Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH pohon itu meranggas, tak sehelai daun pun menghiasinya. Hanya tersisa batang dan ranting. Di pojok ada semacam instalasi besi berbandul. Dari langit-langit tampak seorang lelaki (Jefriandi Usman) menuruni tiang-tiang besi itu. Tubuhnya meliuk-liuk. Bandul-bandul besi yang naik-turun tersebut menimbulkan bunyi krek... krek... krek....
Tatkala menapakkan kaki di lantai, ia pun bersimpuh. Dalam tata cahaya remang, kita kemudian melihat di lantai itu terdapat tujuh lelaki menggelepar tak berdaya. Itulah sepenggal awal pementasan tari kontemporer karya koreografer Jefriandi Usman dan Tabusai Dance Company di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu dua pekan lalu.
Selama satu jam, koreografer alumnus Institut Kesenian Jakarta ini menampilkan pementasan bertajuk Phase, yang dibagi dalam dua babak: Tanah Merah dan Padusi. Jefri ingin menggambarkan alam yang rusak akibat digerogoti industri. Pohon-pohon yang ranggas itu (dibuat dari resin) menggambarkan alam yang merana. Lalu instalasi yang dibuat dari 12 tiang besi sepanjang 12 meter dengan bandul (dari bandul lampu) naik-turun melukiskan dunia mesin.
”Ide awal jam besar mesin waktu,” kata Aidil Usman, penata panggung. Namun, karena bujet kurang, ia memanfaatkan barang-barang yang ada di Gedung Kesenian Jakarta. Bandul ditarik dari atas oleh empat kru. Instalasi dipasangi kondensor dan mikrofon, sehingga suaranya terdengar keras.
Tujuh laki-laki yang tergeletak dan kemudian berdiri sempoyongan itu menggambarkan sakitnya alam. Tujuh laki-laki yang ternyata para pemusik itu satu di antaranya meniup saluang, yang suara sendunya kontras dengan detak suara instalasi mesin. Jefri melewati mereka. Tatkala panggung berubah menjadi merah berlumur darah, kita mendapat kesan suasana demikian tragis.
Babak kedua adalah Padusi—bahasa Minang, yang berarti perempuan. Terlihat Aidil, penata pentas yang merangkap penata lampu, membuat sebidang kotak kecil cahaya di lantai. Muncul David. Penari itu beberapa kali menampilkan gerak silat sangat kental: silat uluambek, yakni gabungan silat pesisir dengan silat dataran tinggi Minang. Juga kita melihat penari lain (Maria Bernadeth) menari dalam kotak cahaya lain. Ia mengenakan busana merah khas Minang.
Pemusik Syahrial dan Piterman, yang kini duduk di sebuah panggung tinggi, menyajikan nyanyian bercorak pedih. Suasananya nglangut, kata orang Jawa. Mereka mendendangkan itu dengan kecapi, rebab, talempong, gendang, rebana, dan genta. Piterman mengatakan syair yang mereka ratapkan sebenarnya berasal dari celoteh serta imbauan yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Minang.
Maria kemudian terlihat mencabut sunting rambutnya. Sunting yang biasa dipakai pengantin Minang. Ia melempar sunting ke belakang, ke sebuah bentangan kain perca. Di Minang, kain ini—disebut kain gaba—biasanya digunakan untuk melapisi dinding pelaminan atau, saat upacara kematian, ditaruh di langit-langit rumah sebagai tanda berkabung. Tiba-tiba Maria terlihat minum air dan menyemburkan airnya ke perca itu.
Kita menangkap Jefri berbicara tentang pemberontakan kaum Hawa di ranah Minang. Kedua penari yang terpisah dalam kotak cahaya kemudian berada dalam satu cahaya. ”Cahaya yang terkotak-kotak itu simbol dari ruang privasi antara wanita dan pria, yang akhirnya harus bersatu saat menjadi suami-istri,” katanya. Di akhir pentas, Etty—sebutan akrab Maria—naik ke punggung David.
Ide dasar Jefriandi sesungguhnya ide yang terus-menerus menjadi perhatian banyak koreografer kita, yaitu modernitas versus tradisi. Yang berbeda malam itu adalah skenografi dan permainan lighting. Pada titik ini terlihat ide lama itu diupayakan Jefriandi dengan simbol-simbol yang baru. Bila saja dibuat lebih besar dan menguasai panggung, tidak hanya kecil di pojok, instalasi mesin tersebut tentu lebih mencekam.
Jefriandi cenderung mengakhiri pentas dengan harmonis. Simbolisasi ”persetubuhan” itu buktinya. Tapi penonton merasakan Jefriandi tetap menyajikan suasana murung: suasana kekalahan manusia. Dengarkan, bunyi krek... krek... krek... detak bandul besi itu masih keras.
Suryani Ika Sari, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo