Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah saatnya kekerasan di sekolah dihentikan sama sekali. Jangan sampai ada siswa yang mengalami nasib seperti Muhammad Fadil. Sekujur tubuh siswa SMA 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan, itu babak-belur. Tulang lengan kirinya patah.
Fadil merupakan korban penganiayaan alias bullying yang dilakukan para seniornya. Tanpa ada yang mencegah, kekerasan yang dia terima terjadi secara berangkai, baik secara mental maupun fisik. Mula-mula dia dipaksa masuk geng siswa lelaki sekolah—yang anggotanya ratusan orang. Kemudian ia disuruh memalak, minta uang, dari siswa lain secara paksa. Puncaknya sungguh keterlaluan, ia dikeroyok—bahasa yang dipakai di sekolah itu: ”ditantang berkelahi”—oleh sejumlah senior yang mengakibatkan tangannya somplak.
Praktek bullying—siswa senior menganiaya juniornya—sangat disayangkan sudah semakin ”membudaya” di kalangan pelajar. Siswa sekolah yang dianggap elite dan favorit tidak terkecuali. Sebelumnya, kejadian serupa menimpa Blasius Adi Saputra, siswa SMA Pangudi Luhur, Jakarta Selatan. Dia juga menderita lebam akibat dipukuli belasan seniornya. Tak cuma fisiknya yang terluka, ia mengalami trauma.
Anehnya, sekolah seakan tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perilaku negatif tersebut. Seorang guru SMA 34 bahkan mengaku pernah diancam muridnya agar tidak ikut campur dalam urusan geng sekolah itu. Dan, entah mengapa, dia tak melaporkan soal itu kepada kepala sekolah atau polisi.
Sikap seperti itu jelas tak bisa diterima. Perilaku bullying tak boleh dipandang remeh. Seorang peneliti Amerika, Mona O’Moore, PhD, menyebutkan bahwa seseorang—baik anak-anak maupun orang dewasa—yang terus-menerus menjadi korban penganiayaan berisiko menderita stres yang kadang-kadang berujung pada tindakan bunuh diri. Soal itu sudah sering terjadi pada pelajar di Jepang dan Singapura.
Berbagai kajian menunjukkan, satu-satunya metode efektif untuk menghentikan perilaku bullying adalah melawannya secara tegas. Sebab, pelaku bullying biasanya menganggap korban sebagai target yang mudah, gampang dilecehkan, dan tak berisiko apa pun. Pandangan pelaku bullying itu harus diubah dengan terapi kejut yang berarti.
Pemecatan dari sekolah memang hukuman tegas, tapi itu langkah yang terlambat. Sekolah harus bertindak sejak gejala awal tercium. Para guru, berdasarkan wewenang, kematangan, dan pengalamannya, memiliki kekuatan untuk mencegah sejak dini. Merekalah yang mesti mengikis habis perbuatan buruk itu. Tak boleh lagi ada siswa yang dilecehkan, jangan pula ada pemecatan siswa pelaku.
Sekolah juga mesti menyediakan berbagai perangkat untuk melawan bully. Tak ada salahnya membuat kotak pengaduan sehingga siswa dapat menyampaikan masalah dan saran untuk mengatasinya. Komunikasi antara kepala sekolah, guru, orang tua, dan murid juga akan menolong. Siswa yang berpotensi melakukan bullying perlu dirangkul dan diajari untuk mengendalikan emosi dan mengembangkan empati kepada orang lain.
Menyediakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan beragam minat siswa pun penting. Sekolah-sekolah elite yang memiliki cukup dana mestinya tak kesulitan untuk melakukannya. Sedangkan untuk sekolah negeri, tak ada jalan selain pemerintah mesti membantu. Sehingga energi siswa dapat disalurkan kepada hal-hal yang positif, baik di bidang seni, olahraga, maupun keilmuan. Hanya dengan cara itu sekolah dapat kembali menjadi tempat belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi siswa untuk mengejar prestasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo