PENDUDUK Sumba Barat mengenal laki-laki itu bukan sebagai penyair. Tapi sebagai pencuri ternak. Itulah Kuri Pagoba, 46 tahun, jagoan yang didera kepahitan hidup di masa lalu. Pengalaman itulah yang membuatnya gemar menciptakan syair-syair yang getir. Di antara sejumlah ciptaannya, syair yang paling suka didendangkan Kuri Pagoba tentang takdir Tuhan: Dara la la wuango Dara sala su'da Dara mateketo Papa nge'dago Bada'i pongo Pa atoranage ama wolo ama rawi Gaimu kana malouwe Lolo ngaune li na'baga. Kuda langgar banjir bandang Kuda rasa enggan Kuda biar mampus saja Sudah dipikirkan masak Biar tiada sama sekali Takdir Tuhan tiada nampak, tiada terjangkau tangan Tarik biar panjang Dia bilang, ingat Dia saat sekarat. Meski dikenal sebagai jagoan di seantero Sumba Barat, Kuri Pagoba sesungguhnya dilahirkan sebagai anak miskin yang malang. Kedua orangtuanya meninggal, ketika ia berusia 15 tahun, tanpa meninggalkan harta barang secuil pun. Begitu miskinnya orangtua Kuri Pagoba, hingga mayat mereka terpaksa dikubur dengan menumpang pada batu kubur orang lain. Sepeninggal orangtuanya, Kuri Pagoba selalu menjadi sasaran perlakuan kasar penduduk Desa Prai Ejing - kampung halamannya. Hampir tiap hari, menurut pengakuannya, orang melayangkan tangan ke wajahnya. Kadang cukup beralasan. Tapi lebih sering tidak beralasan sama sekali. Bila ada penduduk yang kehilangan babi, dan melihat Kuri Pagoba tidak tampak lapar, tuduhan tak ayal ditimpakan pada anak yatim piatu yang malang itu. "Saya ditempelengi dulu, baru kemudian mereka mencari siapa sebenamya keparat yang membawa lari ternak mereka itu," cerita Kuri Pagoba. Tak tahan lagi menerima perlakuan orang-orang kampungnya sendiri, Kuri Pagoba pernah bemiat mau bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari pucuk pohon kelapa. "Mampus saja lebih baik," ujarnya, waktu itu. Tapi, sampai di pucuk pohon kelapa, pikirannya berubah. Kalau mati, katanya, sebaiknya tidak dengan cara begini. Rugi kalau mati sendiri. Ealu, Kuri Pagoba mengurungkan niatnya itu. Ia lalu turun, lalu duduk bersandar di pokok pohon kelapa itu, lalu lahirlah syair tentang takdir Tuhan di atas. Kuri Pagoba kemudian memutuskan diri untuk berkelana. Hari ini orang melihatnya di Loli, besok di Wanokaka, lalu tampak lagi di pedalaman Sumba Timur. Berbulan-bulan ia melintasi pelosok-pelosok Sumba sendirian. Waktu itu, tak ada orang yang ambil peduli, sampai akhirnya ia jadi maling ternak tersohor. Pada masa pengembaraan itulah Kuri Pagoba, menurut pengakuannya, mulai belajar mencuri. Mula-mula, ia maling babi. Jumlahnya juga tak banyak - paling tinggi dua ekor. Ketika tubuhnya makin kuat, Kuri Pagoba mulai menyikat kerbau, sapi, dan kuda. Jumlahnya juga tidak lagi satu atau dua ekor, tapi sampai 40-an. Ternak-ternak curian itu digiringnya sendiri sekalipun jarak yang harus ditempuhnya sampai ratusan kilometer. Ada satu kebiasaan yang menarik dari Kuri Pagoba. Tidak semua hewan curiannya dijualnya kepada populele (pedagang ternak) . Tidak jarang ia meninggalkan ternak curiannya di tengah jalan begitu saja, atau menyerahkannya tanpa imbalan apa pun pada sembarang orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Baginya, yang penting ia sudah mencuri, dan sudah merepotkan orang lain. Menurut Kuri Pagoba, acapkali ia berharap mati dikeroyok massa setelah dikejar-kejar lantaran mencuri. Maka, setiap kali diuber penduduk lantaran mencuri ia selalu berteriak: "Matelaeto . . . matelaeto." - dalam bahasa Lauli berarti, "biar saja mampus." Tapi Kuri Pagoba belum mati-mati juga. Pada suatu hari, di tahun 1975, Kuri Pagoba beroperasi di Anakalang bersama jagoan lain bernama Maulobu. Belum sempat menjarah ternak penduduk setempat, mereka sudah diserbu orang-orang Anakalang. Maulobu balik berlari. Tapi Kuri Pagoba malah berjalan santai sambil berteriak, "Matelaeto.... matelaeto." Melihat kawannya tak tampak, Maulobu balik mencari Kuri Pagoba. Ia menemuinya kawannya sudah jatuh terjerembab, tapi tetap saja berteriak-teriak semaunya. Padahal, seorang pengejar siap mengayunkan parang terhunus untuk membunuh Kuri Pagoba. Melihat kawannya dalam siatusi kritis, Maulobu lalu melontarkan tombaknya ke arah si penyerang, dan menancap di tubuhnya. Kuri Pagoba selamat. Maka, hingga kini Maulobu masih saja menyumpah-nyumpah bila bicara tentang Kuri Pagoba. "Orang tua itu sudah sinting, memang," kata Maulobu. Sejak itu nama Kuri Pagoba kian terkenal di seantero Sumba. Banyak orang berdecak kagum bila bercerita tentang laki-laki itu. Bahkan namanya ikut menaikkan gengsi kampungnya, yang masuk wilayah Lauli Atas, sebagai daerah jagoan. Tingkahnya yang aneh-aneh itu dengan cepat mengangkat Kuri Pagoba sejajar dengan jagoan-jagoan yang telah lebih dahulu malang melintang di dunia hitam. Ia punya hubungan dengan Sengu Wawo, dan pencuri-pencuri bersaudara dari Lauli Atas, seperti Bena Kawiki, Kuri Mbili Ranggamone, dan Maulobu. Bahkan, para penguasa dunia hitam jalur utara - Maramba Jara, Kapala Kabo'pu, dan Sengu Ama Mbili terpaksa bekerja sama dengannya, takut diganggu laki-laki yang "minta mampus" itu. Di antara persahabatannya dengan sejumlah jagoan, hubungan Kuri Pagoba yang paling dekat dengan Sengu Ama Mbili. Menurut dia, Sengu Ama Mbili tak pernah menghalang-halanginya, bahkan selalu memberi peluang, untuk menyikat ternak di daerah Sengu. Soalnya, ada etik di kalangan mereka, seorang jagoan sebaiknya tidak mencuri di daerah sendiri. Lebih dari itu Kuri Pagoba pun sering menyimpan ternak curiannya ke kandang milik Sengu Ama Mbili di Tombu sebelum dijual kepada peternak-peternak besar di Sumba. Salah seorang penadah tetap ternak curian Kuri Pagoba adalah seorang kepala sekolah di Waikabubak. "Dia yang paling banyak makan barang curian Pagoba," kata Maulobu. Buktinya? "Sudah terlalu lama saya jadi pencuri. Jadi, jangan tanya bukti." Adalah kepala sekolah itu pula yang menghadiahi Kuri Pagoba sebuah sepeda motor Honda GL-100. "Kuning warnanya," kata Kuri. Sepeda motor itu kemudian dipinjam anak Sengu Ama Mbili, dan tak pernah dikembalikan lagi. Biarpun tak bisa mengendarainya, Kuri Pagoba amat sedih kehilangan sepeda motor itu. Karena itu hubungannya dengan Sengu Ama Mbili kini retak. Tahu dirinya malang melintang di dunia maling, maka Kuri Pagoba tidak mau terikat dengan keluarga - kecuali pada anak lelakinya yang bernama Ngongo. Tak heran bila ia suka kawin cerai. Tahun 1968, ia menikah dengan seorang janda dari Prai Ejing, dan perkawinan mereka hanya bertahan setengah tahun. Kini, Kuri Pagoba hidup tenang bersama anaknya. Masihkah ia akan mencuri lagi? Ia menggeleng pelan. "Keinginan saya membahagiakan jantung hati saya," katanya sambil mengelus pipi anaknya. Begitu cintanya Kuri Pagoba pada darah dagingnya itu sampai-sampai ia membuat syair khusus buat sang anak. Iya laka waka'bane Iya laka wamawine Ngia'do we makane senango papa nge'dago Bangia mate ka we'dago maliwa'i doni A lolo dowa ayakiga pa a'gabu Satu anak lelaki Satu anak perempuan Itu sudah, lantaran senang pikiran Sampai ajal nanti, ada yang meneruskan Jika mereka ingat apa yang telah saya berikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini