos dari jerat hukum. Ada saja orang, termasuk saudara dan anak kandungnya, yang mendapat getah kejahatannya. Adik kandungnya, Himbir Lingga, sempat mendekam di penjara selama tujuh tahun akibat pembunuhan Ama Pipi. Padahal, menurut orang-orang, Himbir Lingga tak tahu-menahu dengan perbuatan abangnya. Anggota keluarga lain yang pernah pula menjadi korban adalah Kahu, 19 tahun, anak sulung sang jagoan. Ia dipenjarakan untuk kasus pencurian kuda pada 1985, yang semula dituduhkan pada Tara Bihu. Adakah semua itu bisa terjadi lantaran Tara Bihu "orang politik"? Pura Tanya mengangguk. "Dorang pandai mendekati orang-orang besar," katanya. Tara Bihu, menurut Pura Tanya, sangat lihai mendekati pimpinan muspida, dan kemudian memanfaatkan pengaruh mereka, tanpa disadari yang bersangkutan tentu, untuk meloloskan diri dari proses peradilan. Pertemuan dengan para pejabat lokal, walau hanya untuk mengobrol, selalu menjadi bagian dari rancangan kejahatannya. Hampir setiap terjadi pencurian temak, Tara Bihu diketahui sedang berkunjung ke rumah tokoh masyarakat setempat. Semua itu memang dirancangnya agar punya alibi untuk mengelak dari tuduhan. Pimpinan PT Bina Mulya Ternak unit Kabaru, Amke Wiyatman, yang mengenal Tara Bihu berkomentar, "Kalau pencuri lain dipanggil ke kantor Kodim kakinya gemetar, dia malah tenang-tenang saja." Kelicinan Tara Bihu memang menjengkelkan petugas. Kepala Polisi Sektor Rindi Umalulu, Sersan Kepala Carolus Woza, sampai-sampai perlu menempatkan dua orang pengintai khusus di Desa Mburukulu - tempat kediaman Tara Bihu. Mulai 1985, secara teratur kedua pengintai itu melaporkan segala gerak-gerik otak pelaku pencuri ternak itu. Jika kuda belang kesayangan Tara Bihu tidak tampak di rumah beberapa hari, berarti sang jagoan sedang beraksi. Carolus Woza sendiri bukan orang baru bagi Tara Bihu. Semasa dinas di Manili, sekitar 1967, Carolus Woza berhasil menjebloskan Tara Bihu ke penjara untuk kasus pembongkaran rumah Umbu Hamba. Itulah kali pertama - dan hingga kini juga untuk kali yang terakhir - Tara Bihu berkenalan dengan terali tahanan. Ia sempat dikerangkeng selama 3 bulan sampai ayahnya, Kabukut Ndatang, berhasil mengurus proses pembebasannya. Buat pembebasan itu. kata Rara Bihu, "habis lima puluh ekor kuda.' Tara Bihu belajar mencuri dari ayahnya yang biarpun mempunyai 600 kuda tapi terkenal pula sebagai kepala pencuri ternak. Kini, ia pun suka mengajak anaknya pergi beroperasi. Yang paling berbakat, anak nomor duanya. Hampir semua orang di Sumba, terutama Sumba Timur, bisa menceritakan macam-macam kelakuan Tara Bihu. Tapi, betulkah ia kepala pencuri ternak? Tanpa harus bermuka merah padam, Tara Bihu menjawab, "Nyummu (kamu) yang harus buktikan, bukan nyungga yang harus mengaku." Lalu, ia tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini