Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARGON mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, ”Busway is my way”, harus segera diganti dengan ”Busway is our way”. Angkutan massal Transjakarta bukan masalah atau milik Sutiyoso sendiri, melainkan milik semua warga. Gubernur DKI yang baru tidak bisa jalan sendiri meneruskan proyek ini tanpa mendengarkan publik.
Bang Yos dulu memang nekat. Ia menerapkan gaya: pukul dulu, urusan belakangan. Harus diakui, di awal proyek Transjakarta, juga dalam pemagaran Taman Monas, gaya itu berhasil. Tapi Gubernur Fauzi Bowo tak bisa memakai gaya itu lagi. Suasana sudah lain. Penolakan warga Pondok Indah dan protes publik atas pembangunan koridor VIII, IX, dan X adalah buktinya. Dalam kemelut ini, Gubernur Fauzi, yang baru sebulan menjabat, dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diminta mencari solusi atas kemacetan kronis.
Tapi Transjakarta tak mungkin dihentikan. Jakarta butuh sistem angkutan massal yang aman, nyaman, dan terjangkau. Transjakarta adalah pilihan yang paling masuk akal, setidaknya menurut pengalaman negara lain. Dengan biaya sekitar 10 kali lebih murah ketimbang subway, moda itu terbukti mampu mengatasi masalah kemacetan di beberapa kota besar dunia. Kebutuhan Jakarta mendesak, kalau tak mau terjadi kemacetan total di seluruh kota pada 2014.
Maka, selain butuh busway, Ibu Kota perlu sarana transportasi seperti subway dan monorail. Yang perlu mendapat perhatian adalah menambah perjalanan kereta api dalam kota. Saat ini sudah tersedia stasiun kereta api di titik-titik penting Ibu Kota. Sesungguhnya, kalau gerbong ditambah, rute diperbanyak, dan beberapa stasiun baru dibangun, angkutan jalan raya akan berkurang bebannya. Dengan begitu, kemacetan luar biasa akibat pembangunan busway koridor VIII, IX, dan X bisa dikurangi. Sumpah serapah warga Jakarta yang menjadi menu sehari-hari bisa diharapkan mereda dengan pembenahan kereta api.
Selain itu, perencanaan pembangunan busway perlu dibenahi. Pembangunan fisik busway di Pondok Indah, misalnya, sudah dimulai sebelum ada analisis dampak lingkungan dan lalu lintas. Setelah terjadi gelombang protes, baru turun analisis dampak lingkungan. Padahal analisis perlu dilakukan dan disosialisasi setidaknya setahun sebelum pembangunan fisik.
Antanas Mockus Civicas, mantan Wali Kota Bogota, yang memulai proyek TransMilenio pada 1995, terlebih dulu membangun taman-taman di kawasan kumuh, memperlebar jalan, memperbaiki trotoar, serta menyediakan angkutan pengumpan (feeder), tempat parkir, dan jalur sepeda. Di Jakarta, semua itu diterabas. Proyek langsung dimulai dengan membangun halte dan menyiapkan busway.
Kinerja dan kualitas pelayanan Transjakarta pun belum bagus. Karena jumlah bus masih kurang, target bus datang 2-5 menit sekali belum tercapai, terutama pada jam sibuk. Penumpang tak nyaman karena terpaksa berdesakan.
Yang tak kalah penting untuk dibenahi adalah akuntabilitas dan kredibilitas pemerintah. Koordinasi antarinstansi pemerintah, misalnya, masih amburadul. Bus-bus Transjakarta tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok karena bertabrakan dengan peraturan Menteri Keuangan. Proyek ini juga pernah terserempet kasus markup harga bus.
Daftar masalah memang panjang. Namun pemerintah DKI Jakarta masih punya kesempatan memperbaikinya. Menambah jalur kereta dalam kota mestinya jadi pilihan strategis, untuk mengurangi kemarahan warga yang terjebak macet setiap hari. Kalau kemacetan berkurang, siapa pun yang tak memikirkan diri sendiri pasti mendukung lanjutan proyek busway.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo