Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP melihat ekskavator atau mesin keruk, Sholahuddien, 32 tahun, tersenyum puas. Pengalaman akhir tahun lalu masih membekas ketika menggarap pesanan tak biasa: melukis pada ekskavator. Pemilik studio Pay Airgrafix di Jakarta Timur, yang memang punya spesialisasi menggambar dengan teknik airbrush, ini sudah biasa menghiasi sepeda motor dan mobil. Tapi memoles mesin keruk adalah yang pertama. ”Saya garap sepuluh hari,” kata laki-laki yang biasa dipanggil Pay ini.
Penampilan mesin keruk pun tak lagi sangar. Sekujur permukaannya bermotif batik Wahyu Garuda sesuai dengan pesanan. Ekskavator dipajang di pelataran Hotel Sultan Jakarta untuk menyambut tetamu. Pemesannya, perusahaan alat berat, memang sedang punya hajat.
Menorehkan motif batik pada ekskavator menambah daftar obyek tak konvensional karya airbrush Pay. Sebelumnya, dia menyulap mobil truk pengolah sampah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menjadi seperti taman berjalan. Dengan sentuhan airbrush-nya, wajah asli truk hilang, berganti flora dan fauna di sekeliling badan kendaraan.
Pay belum puas. Dia masih punya mimpi. ”Melukis pada pesawat atau kapal pesiar,” katanya. Dia sudah punya bayangan menggambar berbagai motif etnik di Indonesia. Semangatnya agar orang asing yang datang terkesan sejak awal.
Pay menggeluti teknik airbrush sejak akhir 1990-an setelah melukis dengan kuas. Ketertarikannya bermula pada gambar yang melekat pada badan mobil Volkswagen. ”Saya raba-raba kok halus banget,” ujarnya mengenang. Dia pun langsung jatuh cinta ke airbrush, hingga membuka bengkel yang menerima pesanan mendandani mobil dan sepeda motor.
Tak sampai setahun menggarap otomotif, Pay sudah gatal ingin mencoba bidang lain untuk mengekspresikan seni airbrush. Jadilah barang-barang di sekitar sebagai sasarannya, disemprot cat dengan tekanan udara itu. Televisi, kulkas, chasing telepon, tongkat golf, tubuh orang sampai kuku-kukunya, semua menjadi kanvas bagi Pay. Belakangan, dia mencoba menggambari kue dengan teknik airbrush, tentu dengan bahan pewarna makanan. ”Semuanya bisa digambar kecuali batu es,” katanya.
Percobaan Pay itu umumnya untuk kepuasan pribadi sekaligus kampanye airbrush, yang tidak hanya identik dengan teknik menggambar pada kendaraan bermotor. Karena eksperimennya itu, Pay pun memperoleh pesanan melukis bidang yang nyeleneh, seperti lapangan basket dan telur.
Semuanya itu dipersiapkan dari bengkelnya, yang memiliki ruang pengecatan sekitar 40 meter persegi. Bagian bengkel lainnya adalah tiga ruang besar untuk penyimpanan alat-alat dan barang pesanan. Di setiap ruang tersimpan ular piton peliharaannya. ”Merawat ular seperti melukis. Keduanya harus dengan hati,” kata Pay. Dorongan hati pulalah yang membuat dia menerima konsultasi gratis seputar airbrush, meski juga membuka kursus berbayar. ”Agar airbrush tidak dimaknai sempit.”
Pay tidak sendiri. Sebagian seniman airbrush mulai intensif berkampanye airbrush untuk semua media. Misalnya, komunitas Airbrush Indonesia menggelar pameran bertajuk ”Pressure” pertengahan tahun lalu. Karya-karya yang ditampilkan adalah seni melukis dengan airbrush pada bidang tak konvensional, dari tempat sampah sampai plafon rumah.
Proyek selanjutnya komunitas ini adalah menerbitkan buku Antologi Airbrush 2011. ”Kami menunggu kiriman karya-karya dari seniman se-Indonesia,” kata Sigit Budi, salah satu penggiatnya. Karya-karya kiriman yang sudah masuk untuk sementara sudah menggembirakan. Beberapa mengajukan karya sentuhan airbrush pada alat-alat rumah tangga, misalnya penggorengan, tabung gas, dan sendok.
Teknik airbrush memang membuat pelukis ”gatal” menjajal berbagai bidang untuk digambari. Meski pada obyek sama, hasil sentuhan airbrush tetap berbeda dengan lukisan menggunakan kuas atau pena. ”Ada pencapaian lebih yang tidak bisa dikejar kuas,” Sigit menjelaskan. Airbrush memungkinkan degradasi yang halus hingga mampu menciptakan ilusi mata. Dia mencontohkan salah satu sisi dinding semen yang terkesan seperti kayu setelah dicat halus dengan airbrush.
Obyek-obyek tertentu juga hanya dimungkinkan dilukis dengan teknik airbrush. Sigit mencontohkan klien yang minta stocking-nya digambar untuk peragaan busana. Pernah ada juga yang memesan menggambar pada korek api gas, yang kemudian dijual kembali. ”Harganya jadi berlipat,” kata Sigit, Manajer Studio Serrum, studio lukis di Jakarta Pusat.
Memang sebagian orang menggunakan sentuhan airbrush untuk meningkatkan nilai atau menambah keunikan barang pribadinya. Dwi, juru foto di Jakarta, pernah mengecat kamera dua tahun lalu. Setelah kamera itu dijual kembali, dia lumayan untung, meski motif lukisan tak sesuai dengan pesanan. ”Pinginnya loreng tentara, malah dilukis loreng Banser,” katanya sambil tertawa. Saat itu dia menggunakan jasa studio lukis di Surabaya, yang menerima pesanan menggambar segala rupa dengan airbrush.
Upaya memperluas kreasi dengan airbrush tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah. Sayangnya, menurut Sigit, masih ada sebagian seniman airbrush yang enggan mengeksplorasi di luar otomotif. ”Itu zona nyaman karena otomotif lebih komersial,” katanya. Padahal lukisan pada media lain bisa menghasilkan karya seni bernilai tinggi.
Penghargaan tinggi itu pernah diterima Muhamad Gatot Pringgotomo, 30 tahun, seniman airbrush, yang populer disapa dengan panggilan Emji. Dia pernah mendapat penghargaan khusus, berhadiah uang Rp 15 juta berkat lukisan airbrush pada helm seharga Rp 9 juta, dari ajang Indonesia Art Contemporary Award tahun lalu.
Awalnya Emji juga menggarap otomotif, melayani pesanan gambar pada kap mobil, tangki sepeda motor, juga helm. Sama dengan Pay, dia berkenalan dengan airbrush dari otomotif setelah tertarik melihat gambar yang halus pada sebuah mobil. ”Waktu itu heran, kok bisa,” katanya. Dia belajar di bengkel airbrush dan dinyatakan lulus sesuai dengan standar sang mentor. ”Sudah bisa membuat sehelai rambut dengan halus.”
Melukis di media otomotif ternyata tidak membuatnya puas. ”Lama-lama bosan, tidak menantang,” katanya. Dua tahun terakhir, dia intensif menjajaki media lain. Barang-barang sekitar menjadi sasaran, seperti termos es, tempat sampah, juga ember cucian, dan lama-lama benda-benda kecil yang tingkat kesulitannya lebih tinggi, seperti korek api serta benda yang halus dan tipis, semisal stocking.
Soal melukis pada bidang kecil dengan tingkat kesulitan tinggi itu, di sekitar hutan jati di Bojonegoro, Jawa Timur, seniman ukir Aris Mulyadi, 29 tahun, sudah terbiasa mempraktekkannya. Dia menggabungkan teknik ukir dan lukis pada obyek kayu jati. Justru pada titik yang sulit itu teknik lukis yang bicara. ”Pada latar ukiran atau lekukan-lekukan kecil,” tutur Aris, yang belajar ukir dari ayahnya, dalang sekaligus seniman pembuat wayang thengul dan wayang krucil. Karya ukiran Aris jadi istimewa karena lukisan menegaskan motif apa pun. Unsur bunga-bunga yang menonjol pada motif Jepara, misalnya, kian kentara.
Biasanya ukiran kayu Aris dipesan untuk menghias tepian dinding, kusen, atau perabotan interior. ”Pesanan dari sekitar saja,” kata Aris merendah. Padahal hari-hari ini dia tengah menggarap pesanan ukiran dari Iron Maiden. Melalui pengusaha di Jakarta, kelompok musik heavy metal rock asal Inggris itu memesan 27 lembar ukiran kayu jati berukuran lebar 60 sentimeter dan panjang 80 sentimeter.
Menjadi seniman lukis memang harus kreatif dan berpikiran terbuka. Kanvas dan teknik serta warna bisa berupa apa saja. ”Kalau tidak kreatif, lama-lama tergeser,” kata Yorista, 24 tahun, seniman lukis di Bekasi. Dia semula melukis pada kaus, kemudian mencoba pada sepatu. Pesanan pun berdatangan.
Kini Yorista kembali melukis kaus, tapi dengan sentuhan baru. Jadi melukis dulu, kemudian dicetak langsung pada kaus dengan mesin cetak terbaru. Gambarnya sesuai dengan tren kalangan remaja—yang menjadi segmen pasarnya—seperti artis Korea. ”Sehari bisa 300 pesanan kaus lukisan.”
Harun Mahbub, Jatmiko (Bojonegoro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo