Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kiai-kiai dengan kekuatan plus

NU tak bisa dilepaskan dengan yang gaib-gaib. sejumlah kiai punya kemampuan melihat. Di belakang yang tampak diantaranya : gus mik, dan gus ali. mereka didatangi banyak orang, minta berkah.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepercayaan adanya karamah (supranatural) tetap berdenyut di kalangan Islam tertentu, terutama di kalangan NU. Kiai yang punya kemampuan "melihat di belakang yang tampak" itu dicari-cari orang untuk banyak urusan. Wartawan TEMPO Wahyu Muryadi dibantu rekannya di daerah, Kelik M. Nugroho, Moebanoe Moera, Heddy Lugito, Moch. Faried Cahyono, dan Kastoyo Ramelan mengikuti kehidupan para ulama ini di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Bukan hanya merekam cerita dari para jamaah atau santri mereka tapi juga mewawancarai para kiai itu. Ada cerita kecil yang tersisa di belakang panggung Rapat Akbar NU di Senayan, awal Maret ini. Pasukan jin batal hadir. Ini kata koordinator keamanan acara itu, Suhar Billah, 43 tahun, yang ditugasi mengerahkan pasukan supranatural untuk mengamankan rapat itu. "Sebab rapat sudah berlangsung aman dan tertib," katanya menjelaskan mengapa rombongan jin tidak jadi datang. Padahal katanya, selain dia, 20 kiai NU lain sudah menyatakan siap mengontak mahluk halus itu. Suhar Billah juga tak sampai menggunakan "senjata" yang dipinjamkan Kiai H. Sofyan Sauri, pemimpin Pondok Pesantren Mikhtakhul Ulum, Kaliwates Jember. Senjata antiperusuh ini sebuah tasbih Khodam Malaikat. Kiai Sofyan, yang berhalangan hadir dalam upacara besar itu, berpesan hati-hati menggunakannya. Sebab, satu biji tasbih itu berkekuatan 100 orang. "Jadi, kalau ada orang disentil dengan satu biji bisa mencelat seperti didorong tenaga 100 orang," kata Suhar kepada Amsakasasi dari TEMPO. Kepercayaan pada kenyataan "kekuatan batin" memang masih kuat di kalangan NU. Almarhum Kiai Achmad Siddiq pada masa menjadi rais am pernah membahas soal ini dengan wartawan, selepas muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta, akhir November 1989. Kiai penggemar musik Michael Jackson itu bilang, "NU memang tidak bisa dilepaskan dengan yang gaib-gaib," katanya. Waktu itu seorang wartawan menanyakan tentang sejumlah kiai yang mempunyai kekuatan supranatural yang turun tangan memberikan dukungan spiritual pada pelaksana muktamar di Krapyak itu. "Bukan itu saja," jawab Almarhum Achmad Siddiq, "Sejumlah kiai malah sudah bisa meramalkan hasil muktamar itu." Umpamanya, sebelum acara muktamar di Krapyak itu Kiai Muslim dari Klaten, Yogyakarta, berkalikali mencipratkan minyak wangi ke baju Abdurrahman Wahid sambil bergumam, "Insya Allah terpilih kembali, Insya Allah." Mbah Muslim juga meyakinkan Acmad Siddiq bahwa ia akan duduk kembali di kursi lamanya sebagai Rais Am Syuriah NU. Apa yang dikatakan Mbah Muslim kemudian menjadi kenyataan. Gus Dur dan Achmad Siddiq terpilih sebagai Ketua Umum PB NU dan Rais Am Syuriah NU untuk kedua kalinya. "Kiai-kiai seperti Mbah Muslim selalu berkeliling kalau NU punya hajat besar," kata Achmad Siddiq (almarhum) ketika itu. Sambil terkekeh, Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid mengatakan, NU punya "koleksi" ratusan kiai seperti Mbah Muslim. Pucuk pimpinan NU ini menyebutnya sebagai "kiai paranormal" atau "ahlul karamah," "ahlul hikmah". Yaitu para kiai plus, yang dianggap suci dan mendapat "kesaktian" dari Allah. Mereka bisa melihat jauh kedepan, ngerti sak durunge winarah dan bisa mengalirkan karamah pada orang yang memintanya. Gus Dur membedakannya dengan kiai "biasa", yaitu para ulama yang mendalami syariat agama. Sampai kini kiai plus, yang umumnya mendapat kharisma dan "ilmu" karena menjalankan tarekat dan ajaran sufi, laku keras. Mereka kiai yang selalu dicari-cari orang untuk, misalnya, "mengatrol" nasib. Tengok saja Kiai Hamim Jazuli, yang terkenal dengan panggilan Gus Mik, 60 tahun. Di sembarang kota di Jawa Timur, apalagi Surabaya, nama Gus Mik ngetop. Ketenaran itulah yang terlihat akhir Januari lalu, ketika dilangsungkan semakan, yaitu forum pengkhataman Quran dan Dzikrul Ghofiliin di sebuah pertemuan di Surabaya. Berita akan hadirnya Gus Mik melariskan acara. Banyak yang menungu-nunggunya. Maka begitu wajahnya muncul, sejumlah lelaki menyerbu kiai yang ketika itu berpici hitam, berselempang syal kuning dan berkemeja putih. Semua berebut mencium tangan Hamim, ngalap berkah, meminta "kesaktian". Di antaranya ada seorang laki-laki muda berdasi yang membawa gulungan gambar, meminta doa agar proyeknya sukses. "Insya Allah," kata Gus Mik. Ada seorang bapak yang minta nama untuk anaknya yang baru lahir. Gus Mik berpikir sejenak, lalu katanya, "Beri nama Muchdlar." Sang bapak gembira sekali, lalu menyelipkan uang di saku baju Gus Mik. Yang tak kebagian tempat berteriak, "Guuus, dalem nyuwun pangestunipun ( saya mohon restu )!" Pengawalnya sampai mencarikan jalan masuk lain. Apa boleh buat, Gus Mik terpaksa dimasukkan ke arena semakan melalui barisan jamaah putri. H.M. Farid Wajdi dan Agus Ali M., koordinator majelis semakan Mantab itu berusaha menjelaskan latar belakang serbuan jamaah itu. "Karena Gus Mik dipercaya sebagai wali yang memiliki karamah, kehebatan yang bersifat supranatural," kata Agus Ali. Farid Wajdi sependapat. "Pernah suatu Jumat Gus Mik menghilang, absen salat Jumat," kata Wajdi berkisah. "Beberapa jam kemudian, Gus Mik muncul dengan buah kurma yang masih bergetah menggantung di batangnya. Dari mana kurma itu kalau tidak dari tanah suci." Gus Mik, anak ketiga pendiri Pondok Pesantren Ploso Kediri, K.H. Ahmad Jazuli. Namanya mulai berkibar setelah ia sukses meluncurkan majelis semakan Quran Mantab. Mulanya semakan ini dipopulerkannya di kota kelahirannya, Kediri, sekitar tahun 1986. Bentuk acara ini dirancang oleh Gus Mik dengan memasukkan Dzikrul Ghofiliin antara lain membaca Al Fatikhah 100 kali dan shalawat 300 kali, warisan almarhum Kiai Hamid yang tersohor dari Pasuruan dan Kiai Achmad Siddiq. Tahun berikutnya forum pengajian ini makin dikenal di kotakota lain di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Bahkan ke provinsi lain. Sudah beberapa kali acara sejenis dilaksanakan di Jakarta, Bandung, dan Banten. Mulamula di rumah perorangan, kemudian meningkat menjadi acara di pendopo kabupaten, dan tak jarang sampai ke alun-alun untuk menampung massa yang membludak. Kiai berbadan sedang dengan rambut ikal memutih di bagian tepinya itu selalu tampil menyiarkan dakwah di akhir acara. Ia juga sering mengajak tokoh setempat untuk bergabung dalam acara ini, umpamanya di Yogya ia menggaet G.B.P.H. Haji Joyokusumo, adik Sultan HB X, untuk ikut berbicara di muka umat. Suara Gus Mik pelan, lebih kedengaran seperti berbisik. Tapi kalau ada kalimat yang dianggapnya penting, Gus Mik tak segan mengulang sampai tiga kali. "Daripada anakanak muda ngerumpiin tetangga kan lebih baik saya kumpulkan mereka dalam acara santai tapi penuh tasyakkur," kata Gus Mik dalam ceramahnya suatu kali. Ada beberapa peserta semakan mengemukakan kesan, "Gus Mik, ketika berdakwah, seperti bisa membaca persoalan di hati pengunjung". Karena itu, dakwahnya selalu berkesan dan mampu menyelesaikan persoalan. "Hati saya seperti disiram air es kalau mendengar suara Gus Mik," kata Tonny, mahasiswa fakultas sastra Inggris sebuah universitas swasta di Surabaya. Akhirnya tradisi semakan tak bisa dilepaskan dari penampilan Hamim alias Gus Mik di muka umum. Hadirin seperti kurang puas kalau Gus Mik yang suka humor dan pintar mengarang anekdot itu tak muncul di acara semakan. Di samping itu, undangan ke Gus Mik untuk menghadiri ritus keagamaan di mana-mana terus mengalir. Menurut rektor IAIN Sunan Kalijogo, Dr. Simuh, bagi kalangan NU yang masih memelihara kepercayaan tasawuf dan tarekat percaya bahwa hubungan dengan Tuhan dijalin melalui wasilah (perantara) seorang aulia (wali). Masyarakat Islam memang mengenal wali-wali. "Munculnya wali-wali suci tak hanya sebatas wali yang sembilan di masa Kerajaan Demak," kata Simuh, yang meraih gelar doktornya di tahun 1984 lewat disertasi Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ronggowarsito. "Kiai seperti Gus Mik dan Mbah Mangli dari Magelang bisa disebut wali suci karena pengikutnya menganggap begitu," kata Simuh. Apa pun perintah para kiai suci ini, menurut Simuh, akan diikuti pengikutnya. Contohnya, acara semakan Qur'an Gus Mik itu. "Yang datang ke semakan, dari orang tua sampai bayi-bayi. Semua ikut pembacaan Quran dan tahlilan semalaman. Dana Rp 6 juta dapat dikumpulkan dengan mudah dari situ ," kata Simuh lagi. Tidak bisa disangkal, kiai yang termasuk golongan wali, minal awlia, kata Gus Dur, mendapat tempat di hati rakyat. Rumah Kiai Mangli di Desa Mangli, Kecamatan Ngablek, Magelang, tak pernah sepi. Rumah sederhana berdinding kayu dan beratap seng milik Kiai Mangli yang nama aslinya K.H. Khasan Asyari, 70 tahun, setiap hari didatangi sedikitnya sepuluh tamu. Mereka diterima oleh beberapa santri yang tengah berguru pada Kiai Mangli. Siapa pun tamu yang datang ke rumahnya di lereng Gunung Andong itu selalu disuguhi teh hangat dan nasi rames sebelum ditanyai keperluannya. Dari buku tamu di rumah Kiai Mangli tertera nama pengunjung yang beralamat di Jakarta, Cirebon, Malang, Surabaya, Madiun, Malang, Semarang. Tujuan kedatangan? Terbaca antara lain, "Ingin bertemu Romo Kiai untuk memohon berkah supaya naik pangkat. Supaya lancar berdagang. Supaya terpilih menjadi kepala desa." Pendeknya, kebanyakan mohon berkah. Kiai Mangli dipercaya punya kekuatan batin yang hebat. Seorang warga Desa Mangli, Haji Dimjati, 54 tahun, yang ditemui wartawan TEMPO, menceritakan sebuah kisah. "Suatu kali," katanya, "Saya melihat Mbah Kiai lewat dengan mobil Toyota Hardtop hitamnya." Setelah mobil menjauh, Dimyati bilang pada anaknya, "Sekarang Mbah Kiai sibuk dagang sampai jarang sekali khotbah Jumat, apa kekayaannya belum cukup, ya?" Tak lama setelah mengucapkan itu, mobil Kiai Mangli kembali dan berhenti di muka rumah Dimyati. Kiai Mangli turun dan mendekati Dimyati. "Ya, sekarang saya memang belum cukup. Nanti kalau sudah kecukupan segalanya saya akan khotbah Jumat lagi," ujar Dimyati menirukan ucapan Kiai Mangli ketika itu. Dimyati langsung gemeteran dan mencium tangan kiainya meminta maaf. Sejak itu ia kapok ngrasani Mbah Kiai. Di Surakarta, Mbah Muslim, nama lengkapnya Muhammad Muslimin Rivai, 65 tahun, tetap pula menerima tamu. Pemimpin pesantren "Al Muttaqin" di Desa Troso, Kranganom, Klaten, ini dikenal menjadi tempat mengadu warga NU. Kalau menerima tamu di ruang depan rumahnya, yang dihiasi potret para ulama dan Presiden Suharto, Mbah Muslim yang gagu selalu ditemani istri dan anaknya. Tugas mereka menerjemahkan dan memperjelas ucapan Mbah Muslim. Mulutnya tak henti berkomat-kamit. Ketika ditemui Kastoyo Ramelan, wartawan TEMPO yang berdomisili di Solo, di pekan pertama Februari lalu, ia langsung bilang, untung TEMPO datang hari ini. Kalau terlambat, "Saya akan menemui Gus Dur, untuk mempertemukan saya dengan seorang pejabat di Jakarta." Tujuannya, "Saya akan menganjurkan mereka yang bertikai agar beralalbihalal bersama-sama." Lalu ia meneruskan berkomat-kamit, sambil badannya, yang dibungkus pantalon dan baju lengan panjang tanpa peci, terus bergerak, dan kedua tangannya tanpa terkontrol mengusap-usap badannya. Ketika bicara dengan tamunya, yang duduk lesehan di atas karpet hijau, Mbah Muslim bisa tiba-tiba berdiri dan keluar-masuk kamar tamu. Tamu-tamu yang diwawancarai wartawan TEMPO tak ada yang bercerita lain kecuali bahwa Mbah Muslim memberi ketenangan, menyukseskan berbagai niat sampai mempermudah rezeki. Resep yang diberikan Mbah Muslim adalah biasanya puasa Senin-Kamis dan beberapa baris doa. Salah seorang sopir orang penting yang sedang menungggu majikannya berkisah, "Saya pernah mengantar Mbah Muslim dari Jakarta ke Blitar, yang jauhnya sekitar 750 km, eh cuma delapan jam. Saya sendiri juga tak percaya, tapi kok ya nyata," katanya. Yang menarik, kegaguan Mbah Muslim bisa tiba-tiba lenyap untuk tiga perkara: membaca Quran, mengimani salat, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Menurut Gus Dur, masih ada satu lagi: "Kalau ngomong dengan saya di telepon, " katanya sambil tertawa. Di Jawa Timur, masih ada Agous Ali Mashuri dari kawasan Tulangan, pelosok Sidoardjo, sekitar 30 km dari Surabaya. Kiai Agous Ali Mashuri juga dikenal sebagai kiai sakti. Dan orang antre untuk bertemu dengan kiai yang dijuluki Gus Ali Tulangan itu. Awal Februari lalu, reporter TEMPO, yang duduk di antara "pasien" kiai itu, mencatat keluhan-keluhan para pengunjung. Yang pertama seorang bapak membawa gadisnya. Pak Mustafa, pegawai negeri dari Pasuruan itu, sedang bingung memilih satu calon mantunya: Zainuddin dan Hasan, yang sama-sama sarjana. Daripada puyeng, Mustafa membawa anak gadisnya ke "Klinik Moral Bumi Salawat Nabi" begitu tertulis di tembok bangunan masjid dan pesantren milik Kiai Ali. Mustafa berniat minta petunjuk sang kiai. Menghadapi "pasien" Mustafa ini, Gus Ali mundar-mandir kamar tamunya yang berukuran 5 x 10 meter, seperti mencari ilham. Tak lama kemudian, dengan suara parau, ia berkata "Pilih saja Zainuddin dari Jember itu." Lalu tangan kiai menadah ke atas "Allahumma Shalli Ala Muhammad." Tamu-tamu lain yang mengantre berkahnya, kontan menjawab "Allahuma Shalli Alaih." Berikutnya seorang pemuda asal Surabaya. Ia atang untuk minta bantuan sang Kiai melepas susuk dari dagunya. Gus Ali, yang duduk beralas bulu binatang berwarna abu-abu, menempelkan tangan saktinya ke dagu pemuda itu. "Nah sudah keluar, pulang saja," katanya sesaat kemudian. Farid bengong, "Sudah? Kok nggak terasa, Gus?" tanyanya. "Lha iya, sudah sana pulang," jawab Kiai pendek. Farid ngeloyor pergi. Tempatnya lalu diisi pasien Hamid, yang mengaku dagangannya seret. Gus Ali "memeriksanya" sejenak. Katanya, Hamid kurang bersyukur. Maka, ia diberi resep: puasa Selasa, Rabu, Kamis, dan baca salawat 12 ribu kali." Ketika menghadapi para tamu yang minta nasihat, tak selalu Gus Ali mengambil tindakan jelas, misalnya bicara atau meraba. Ketika "mengobati" seorang pedagang mobil dari Gresik, Gus Ali cuma menyodorkan sisa makannya pada si pengusaha yang minta didoakan sukses itu. Gus Ali memang sedang makan ketika menerima tamu yang satu ini. Si tamu tampak gembira sekali, dan langsung melahap habis sisa makanan kiai. Tamu yang lain disodori kue apem yang sudah digengam-genggamnya. Bagi yang percaya, mendapatkan segala sesuatu yang telah tersentuh Kiai Agous merupakan rezeki besar. Maka, ketika Gus Ali yang doyan main badminton melakukan "upacara lempar", melayangkan pisang dan apem, tamu-tamunya berebut menangkap. Lepas magrib, Gus Ali pamitan pada tamu-tamunya. Biasanya begitu, karena Gus Ali kerap diminta memberi ceramah di berbagai tempat. Suatu saat TEMPO menyaksikan Gus Ali seperti kebingungan sebelum berangkat. Ada yang dicari-carinya. "Maaak, Maak, mana lepisku," teriaknya pada istrinya. Lepis itu maksudnya celana jeans. Jeans itu kemudian dipakainya dipadu dengan kaus dan jas panjang saten yang tak dikancing. Pak Kiai tak memakai kopiah, melainkan topi wol. Ia berangkat setelah mengenakan kacamata ray ban. "Gimana, pantas? Kiai kok mbois (seperti anak muda) begini," katanya pada TEMPO. Sang Kiai keluar sambil menenteng kamera instan. "Untuk memotret turis di pantai, he ... he ... he," ujarnya. Ia lalu berlenggang menuju mobilnya, Mazda 323 warna putih. Ada pun Kiai Mangli yang di Magelang tak membuka praktek seperti Gus Ali ini. Semua permohonan tamunya hanya dibacakan Kiai Mangli pada bagian akhir khotbah tiap minggu di masjidnya. Tradisi berdakwah di masjid Mangli telah berlangsung 20 tahun. Menurut warga Mangli, Mbah Mangli didatangkan dari Kudus oleh kepala dusun pada 1957 untuk mengajari penduduk mengaji. Kini kiai berjenggot putih itu hanya datang sekali seminggu ke rumahnya di Mangli. Maka, sejak Sabtu sore tamutamu dari jauh sudah berdatangan di masjid Mangli untuk mendengar khotbah sambil memperhatikan apakah permohonannya "disalurkan" sang Kiai pada Yang Kuasa. Khotbah kiai bertubuh kecil berkulit bersih dan berhidung mancung ini biasanya berapi-api, diselingi gebrakan meja dan acungan tangan. Suaranya lantang terdengar tanpa pengeras suara, sementara asap kemenyan terus mengepul dari tungku di samping mimbarnya. Ia selalu melarang hadirin merekam pidato dan memotretnya. Sebagai penutup dakwahnya, ia membaca doa antara lain, "Yang pedagang biar maju berdagangnya, yang keluarganya sakit semoga Allah segera memberikan obat, semoga yang para pegawai naik pangkat, yang pejabat biar tepat menjadi pemimpin. Semoga niat baik orang yang datang mengaji di sini mendapat rahmat Allah dan terkabul permintaannya," katanya dalam bahasa Jawa. Hadirin pun mengaminkannya. Konon, doa Kiai jarang meleset. Ketokohannya pun menjadi-jadi. Cerita kesaktiannya seabrek, antara lain cerita Kiai mangli bisa hadir di dua tempat sekaligus pada waktu bersamaan. Pernah terjadi di Semarang dan Magelang yang berjarak sekitar 70 km. Konon, berkat kiai pula piutang orang bisa kembali dan pedagang yang bangkrut mendadak kelimpahan rezeki setelah ikut mengaji di masjid Mangli. "Mbah itu bukan kiai sembarangan. Mbah Kiai itu wali katon (menampakkan diri)," kata Kepala Dusun Mangli, Wahyan, 40 tahun. Cuma, Kiai Mangli memang jarang tampak di kampungnya. Ia tinggal di beberapa kediamannya di Jepara, Kudus, Cirebon, dan Jakarta. Empat orang istrinya tinggal berlainan kota. Jangan mengira semua kekayaannya berasal dari imbalan "praktek". Kakek delapan cucu dan ayah enam anak dari istrinya yang di Mangli ini sehari-hari aktif berdagang, selain berurusan dengan agama. Ia menjual hasil bumi seperti cengkeh dan kol ke kota. Juga bisnis permata dan kerajinan ukiran, selain mengelola Restoran Muslim di Ungaran. "Mbah memang pandai berdagang. Sekarang hidupnya kaya raya. Masjidnya dibangun dengan uang pribadinya," kata Wahyan. Maka, jangan harap Mbah Mangli menunggu "oleh-oleh" umatnya. Yang diterima paling-paling sayur-sayuran dari tetangga. Tapi pulangnya si tetangga diselipkan uang yang jumlahnya kalau dibandingkan dengan harga sayuran itu dua kali lipat nilainya. Kiai ini juga tak pernah memungut bayaran dari siswa-siswi yang belajar di pesantrennya. Adapun Gus Mik, ia tak punya pesantren dan belum pernah resmi menyantri. Suatu malam, persisnya 4 Februari, di pub Hotel Elmi, Surabaya, di tengah kebisingan lagu Bento, Gus Mik bertutur pada wartawan TEMPO Wahyu Muryadi. "Di sini, di meja-meja inilah pesantren saya," katanya, setelah menebak bahwa yang datang menemuinya malam itu dari Jakarta akan mewawancarainya. Gus Mik memang tak asing dengan suasana bar. Di luar jadwal semakan yang padat, Gus Mik sering muncul di pub, klub malam, atau tempat bilyar. Awal Februari lalu, Gus Mik berada di antara tamu pub Hotel Elmi, Surabaya. Ia ditemani beberapa pejabat daerah dan penyanyi rock dari Bali, Ayu Wedhayanti, yatim piatu yang memanggil Gus Mik dengan "Papi". Kiai yang mengenakan kaus bergaris-garis dan sepatu pantofel hak tinggi itu mengambil tempat di salah satu sudut tempat minum itu. Lalu menyimak lantunan musik. Sambil mengepulkan asap Wismilak dari pipa gadingnya, ia menikmati entakan lagu. Sekali-sekali ia melempar senyum kepada orang yang mengenalinya. Ketika teman di sampingnya memesan bir, Gus Mik memilih bir hitam. Sesudah botol si hitam Guinness keempat kosong, Pak Kiai beranjak dari tempat duduknya. Di pintu, seseorang menyerbu tangannya dan menciumnya. Resepsionis hotel yang melihatnya menghampirinya setengah berlari, untuk kemudian juga menyerbu tangan sang kiai. Keluar dari kawasan hotel, tiga mobil mengiringi sedan Gus Mik. Masing-masing, mobil yang ditumpangi, mobil Kepala Staf Kodim Sidoarjo Mayor Basuki, dan mobil Wakapolres Surabaya Selatan, Letnan Kolonel Untung. Ikut menumpang di mobil Gus Mik, Ayu Wedhayanti, "anak" Gus Mik yang mengaku ingin belajar banyak tentang agama dari Pak Kiai. Rombongan tersebut kemudian berhenti di warung kaki lima kawasan Blauran, Surabaya. Ketika duduk, Gus Mik berbisik, "Di sini juga pesantren saya," katanya. Ia lalu memesan udang goreng. "Banyak jemaah saya yang bertemu pertama kali dengan saya di sini," kata Gus Mik, yang juga tak awam. Jadi, katanya, 90% pengikutnya orang "yang belum asyhadu", maksudnya orang-orang yang biasa keluyuran malam dengan hati tak tentu. "Bukan orang baik-baik," katanya menegaskan. Ia, katanya, biasa mengajak sejumlah tamu hiburan malam untuk kembali hidup baik-baik. "Saya tidak berani mengajak kiai-kiai lain untuk masuk ke tempat-tempat ini. Mereka kan memakai sorban," kata Gus Mik, yang berbaur dengan kehidupan malam setelah melepas atribut peci, sarung, dan syalnya. Gus Dur merasa tak layak menilai perkara kiai yang menyerempet syariah ini. "Saya nggak berani menghukumi, tak bisa menyalahkan atau membenarkan dia. Itu urusan dia dengan Gusti Allah," katanya. Pada orang nomor satu NU itu, Kiai Hamim alias Gus Mik pernah mengatakan ia mendapat titah dari Gusti Allah mengurusi orang yang ugal-ugalan. Yang jelas, Gus Dur dalam safarinya ke daerah-daerah selalu menyempatkan diri untuk ketemu dengan para ahlul karamah ini. Gus Dur mengaku kapok kalau sampai kena omelan kiai. Sebab, ia pernah punya pengalaman begini. Suatu kali, Gus Dur mendengar Kiai Wahid Kemlangi di Mojokerto mengeluh karena Gus Dur tak mampir menjenguknya ketika Gus Dur melawat di Jawa Timur. "Mbepok (goblok) Gus Dur itu, lewat ke sini kok nggak mau mampir. Apa karena tidak mau disuguhi nasi orang desa, apa karena dia sudah biasa makan makanan Amerika. Awas nanti kalau ususnya mborok (luka) tak tahu lo," kata Gus Dur menirukan ucapan Kiai Wahid tahun lalu itu. Lima hari setelah Gus Dur mendengar "omelan" kiai dari Mojokerto itu, Gus Dur terbaring di rumah sakit. Ada yang tidak beres dengan ususnya dan harus dipotong 93 cm. Tiba-tiba, setelah operasi, dua kiai muncul di hadapannya untuk membantu mempercepat kesembuhan. "Saya heran masuknya dari mana, penjaganya juga tidak tahu," kata Gus Dur. "Meskipun otak saya yang bau sekolah ini sering kaget, saya selalu merasa gembira di tengah-tengah mereka," kata Gus Dur. Senangnya, kata Gus Dur, karena pola sikap para kiai ini sangat bervariasi. Ada yang "longgar" terhadap syariah dan ada yang "ketat" dalam mengamalkannya. Gus Dur mencontohkan Kiai Abdullah Said, pemimpin Pesantren Maslakul Huda, dari Kajen, Jawa Tengah. "Kalau beliau itu sangat memahami syara, sopan santun. Tidak pernah ngomong apa-apa, nggak pernah tampil, tapi semua wali takut sama dia," kata Gus Dur. Atau Gus Ali Tulangan, yang terkesan suka ngomong sembarangan dan tak segan memaki orang di depan umum, "Tapi kalau soal fikih, ketat sekali," kata Gus Dur. Sebaliknya, ada profil Kiai Dahnan dari Trenggalek yang mengajar murid-muridnya dengan kromo inggil (bahasa Jawa halus) lewat lubang kecil, tanpa kelihatan mukanya. "Mbah Dahnan itu kalau mengajar, takut sama muridnya," kata Gus Dur. Terus terang, Gus Dur mengatakan para pemimpin Islam tradisional inilah para penasihat tak resmi kepemimpinannya di NU, ormas Islam terbesar itu. Ketika terjadi dead lock di "Munas Alim Ulama dan Konperensi Besar NU" Januari lalu, Gus Dur mendengarkan nasihat Habib Luthfi bin Hisyam dari Pekalongan. Habib Luthfi yang dalam kepengurusan NU duduk sebagai A'wan (pembantu) Syuriah, menurut Gus Dur, termasuk barisan kiai paranormal NU. Ketika menentukan pengisi kursi rais am dan wakil rais am, Gus Dur mendukung Kiai Sahal Machfudz sebagai pelaksana rais am. "Tapi kata Habib Luthfi, Sahal belum saatnya ditampilkan, ia kurang pasrah dan hatinya belum anteng," tutur Gus Dur menirukan ucapan sang Habib. Yang kemudian terpilih memang kiai Ilyas Ruchiyat, ajengan dari Tasikmalaya, sedangkan Sahal wakilnya. Minta bantuan dari para ahlul karamah ini tampaknya telah menjadi tradisi NU. Di masa lalu dikenal K.H. Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar dari Pasuruan, Jawa Timur. Ia bisa dibilang sebagai topnya wali. Almarhum yang akrab dipanggil Kiai Hamid, bekas pemimpin Pesantren Salafiyah, meninggal Desember 1982. Ulama besar NU ini, yang dikenal mempunyai kemampuan melihat jauh (clairvoyance), sering meramalkan hal-hal yang belum terjadi. Karena itu ia sering diminta untuk memecahkan masalah yang belum diketahui positif-negatifnya. Salah satu contoh, ketika NU pada Pemilu Mei 1982 hendak menarik diri dari PPP. Saat itu Rais Am K.H. Ali Maksum berkonsultasi dengan tokoh di belakang layar ormas itu. Kiai Hamid dengan suaranya yang tenang menjawab dengan perlambangan-perlambangan. Kiai Maksum kemudian menafsirkan bahwa kiai Hamid tak melihat manfaaatnya bila NU keluar dari partai. Para tamu kabarnya terkadang kaget dengan kiasan-kiasan yang diberikannya. Pernah seorang pengusaha besar Pasuruan yang hendak naik haji dibekalinya botol kosong. Pengusaha itu mengira untuk membawa oleh-oleh air zamzam atau madu tapi tokoh keramat itu berkata," Isilah dengan ilmu, karena sesunggguhnya kamu itu kosong." Semua nasihat diberikannya secara gratis. Di sebaliknya, Kiai Hamid kerap memberi sangu tamu-tamunya. Jumlahnya antara Rp 75 ribu dan Rp 1 juta, "Bahkan ada yang diberi uang untuk naik haji," kata sumber TEMPO di Pasuruan. "Ketika Kiai Hamid meninggal, kalangan NU benar-benar merasa kehilangan. Ia termasuk wali yang paling besar bagi warga NU," kata pengikutnya. Jasa yang diberikan kepada para ahlul karamah ini tampaknya tidak terbatas di kalangan NU dan rakyat biasa. Kepolisian dan aparat pemerintah tak ketinggalan minta pertolongan para kiai. Tersebutlah Kiai Abdul Wahid Fauzi, kiai muda 35 tahun dari Desa Mojojajar, Kemlagi, Mojokerto. Gus Wahid demikian nama topnya tinggal di tengah hutan. Ia terkenal di kalangan kepolisan jajaran Jawa Timur. Karena apa? "Saya sering diminta untuk ikut terjun langsung menangkap penjahat," kata Gus Wahid yang berbadan sedang dengan kulit sawo matang itu kepada Kelik. M. Nugroho, wartawan TEMPO di Surabaya. Biasanya, Gus Wahid dimintai bantuan menghadapi buruan yang dipercaya polisi sebagai penjahat sakti alias bisa menghilang, kebal senjata, atau punya tenaga dalam. Bagaimana memburu mereka, Kiai? "Pasrah pada Allah setelah berikhtiar dan berdoa," jawab Kiai, yang penampilannya seperti santri biasa. Apakah Kiai benar-benar bisa menghilang sehingga bisa menangkap penjahat yang katanya menghilang? "Orang menghilang itu kan untuk sementara saja. Jadi, ya, saya tunggu saja sampai dia muncul kembali," katanya kepada TEMPO setengah berseloroh. Namun kabar yang beredar, kesaktian Gus Wahid yang dimanfaatkan polisi adalah kemampuannya mengirim "rudal" jarum jarak jauh. Gus Wahid, yang menurut para santrinya menguasai ilmu silat, tersenyum ketika membenarkan kabar itu. "Saya hanya berdoa, ya Allah semoga jarum ini tidak akan jatuh ke tanah sebelum mengenai orang yang dituju," katanya. Kalau doanya dikabulkan, kata Gus Wahid, sasarannya pasti lumpuh. Gus Wahid mendapat ilmunya dari berbagai guru. Selepas sekolah ia belajar hanya sampai kelas IV SD Gus Wahid berguru pada sejumlah kiai. Antara lain Kiai Hamid dari Pasuruan dan Kiai Dimyati di Banten. Yang menarik, Gus Wahid sering kebanjiran "pasien" saat pemilihan kepala desa. Tahun lalu pada musim pemilihan kades, kata salah seorang santrinya, "Jumlah tamu kiai bisa mencapai 500 orang setiap hari." (Pemilihan kepala desa umumnya dilakukan hampir serentak di satu provinsi). Pantas bila Gus Dur setengah berseloroh menjuluki Gus Wahid "kiai spesialis kepala desa". Dalam waktu senggangnya, kiai aliran konservatif ini ia antara lain mengharamkan bank dan segala macam musik, menyalurkan hobi beratnya: memancing. "Kalau sudah ngebet mancing, ia akan berangkat kapan saja," kata Suhairi, kongsi dagangnya. Gus Wahid, yang punya seorang istri dan tiga anak, mencari isi dompetnya dengan berdagang tembakau dan bertambak udang. Gus Wahid memang kiai serba bisa. Selain mengurus penjahat dan kades, kiai yang hanya menonton televisi untuk siaran sepak bola itu sering memberi wejangan politik kepada pejabat teras NU yang sowan ke kediamannya. Ia juga berkampanye soal lingkungan hidup, khususnya soal penebangan hutan liar. Ia pun tak keberatan mengulurkan tangan untuk pasien dengan penyakit berat, seperti kanker, ginjal, bisu, lumpuh. Pernah, kata Gus Wahid, ia menolong penderita yang telah sakit jiwa selama 15 tahun. "Alhamdulillah, dua minggu setelah diminumkan kelapa muda yang saya doakan, pasien gila itu sembuh," katanya. Namun, tidak semua kalangan menerima tradisi di kalangan NU itu sepenuhnya. Asymuni Abdurrahman, 60 tahun, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammmadiyah, berpendapat memang bisa dibenarkan apabila seseorang mendoakan orang lain. "Misalnya, ada orang sakit yang minta didoakan, ya kita mesti mendoakan, karena disunahkan begitu," ujar dosen IAIN itu. "Yang tidak boleh, bila orang atau kiai yang memberikan doa itu kemudian dipuja." Asymuni juga berpendapat, pertolongan Allah bisa diminta secara langsung, tanpa perantara ( wasilah/tawasul). "Dalam situasi darurat, pertolongan Allah akan selalu datang apabila kita dekat padaNya," kata Asymuni. Ia memberi contoh pengalamannya sendiri. Suatu malam ia lupa membawa kunci rumah. Asymuni mencari alat lain sekenanya untuk mengorek lubang kunci. Ajaib, pintu bisa terbuka. "Pada kondisi tidak terdesak, saya tak dapat melakukannya," katanya. Hal-hal ajaib semacam ini, menurut Asymuni, bukan hal yang luar biasa. Jadi, menurut dosen IAIN itu, tak ada alasan menjadikan keajaiban pangkal pengkultusan individu para kiai. Kecenderungan ini menjurus ke perbuatan syirik khofi (ringan). Termasuk pemujaan terhadap tokoh yang disebut minal aulia. "Mereka boleh dihormati dalam batas wajar saja, sebagai guru dan orang tua," katanya. Ia teringat bila ada tamu bertandang ke rumah Kiai A.R. Fakhruddin, tokoh terkenal dari Muhammadiyah, si tamu paling hanya salaman dan ngobrol. "Tak perlu mencium tangan. Dipanggil dengan sebutan kiai saja, ia tak suka," katanya. Dr. Zamakhsyari Dhofier, direktur perguruan tinggi agama Islam Departemen Agama, cenderung mengambil pendekatan kepemimpinan dalam melihat ketokohan para kiai. "Itu bagian dari leadership, kekuatan luar biasa berkaitan dengan upaya membangun citra kepemimpinannya," kata Dhofier, yang mengambil gelar doktor di Australia dengan disertasi Tradisi Pesantren. Maka, kata Dhofier, mereka sengaja menimbulkan kesan mempunyai ilmu laduni, kemampuan luar biasa yang diperoleh tanpa belajar. "Kampanye" ini seperti dandang ketemu tutup, khususnya karena banyak orang punya problem akut tanpa jalan keluar. Terlepas dari perbedaaan pendapat, tradisi kebatinan tampaknya masih akan berumur panjang di kalangan tertentu. "Sampai lima puluh tahun ke depan, tradisi primordial, yang mengutamakan penghormatan terhadap orang tua dan leluhur, akan mengarah langsung pada kebatinan dan kharisma para kiai," kata Dr. Simuh. Ini barangkali realitas sosial, bukan agama. Bunga Surawijaya dan Wahyu Muryadi ( Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus