Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BATAS
Sutradara: Rudi Soedjarwo
Skenario: Slamet Rahardjo Djarot
Cerita: Lintang Sugianto
Pemain: Marcella Zalianty, Jajang C. Noer, Arifin Putra, Ardina Rasti, Piet Pagau, Marcell Domits, Alifyandra
Produksi: Keana Production
JUDUL film ini memberi begitu banyak bayangan, banyak janji, dan sejumlah isyarat. Ada nama sutradara Rudi Soedjarwo, sineas yang pernah mengguncang jagat film—bersama produser Mira Lesmana, Riri Riza, juga penulis skenario Jujur Prananto dan Prima Rusdi—dengan film Ada Apa dengan Cinta? (2002), salah satu film yang dianggap ikut meniupkan perfilman Indonesia hingga bernyawa kembali. Ada nama Slamet Rahardjo Djarot sebagai penulis skenario, seorang sineas dan aktor senior, yang karyanya, seperti Marsinah dan Telegram, mencekam kita.
Judul Batas, menurut sineas dan produsernya, bukan hanya berkisah tentang problem orang-orang di perbatasan Kalimantan Barat, antara wilayah Indonesia dan Malaysia, yang—ternyata—hanya dibelah oleh sebilah kayu, tapi juga persoalan batas psikologis yang dilalui berbagai tokohnya. Tersebutlah Jaleswari (Marcella Zalianty), karyawan perusahaan besar yang ditugasi nyemplung ke tengah hutan Kalimantan Barat. Tujuan Jaleswari adalah mencari penyebab gagalnya program pendidikan yang dibangun corporate social responsibility perusahaannya. Yang ditemukan di tengah hutan adalah berbagai karakter: Panglima Adayak (Piet Pagau) yang sudah sepuh, yang tubuhnya diselimuti tato, yang gelegar suaranya mampu membuat seisi desa tunduk tanpa ragu; Nawara (Jajang C. Noer), istri Panglima yang sedang hidup terpisah dari suaminya, yang menampung seorang gadis tanpa nama yang melolong-lolong dengan pilu; sekelompok preman yang dipimpin Otik (Otig Pakis) dan Pagau (Norman Akuwen); seorang guru muda bernama Adeus (Marcell Domits), yang mulai putus asa karena pendidikan yang direncanakan tidak berjalan sesuai dengan harapan mereka.
Sebagai anak Jakarta, tentu saja Jaleswari mengalami banyak problem pada sentuhan awalnya dengan kehidupan di desa yang murung itu. Tentu saja alam dan anak-anak sekolahnya sungguh menyenangkan. Jales, yang semula bertugas menyelidiki keadaan—dengan memotret dan bertanya kepada penduduk—akhirnya dinobatkan menjadi guru. Semangat mengajar anak-anak di bawah langit Kalimantan yang terasa dekat dengan bumi tentu saja bagus bagi mata, jiwa, dan raga penonton, bagi hati.
Tapi problem yang disajikan penulis dan sutradara begitu banyak. Bukan cuma persoalan pendidikan yang tersendat, tapi ada juga persoalan preman-preman yang melakukan perdagangan manusia. Mereka begitu berkuasa di seluruh desa. Ada lagi soal hubungan Nawara dengan Panglima yang sedang renggang, soal gadis tak bernama yang diperkosa oleh entah siapa, dan, yang paling penting, ada roman-romanan antara Jaleswari yang cantik dan seorang lelaki ganteng banget yang lebih cocok menjadi model di sampul majalah GQ atau Esquire, Arif (Arifin Putra).
Sinematografi dan tata artistik film Batas masih terasa bahwa ini karya Rudi Soedjarwo. Ada juga ”tanda tangan” Rudi, di mana dia sering menciptakan adegan yang menyajikan suasana sunyi. Tak ada salahnya memilih cara berbicara seperti ini, terutama jika skenario dan pemain bisa bergumul. Problemnya, kesunyian dan dialog-dialog yang terlontar—terutama antara Jales cantik dan Arif tampan—itu tidak bisa mengisi layar, apalagi hati penonton. Kalimat-kalimat yang selalu melibatkan kata ”batas” (kenapa sih membicarakan persoalan ”batas” harus terus-menerus menggunakan kata yang sama?) tidak menjadi dialog yang menyentuh, apalagi mengharukan. Semua bahasa tubuh yang memperlihatkan tokoh-tokoh yang tengah merenung atau memandang dari kejauhan bak filsuf sama sekali tidak meyakinkan kita bahwa mereka adalah orang-orang di tengah hutan yang biasa berkawan dengan alam.
Jalan cerita juga terlalu banyak meninggalkan lubang. Siapakah si pria ganteng yang cocok jadi sampul majalah GQ itu? Detektif, tentara, yang sedang menyamar? Dan bagaimana si pria ganteng yang menyamar ini bisa menginvestigasi sendirian di tengah hutan dan menggeletakkan pistol begitu saja di kamarnya? Lalu apakah Jales berhasil menemukan yang dia cari ke tengah hutan? Dan adegan meletakkan monyet mati di tempat tidur untuk meneror Jales? Halo, Coppola….
Bayangan, janji, dan isyarat yang dijanjikan oleh nama-nama besar ini akhirnya sirna.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo