Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika Seni Menyentuh Kendaraan

Sejumlah seniman kondang Indonesia melukis tentang kendaraan bermotor. Beberapa menjadikan kendaraan sebagai kanvas barunya. Ini menjadi bagian dari tren melukis pada bidang unik atau yang tidak umum, seperti pada kamera, kulkas, dan kayu ukiran. Karya mereka sudah jadi barang komersial yang diproduksi terbatas.

30 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH pada suatu sore di sebuah perbukitan. Tampak sebuah mobil Buick Roadmaster Dynaflow produksi 1949 tanpa atap melintas dengan sepasang pria dan wanita di dalamnya. Beginilah percakapan di antara keduanya.

”Mobilmu keren,” kata sang wanita. ”Mobil antik memang keren. Makin antik makin keren,” jawab sang pria.

”Kalau cewek antik?” tanya sang perempuan. ”Cewek itu, antik atau enggak, selalu keren. Kayak kamu ini. Kamu cewek terkeren di dunia ini, Say,” kata sang pria. ”Aih, mesranya,” sang wanita membalas.

”Makanya aku selalu sayang padamu,” kata pria itu seraya mencium sang kekasih. ”Aku = mobilmu?” tukas sang perempuan.

Percakapan itu terjadi pada sebuah halaman komik di atas kanvas seukuran dua meter persegi karya Bambang ”Toko” Witjaksono, perupa Yogyakarta, yang senang memanfaatkan bentuk komik sebagai jalan ekspresinya. Lukisan bergaya komik 1960-an itu berjudul Aku Bukanlah Mobilmu yang Setiap Hari Harus Kau Elus dan menjadi satu dari 87 karya yang dipajang pada pameran Indonesia Art Motoring di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada akhir April dan awal Mei lalu.

Para seniman yang terlibat terbentang dari generasi muda, seperti Bestrizal Besta dan Dikdik Sayahdikumullah, hingga yang senior, seperti Entang Wiharso, Chusin Setiadikara, Hanafi, serta Sunaryo. Selain karya seni rupa—dari lukisan hingga instalasi—pameran bertema ”Motion and Reflection” ini menyuguhkan delapan sepeda motor antik dan 25 mobil klasik, antara lain, Daihatsu Midget (bemo), Mustang, Mini Moke, Lotus, Ferrari, Porsche, serta Lamborghini. Sebagian besar kendaraan koleksi anggota Indonesia Classic Car Owners Club itu dipajang di luar gedung karena keterbatasan daya tampung gedung.

”Saya mengundang para seniman mengeksplorasi pengalaman mereka terhadap kendaraan bermotor. Jadi bagaimana mereka melihat mobil dan sepeda motor, misalnya, sebagai komponen pengalaman yang menjadi ide karya mereka,” kata Rizki A. Zaelani, kurator pameran ini, pekan lalu.

Bukan sekadar sekumpulan karya patung, lukisan, atau bentuk kendaraan bermotor yang diberi sentuhan seni, pameran seni otomotif pertama di Indonesia ini juga mengajak para seniman menimbang kembali bentuk, fungsi, dan daya sebuah kendaraan modern dalam kaitannya dengan pencitraan terhadap kehendak serta hasrat manusia. Menurut Rizki, para seniman diajak menafsir kembali kualitas abstrak kendaraan, seperti kecepatan dan keseimbangan, serta hubungannya dengan yang lain.

Komik karya Bambang Witjaksono itu, misalnya, mencoba mengurai makna mobil bagi manusia, khususnya lelaki. Di situ ia mengkritik pandangan umum yang menyamakan mobil dengan perempuan. Adapun Heri Dono, seniman Yogyakarta, menampilkan tiga sepeda motor lengkap dengan pengendara berupa patung cokelat bersayap dengan dada dilengkapi semacam perangkat elektronik kecil dan mengenakan helm penambang. Karakter patung itu khas Heri Dono: berpupur putih dan berbibir merah seperti badut. Karya berjudul Oxymoronia ini, bagi Heri, merupakan suatu harapan agar Indonesia bisa membangun kendaraan dengan tangannya sendiri.

Karya yang banyak menarik perhatian adalah Beetle Box, yang terpilih sebagai karya terfavorit pilihan pengunjung. Patung karya Ichwan Noor ini seperti mobil Volkswagen yang ditekuk-tekuk menjadi kubus seukuran 160 sentimeter di tiap sisinya. Perupa kelahiran Jakarta itu benar-benar menggunakan aksesori asli VW ”kodok” keluaran 1967 untuk karyanya ini, selain bahan dasar aluminium dan poliester, sehingga kejutan serta kesan realistis benar-benar muncul.

Deddy P.A.W., perupa Magelang, menggali pengalaman pribadinya dengan mobil melalui lukisan Reflection. Lukisan itu berupa sebuah spion Nissan Terrano yang merefleksikan pemandangan di belakangnya, yakni mobil-mobil kuno yang bergulir di atas sekumpulan uang logam yang bertumpuk seperti bola. Salah satu mobil mengangkut sebuah apel di atapnya. Apel adalah simbol khas Deddy—itu sebabnya teman-temannya memberi julukan Deddy P.A.W.: perupa apel wae. ”Lukisan itu mengungkapkan bagaimana saya sebagai seniman harus melihat ke belakang, menengok perjalanan hidupnya,” kata pria bernama lengkap Deddy Purwo Adi Widodo ini.

Deddy gonta-ganti mobil lima kali sejak 1980-an, seperti Ford dan Toyota Corona. Tapi perupa yang lebih memperhatikan faktor kenyamanan dan fungsi sebuah kendaraan itu tak mau lagi ganti mobilnya yang sekarang, sebuah Nissan Terrano, yang dianggapnya lebih cocok digunakan di kawasan Magelang, tempat mukimnya saat ini. Namun dia juga mulai melirik mobil antik, seperti yang dikoleksi si raja monolog Butet Kartaredjasa. ”Mobil antik itu desainnya menarik, juga pengolahan bahan dan mesinnya, yang menunjukkan kreativitas pembuatnya, yang saya pikir juga seorang seniman,” kata Deddy.

Bagi kalangan awam, karya-karya mereka barangkali dianggap sebagai karya seni rupa yang biasa dipajang di galeri atau diperuntukkan bagi kolektor. Bagaimana dengan mobil Daihatsu Luxio yang dipajang di halaman gedung pameran? Sekujur badan mobil itu dilukis dengan sangat terperinci oleh Erica Hestu Wahyuni, perupa Yogyakarta. Coretannya khas Erica, yakni lukisan dengan goresan seperti lukisan anak-anak yang lugu dan penuh benda khayal, seperti monster.

Bagaimanapun, ini juga karya seni rupa, hanya medianya yang berbeda. Manusia sudah lama melukis pada berbagai ”kanvas”, dari dinding gua di masa purba hingga tembok jalanan di masa sekarang. Banyak pelukis, khususnya anak-anak muda, yang suka menggambar di berbagai benda yang digunakan sehari-sehari, seperti kaus, sepatu, buku, dan helm.

Tapi melukis mobil boleh dibilang baru menghangat belakangan ini. Ini khususnya ditandai dengan munculnya beberapa mobil yang dibatik, seperti Toyota Alphard Vellfire milik video jockey MTV, Daniel Mananta, yang dicat rumah modifikasi Somesound. Atau mobil Mercedes-Benz C250 CGI yang diberi motif batik oleh perancang busana Carmanita, dibantu Tommy Dwi Djatmiko, pemilik Mastomcustom Graphic Airbrush System, Jakarta. Bahkan beberapa waktu lalu perusahaan-perusahaan sepeda motor melombakan pelukisan pada sepeda motornya.

”Saya kira sekitar tiga tahun terakhir baru berkembang. Mungkin ini karena para seniman yang ke luar negeri melihat kendaraan bermotor pun sudah biasa menjadi ‘kanvas’ lukisan,” kata Rizki.

Di Amerika Serikat, gaya mobil yang dilukis muncul pada 1960-an ketika penyanyi Janis Joplin memamerkan Porsche 356 miliknya yang dicat psikedelik dan Rolls-Royce Phantom V milik John Lennon. Namun keterlibatan seniman besar dalam melukis mobil baru benar-benar terjadi dengan adanya BMW Art Car Project pada 1975. Beberapa seniman ternama pernah melukis BMW, seperti Roy Lichtenstein, Andy Warhol, dan Jeff Koons. Tahun lalu seniman Indonesia sudah mulai pula diajak melukis kap mobil BMW dalam Bazaar Art Fair di Jakarta.

Beberapa seniman ternama Indonesia sudah melukis di berbagai bidang benda, termasuk yang ikut dalam proyek seni Perimeter di Kemang Icon Art Space, Kemang, Jakarta Selatan. Di galeri Perimeter itu akan kita temui berbagai karya unik mereka, seperti Vespod karya Agus Suwage, Vespa Piaggio LX 150 putih dengan motif bunga biru. Eddie Hara membuat Sofa So Good, berupa sofa merah dengan lukisan berbagai obyek khas Eddie, dan Cool Your Nerve Down, berupa kulkas merah dengan obyek serupa sofa. Adapun S. Teddy D. membuat Love Tank the Temple, yang bermotif tumpukan tank merah jambu pada syal dan kertas dinding.

Para seniman jalanan, yang suka membuat grafiti, banyak pula yang mengembangkan proyek seni pada benda sehari-hari ini. Darbotz, seniman grafiti Jakarta, yang sedang menyiapkan pameran di Prancis, misalnya, terkenal dengan ikon Cumi, monster cumi-cumi dengan dahi mengernyit dan mulut tersenyum lebar memamerkan sederet taring. Ikon yang ia gunakan sejak 2004 itu jadi merek dagangnya dan ia jajakan dalam berbagai bentuk, dari kaus, jam tangan, papan luncur, sepatu, hingga sepeda balap.

Cumi pernah dijadikan ikon Nike WindRunner, jaket produk Nike. Darbotz juga membuat instalasi Nikeflywire untuk peluncuran sepatu Nike di Jakarta pada 2008. Video Cumi untuk ikon Nike itu dipuji Kanye West, penyanyi hip-hop Amerika Serikat, sebagai ”karya yang keren”. ”Sepatu itu jadi semacam kanvas baru. Saya melukis dengan membayangkan gambar seperti apa yang sesuai untuknya,” kata Darbotz mengenai proses kerjanya melukis Cumi pada sepatu Nike.

Darbotz bersama beberapa seniman grafiti lain, seperti Tutu, NameTwo, Pinkgirlgowild, dan Icha, pernah pula ”mendadani” Mercedes-Benz E-Class pada 2009. Darbotz melukis mobil berwarna hitam itu dengan gambar Cumi dalam garis-garis perak yang halus. ”Mobil itu elegan dan sudah bagus, jadi saya mempertahankan tampilannya dengan garis yang halus. Hanya, bila orang melihat dari dekat, barulah efek gambar saya terlihat,” katanya.

Kendaraan bermotor yang mereka lukisi masih menjadi karya khusus dan dibuat dalam jumlah terbatas. Suatu saat industri otomotif akan benar-benar memanfaatkannya dan, misalnya, memproduksinya secara massal. ”Suatu saat hal itu akan terjadi,” kata Rizki.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus