Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR mata Roy Marten tumpah ketika Erry Salam dan Ronny Salam datang ke tahanan Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya, Jumat pagi pekan lalu. Sejurus kemudian, ketiga saudara kandung itu berdekapan dan saling menggumamkan beberapa kalimat. Pertemuan itu berlangsung sekitar dua jam, diselingi makan siang di ruang penyidik.
Chris Salam, adik Roy yang lain, berusaha membesarkan hati abangnya, yang ditangkap polisi ketika ”berpesta” sabu-sabu di Hotel Novotel Surabaya, Selasa pekan lalu. Roy ditangkap bersama empat bandar dan pengedar narkoba di hotel yang terletak di Jalan Ngagel itu.
Ketika menerima kedatangan adik-adiknya, Roy cuma mengenakan celana pendek cokelat dan kaus putih ketat. Ia, yang biasanya murah senyum dan cengengesan, kini menjadi pemurung. Penangkapan pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 1 Maret 1952 itu berlangsung menjelang subuh. Tim penggerebek dari reserse narkotika berjumlah enam orang.
Penggerebekan dimulai dari kamar 364, yang dihuni Hartanto alias A Hong dan Winda. Keduanya dipergoki sedang asyik menyedot sabu-sabu. Dari A Hong, tim reserse mendapatkan nomor kamar Roy Marten, yaitu 465. Polisi mencium aroma, di kamar inilah pesta sabu-sabu digelar.
Ketika kamarnya didobrak, pemeran utama Badai Pasti Berlalu (1977) itu sedang tidur pulas. Polisi merangsek masuk, langsung menggeledah. Mereka mendapati sejumlah sabu-sabu di laci meja kamar Roy. ”Oke, saya memang salah,” kata Roy setelah terbangun, kepada polisi yang mengelilinginya.
Razia yang dipimpin Ajun Komisaris Totok Sumaryanto itu diteruskan memburu dua teman Roy yang lain, yaitu Freddy Matalula dan Didit Kesit Cahyadi. Keduanya ternyata tak jauh dari kamar 465.
Ketika pagi beranjak siang, mereka berlima dipaksa check out dari Hotel Novotel untuk pindah ke ”hotel” di Jalan Sikatan 1, Markas Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Mereka digelandang bersama sejumlah barang bukti berupa bong (alat isap), sekitar 1,5 ons sabu-sabu, timbangan, kertas aluminium, korek api, dan telepon seluler yang menyimpan transaksi narkoba melalui pesan pendek.
KEHADIRAN Roy Marten di Surabaya berbarengan dengan kampanye antinarkoba yang digelar Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama surat kabar Jawa Pos. Acara di Graha Pena, Jalan Ahmad Yani, Surabaya, pada 10 November itu dihadiri Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto dan Kepala BNN I Made Mangku Pastika, serta bos Jawa Pos, Dahlan Iskan (baca Soal Merawat Kerinduan).
Adapun A Hong, Freddy, dan Didit memang ”kenalan lama” Roy Marten. Mereka sama-sama ”lulusan” penjara narkoba, yang makin punya peranan penting dalam perdagangan obat berbahaya. Didit dan Freddy pernah sepenjara dengan Roy di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
A Hong, 46 tahun, dan Freddy, 55 tahun, adalah residivis narkoba yang tinggal di Jalan Kapasan dan Jalan Paneleh, Surabaya. Dua kawasan ini kerap digerebek polisi ketika mengejar bandit narkoba. Dua tahun lalu, A Hong dan Freddy dibekuk di tempat itu.
Keduanya divonis sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Sebelum dipindahkan ke penjara narkoba di Madiun, Jawa Timur, mereka lebih dulu mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Medaeng, Surabaya. Freddy sempat dititipkan di penjara Cipinang, dan di sana bertemu dengan Roy Marten.
”Kami menerima limpahan A Hong dan Freddy ketika masa hukumannya tinggal dua bulan,” kata I Wayan Sukerta, kepala penjara Madiun, kepada Tempo. Mereka dipindahkan, katanya, karena penjara Medaeng terlalu sesak. ”Selain penuh, pemindahan narapidana narkoba bertujuan memutus rantai perdagangan,” ujarnya.
Siapa pula Winda? Freddy menjelaskan, cewek 27 tahun asal Rewin, Sidoarjo, itu karyawan sebuah perusahaan jasa kehumasan di Surabaya.
DIREKTUR Narkoba Markas Besar Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Indradi Thanos, mengatakan bahwa perilaku Roy Marten dan kawan-kawannya sudah tergolong residivis narkoba. Mereka umumnya sudah lebih dari sekali terjerumus kasus yang sama. ”Pak Roy pernah bilang sudah bertobat, tapi nyatanya belum,” kata Indradi.
Menurut Indradi, tak tertutup kemungkinan pemeran utama Kabut Sutra Ungu (1979) itu sudah masuk perangkap sindikat perdagangan obat berbahaya. ”Kami mendalami betul kemungkinan itu,” ujarnya.
Komplotan pengedar obar terlarang yang menjalin hubungan dengan Roy, masih menurut Indradi, ditengarai bisa meluas dan terus bertambah. Ia mencontohkan sosok A Hong. Bekas narapidana itu mengenal Roy ketika sama-sama di penjara. ”Meski penjaranya berbeda, mereka lancar berkomunikasi,” katanya.
Di Cipinang, Roy menghuni blok 2A, Freddy di blok G, dan Didit di blok E. ”Dari sinilah mereka kontak-kontakan dengan A Hong,” kata Indradi.
Indradi menambahkan, Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta menjadi incaran pasar dunia. Segala bentuk jaringan dibangun oleh bandar kelas internasional. Salah satu jalur yang dirasuki, kata Indradi, adalah sektor investasi. Sejumlah pabrik sabu-sabu dan ekstasi yang dibongkar di Batam dan Tangerang, katanya, semua berkedok investasi.
SUDAH lama kehidupan Roy Marten digerogoti candu narkoba. Bermula ketika pamornya di dunia akting anjlok, kalah gesit dari para juniornya. ”Selama 12 tahun Roy menganggur tak main film,” ujar seorang sumber yang mengaku dekat dengan Roy.
Kekosongan itulah yang kemudian mendorong Roy terjerumus ke pusaran bandar obat terlarang. Pada 2 Februari 2006, ia ditangkap di daerah Ulujami, Bintaro, Jakarta Selatan, gara-gara mengantongi dua gram sabu-sabu. Roy diganjar sembilan bulan penjara, dan bebas pada 1 Oktober 2006.
Perkenalan Roy dengan Didit Kesit Cahyadi pun berawal dari bisnis narkoba. Melalui Didit pula Roy menjalin hubungan dengan A Hong. ”Saya berkawan akrab dengan Pak Roy sejak di Cipinang, dan pernah nyabu bareng di penjara,” kata Didit, yang tinggal di Jalan Tempel, Sukorejo, Jawa Tengah.
Pertemuan mereka berlima di Novotel, menurut sumber, sebetulnya dalam rangka mengembangkan bisnis narkoba di Surabaya untuk wilayah pemasaran Indonesia timur. Dugaan itu dibantah Freddy. Mereka berkumpul di hotel untuk mematangkan rencana pendirian sekolah model. ”Rencana ini kami gagas ketika masih di penjara bersama Pak Roy,” kata Freddy kepada polisi.
Soal sabu-sabu, Freddy mengaku barang tersebut berasal dari Didit, yang hendak ditawarkan kepada A Hong. Jumlahnya sekitar 0,5 ons, dengan harga Rp 200 juta. A Hong menawar Rp 60 juta. Sebelum pembayaran terjadi, keburu digerebek polisi.
Sedangkan 1 ons sabu-sabu beserta alat sedotnya, menurut Freddy, yang memasok juga Didit dari seseorang bernama Kamir, narapidana narkoba yang masih mendekam di penjara Tangerang. Freddy tak menampik, dialah yang mengundang Roy menginap di Novotel untuk ”reuni”.
Humas Hotel Novotel Surabaya, Shanti Manurung, terkejut dengan terkuaknya transaksi narkoba di hotelnya. Dalam daftar buku tamu, katanya, nama Roy Marten tidak tercatat. ”Mungkin karena beliau artis, memakai nama samaran,” kata Shanti.
SEJAK muda Roy Marten memang dekat dengan kehidupan hura-hura. Ia juga senang keluyuran malam. Entah kebetulan atau tidak, gaya hidup ini seperti paralel dengan film yang ia bintangi. Dalam sejumlah filmnya dari era 1970, Roy hampir selalu tampil sebagai anak muda badung yang bertingkah seenaknya.
Memasuki 1980-an, pamor Roy benar-benar surut. Tak laku di dunia hiburan, ia mencoba menekuni bisnis di luar film, yaitu besi tua. Hasilnya payah. Pada 1994, Roy Marten terjun ke sinetron Bella Vista bersama Angel Ibrahim. Roy memerankan figur bapak. Terobosan ini juga tak begitu sukses.
Selepas menjalani hukuman di penjara Cipinang, Roy Marten mendapat tawaran ikut film Mengejar Mas-Mas, dengan sutradara Rudi Soedjarwo. Belum sampai menikmati hasilnya, Roy terjungkal lagi ke dalam kasus narkoba untuk yang kedua kalinya.
JIKA kelak terbukti sebagai pemakai sekaligus pengedar narkoba, Roy Marten bisa lama mendekam di penjara. Menurut Brigadir Jenderal Indradi Thanos, ancaman hukuman bagi pecandu yang tertangkap lagi tidak cuma ditambah sepertiga tahun dari lama hukuman yang dijalani. ”Mereka bisa dihukum 15 tahun penjara,” katanya.
Kepala Satuan Narkoba Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya, Ajun Komisaris Besar Abi Darrin, menambahkan bahwa Roy Marten tak sekadar pemakai. Ada indikasi ia ikut berperan dalam peredaran. Polisi masih mencari siapa di balik pesta 1,5 ons sabu-sabu di Hotel Novotel itu. ”Tak mungkin barang sebanyak ini hanya untuk dikonsumsi lima orang sampai habis dalam semalam,” katanya.
Roy Marten sendiri mulai sadar, ulahnya telah membuat banyak orang repot. Melalui Chris, adiknya, Roy melarang istrinya datang menjenguk. Roy juga tak ingin kedua anaknya, Gading Marten dan Galih Marten, muncul di kantor polisi, kemudian dikejar-kejar pers. Larangan itu tampaknya tak digubris oleh keluarga Roy. Mereka telah memesan kamar di Hotel Ibis, Jalan Rajawali, Surabaya, yang berjarak 100 meter dari tempat Roy ditahan.
Elik Susanto, Sunudyantoro, Ati Ekawati, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Pasar Makin Luas
Pasar narkotik dan obat-obatan di Indonesia kian menakjubkan. Diperkirakan 20 persen peredarannya diatur dari dalam penjara. ”Sisanya, 80 persen, dikendalikan dari luar penjara,” ujar seorang bekas bandar narkoba. Saking meluasnya, hampir semua profesi tersusupi pengedar dan bandar.
Aktor gaek Roy Marten, menurut Direktur Narkoba Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Indradi Thanos, diduga sebelum masuk ke penjara pertama kali, meningkat levelnya dari pemakai ke jaringan pengedar.
Perpindahan narapidana antarlembaga pemasyarakatan juga memicu perluasan jaringan pasar. Setiap bandar yang pindah penjara selalu membentuk downline baru. Di bawah ini beberapa jaringan narkoba di dalam dan luar tembok bui serta profesi pengguna sekaligus pengedarnya.
Peredaran keluar untuk Jakarta, Tangerang, dan Bekasi
Rumah Tahanan Salemba, Jakarta
Jaringan Pasir Putih, Nusakambangan Bandar heroin
Penjara Narkoba Madiun, Jawa Timur
Rumah Tahanan Medaeng, Surabaya
Penjara Sidoarjo, Jawa Timur
Penjara Pamekasan, Madura
Jaringan Rutan/Lembaga Pemasyarakatan
Penjara Tangerang Baru
Penjara Cipinang
Bandar sabu-sabu dan heroin
Distributor
Pengguna sekaligus agen
Bandar ganja
Distributor
Kurir
Kurir di luar dan baru ditangkap polisi
Jaringan luar penjara
Sektor Tangerang
Roxy
Sektor Tebet
Pengguna/agen dai-artis
Sektor Duri Kepa
Sektor Gang Kiapang
Kasus Narkotik (Januari-Juni 2007) | |
---|---|
Profesi | Jumlah (orang) |
Pegawai negeri sipil | 111 |
TNI | 41 |
Polisi | 83 |
Swasta, termasuk artis | 5.964 |
Wiraswasta | 2.373 |
Petani | 486 |
Mahasiswa | 480 |
Pelajar | 411 |
Buruh pabrik dan bangunan | 2.626 |
Penganggur | 3.575 |
Sumber: BNN, Polri, dan Koran Tempo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo