Mengapa Kapten Dos Santos tak menunggu sampai adanya tembakan peringatan? Sebagian penumpang Lusitania Expresso senang, tapi banyak yang lesu, termasuk bekas Presiden Portugal. Misi Rp 3 milyar yang gagal? Lusitania Expresso tibatiba saja menjadi loyo. Berangkat dari Darwin, Senin pukul 19.15 waktu sana, dengan semangat tinggi dan diiringi tepuk sorak sekitar 500 orang pengantar, si Portugis Ekspres itu seperti kehilangan nyali ketika hanya tinggal beberapa puluh meter dari batas 12 mil wilayah perairan Indonesia. Maklumlah, Lusitania Expresso saat itu sudah diapit ketat di kanan-kiri lambungnya dalam jarak sekitar satu kilometer oleh dua kapal perang, KRI Yos Sudarso dan KRI Ki Hajar Dewantara. Agak jauh di buritan, kapal komando KRI Teluk Banten tampak membuntuti feri yang biasanya dipakai mengangkut mobil ini. Masih ada empat kapal Indonesia yang juga siap bertindak kalau saja LE "nyelonong" masuk lebih dalam. Operasi "Aru Jaya" memang digelar Armada Timur TNIAL untuk mencekal LE yang ingin berlabuh di pelabuhan Dili. Setelah dua kali KRI Yos Sudarso mengirim peringatan, "Kapal Anda sekarang berada di perairan Indonesia, saya perintahkan Anda untuk segera meninggalkan wilayah ini...," LE pun putar haluan 150 derajat kembali ke arah Darwin. Lalu berlayar pelan, mulus, dan tanpa "perlawanan". Tak ada peserta misi penabur bunga ke Pekuburan Santa Cruz itu yang nekat nyebur ke laut seperti isu-isu yang beredar sebelumnya. Termasuk itu sekoci-sekoci yang konon mau digunakan oleh kaum pengunjuk rasa untuk mencapai pantai Dili. Dari pihak Indonesia, memakai istilah para awak kapal, tak ada sebuah "lemper" alias torpedo pun yang sempat dikirim. Bahkan pagar betis Indonesia di laut, yang bersemboyan Jalesveva Jayamahe (Di laut kita jaya), berhasil untuk menghalau LE hanya lewat kontak radio. Apa yang terjadi di atas kapal LE? Koresponden TEMPO di Australia, Dewi Anggraeni Fraser, yang mengikuti pelayaran itu melaporkan sebagai berikut: Rabu, 11 Maret, pukul 07.07 waktu Australia Utara (06.07 WITA) "Laut tenang dan berkilat-kilat bagaikan kaca. Kapal-kapal perang Indonesia tampak angker. Banyak yang tiba-tiba merasa takut. Ruang kapten di atas haluan kapal dikerumuni peserta misi dan wartawan berbagai negara. Mereka semua sedang menunggu hasil percakapan Kapten Luis dos Santos dengan Komandan KRI Yos Sudarso. Pesan terakhir yang terdengar disampaikan dalam bahasa Inggris adalah: "Kalau Anda tidak segera membalikkan kapal, kami akan memaksa Anda." Di dalam ruangan, bekas Presiden Portugal Antonio Ramalho Eanes dan seorang pastor yang selalu berada di dekatnya kelihatan ikut mendengar percakapan kapten kapal. Eanes tak banyak berkata, hanya memperhatikan dan menanyakan apakah ada komunikasi. Kapten Santos rupanya tak berniat mengulur waktu. Dia menjawab, "Kami akan memutar haluan." Maka feri tua Lusitania Expresso pun berbalik ke arah tenggara, arah Kota Darwin." Keputusan ini agaknya dipandang oleh beberapa peserta misi sebagai "kontroversial". Begitu Kapten Dos Santos keluar dari kabinnya, dia segera diserbu para aktivis dan wartawan, dengan pertanyaan, "Mengapa Anda memutar haluan? Apa tidak ada kemungkinan bernegosiasi?" Jawab Kapten Dos Santos, "Kami tak bisa main-main dengan kapal perang. Dan jangan meremehkan orang-orang di kapal itu. Mereka bersungguh-sungguh." Wajah sebagian aktivis dan wartawan -- terutama yang berasal dari Portugal, Amerika Serikat, dan Kanada -- sangat muram. Mereka merasa Lusi terlalu cepat memutuskan untuk balik badan ke Darwin. Sebagian aktivis dari Portugal, tadinya ingin agar paling tidak terdengar sebuah tembakan meriam dari kapal perang RI, yang tentu bisa mereka rekam, sebelum sang kapten memutuskan untuk balik haluan. Namun, sebagian besar wartawan agaknya gembira dengan keputusan Dos Santos. Terutama wartawan televisi Inggris dan Australia. Awak televisi Australia dari Channel 7, Channel 8, Channel 10, dan ABC rupanya sudah menyewa helikopter yang siap sedia di Darwin. Heli ini akhirnya memang menjemput film liputan mereka di kapal LE sembari mengedrop sepeti minuman Coca-Cola dingin. Kalau LE sampai digiring kapal perang RI ke salah satu pelabuhan Indonesia, film liputan para awak tivi itu tentu saja gagal ditayangkan dengan segera alias kehilangan "kehangatan". Para wartawan itu rupanya tahu benar bahwa Expresso tak akan memasuk wilayah Indonesia. Toh bukan berarti tak terjadi debat sebelum keputusan mundur ini diambil. Agaknya, banyak pihak di kapal itu yang mempunyai berbagai kepentingan yang saling bertentangan. Sebagian penumpang, kebanyakan dari Portugal, berkeras agar misi ini bisa sampai di Dili, apa pun risikonya. "Mati pun saya mau asal bisa menabur bunga di pemakaman Santa Cruz," tutur seorang mahasiswa Portugal kepada wartawan TV Channel 9. Mereka yakin akan bisa bicara dengan kapten kapal perang Indonesia, andai kata Lusitania Expresso dihadang masuk. "Kami akan bilang ini perairan Portugal, bukan punya Indonesia," ujar seorang mahasiswa Portugal. Bak gayung bersambut, beberapa mahasiswa lain dari Italia, Jerman, dan Kanada, mendukung. Sebagian peserta yang tak bersuara sekeras para mahasiswa tadi setuju untuk kembali. Tapi mereka menyayangkan begitu cepatnya si kapten "menyerah". Donaciano Gomes, pemuda asal Tim-Tim yang kini menetap di Lisabon, tergolong moderat. Gomes, yang mengaku lama tinggal di Bali, berharap agar Lusitania berhenti saja ketika kapal perang RI memperingatkannya. "Andai kata ada tembakan peringatan, saya yakin tak akan diarahkan ke kapal ini. Biar saja kapal ini berhenti berjam-jam, sampai awak kapal Indonesia mendatangi kita," tukas Gomes, yang rupanya penasaran dengan keputusan Santos. Toh dari 75 peserta yang berasal dari 21 negara, termasuk 28 orang Portugal, banyak juga yang setuju agar misi ini menghindar dari tindakan yang bisa memancing kekerasan. Mereka menilai keputusan untuk kembali ke Darwin adalah terbaik. Ini didukung oleh sekitar 30 wartawan dari luar Portugal. Sekalipun begitu, sebagian besar dari 26 wartawan Portugal yang ikut kapal sejak awal merasa kecewa karena Lusitania ternyata tak berkutik sedikit pun. Beda pendapat di kapal tua itu belum tercium jelas ketika jangkar diangkat dari pelabuhan Darwin, Senin malam pekan lalu. Bahkan, setelah hampir tiga jam berlayar, suasana di dalam Lusitania masih terasa bagai dalam sebuah kapal pesiar. Koresponden TEMPO Dewi Anggraeni sempat mencatat awal pelayaran ini sejak Senin, 9 Maret, pukul 21.45 waktu Australia Utara (AU), yang berbeda sejam dengan WITA, sebagai berikut: Kapal bergerak dengan kecepatan 10 mil per jam. Sebagian besar peserta berada dalam ruang duduk 15 x 12 meter, berkarpet merah anggur, dilengkapi dua televisi. Makan malam sudah disiapkan. Menunya: sop tomat, spaghetti bolognaise, dan semangka. Beberapa peserta memetik gitar, mengalunlah lagu-lagu Portugis dan Amerika. Malamnya, peserta tidur sekenanya. Ada yang tergeletak di kursi, di meja, dan di lantai. Makin jauh berlayar, mulai muncul debat tentang sampai di mana misi ini akan berjalan. Ada yang nekat ke Dili. Ada yang sampai batas 12 mil, kalau kapal perang RI datang menghadang. Para wartawan pun berbeda pandangan soal peliputan misi itu. Wartawan TV dan radio ABC, misalnya, gencar menyiarkan bahwa misi Lusitania Expresso ini bermaksud akan mempermalukan pemerintah Indonesia. Beberapa wartawan lain kesal melihat ulah orang-orang ABC itu. "Saya harap mereka tak pernah lagi mengucapkan kata-kata mempermalukan," kata seorang wartawan. Kasak-kusuk makin santer, sampai akhirnya Kapten Luis dos Santos mengumpulkan penumpang kapalnya, termasuk wartawan. Selasa, 10 Maret, pukul 10.10 AU: Jumpa pers selama beberapa menit. Cuaca terang. Kapal berlayar ke arah Barat Laut. Diperkirakan, sekitar pukul tujuh pagi esok Lusitania akan sampai di ujung sebelah timur Pulau Timor, persisnya di Pulau Yako. Dari Dili, kapten kapal memperkirakan jaraknya 125 mil. Ada yang bertanya, bagaimana kalau pemerintah Indonesia memperlakukan Lusitania seperti yang dilakukan pemerintah Australia terhadap para nelayan gelap Indonesia. Kapten Santos tak bersedia menjawab pertanyaan itu. Dia hanya mengumumkan, kontak radio dengan Indonesia sudah ada. Kapten juga memberitahukan, kapal diperlambat agar sampai di tujuan waktu matahari terbit. Pukul 12.00 AU: Ada latihan untuk mengatasi keadaan darurat. Tiap penumpang memakai satu pelampung. Ditentukan juga lifeboat (sekoci penyelamat) mana yang harus dipakai kalau terjadi serangan. Setelah acara melelahkan ini, makan siang dihidangkan. Di kapal Lusitania ada beberapa penumpang istimewa. Selain bekas presiden Portugal Antonio Ramalho Eanes, ada Shambu Chopra. Dia sekretaris organisasi hak asasi manusia India. Chopra sudah diimbau pemerintahnya agar tak ikut. Tapi, menurut dia, "Ini adalah misi damai, tanpa kekerasan dan berdasarkan kemanusiaan. Dan India selalu membela perdamaian, hak asasi, tanpa kekerasan." Dengan tujuan seperti itu, Chopra menegaskan tak menghendaki adanya konflik dengan kapal perang Indonesia. Pukul 17.30 AU: Latihan darurat lagi. Disambung dengan rapat untuk semua penumpang. Rui Marques, 30 tahun, pemimpin redaksi Forum Estudante, sekaligus ketua panitia, sekali lagi membeberkan strategi misi ini. "Setelah masuk batas 200 mil zone ekonomi eksklusif Indonesia malam ini, kemungkinan pertemuan dengan kapal patroli Indonesia harus dipertimbangkan," kata Marques. Pimpinan misi itu menegaskan, putusan terakhir ada di tangan nakhoda. Sebab, nakhodalah yang bertanggung jawab atas keselamatan penumpang. Dalam kontrak dijelaskan, nakhoda kapal adalah pengambil keputusan terakhir. Jadi, menurut Marques, kalau tidak diizinkan oleh Indonesia, Lusi tidak akan jalan terus. Apa yang akan diperbuat? Skenario pertama, pulang ke Darwin. Skenario kedua, berhenti satu sampai dua jam, baru kembali ke Darwin. Rui Marques wantiwanti, seandainya Lusitania dinaiki awak kapal perang Indonesia, peserta misi dilarang berbuat apa pun. Tidak boleh menyanyi, bisik-bisik, atau apa pun. Kalau terjadi penahanan, tak boleh ada perlawanan. Agaknya, Marques tahu pasti feri itu akan dihadang kalau mencoba masuk perairan Indonesia. Ketika ditanya seorang penumpang apakah Lusi akan mencoba terus masuk setelah berhenti satu dua jam, Rui menjawab tegas, "Tidak." Dengan kata lain, agaknya dari awal sudah ada niat untuk melayarkan Lusitania Expresso hanya sampai di batas 12 mil -- merupakan wilayah perairan Indonesia -- yang masih diperbolehkan kapal perang Indonesia. Namun, politikus Antonio Ramalho Eanes rupanya masih terus mengeluarkan pernyataan bahwa misi ini harus sampai di Dili. Ini didukung sebagian besar wartawan Portugal dan aktivis dari beberapa negara. Sampai pukul 21.00 AU Selasa itu, Lusitania seperti hendak menuruti kemauan Jenderal Eanes. Harapan ini mulai luntur tak lama setelah di tengah kegelapan yang mencekam, tiba-tiba muncul sorot lampu di kejauhan. Makin lama, sorot lampu tadi makin besar dan kemudian kelihatan membayangi Lusitania dalam jarak dekat, sekitar satu kilometer. Setelah berbagai perkiraan dilontarkan, misalnya menyebut itu lampu sorot kapal nelayan, akhirnya Kapten Santos mengakui: itulah kapal perang jenis fregat. Rabu, 11 Maret, pukul 07.00 AU: Semalaman tak ada penumpang yang benar-benar tidur. Orang sibuk memperhatikan dari jendela feri, sorotan lampu yang terang. Dan setelah matahari terbit, jelas yang membayangi sejak malam itu adalah fregat milik TNI-AL. Malah, ada dua fregat yang mengapit si Lusi. Tak ada yang pasti, apa yang akan terjadi. Saya dengar kontak radio sedang berlangsung. Kemudian semua saluran komunikasi dimatikan. Begitulah, tak lama setelah itu, keputusan diambil: balik ke Darwin. Sesungguhnya, ada sedikit "perlawanan". Sekitar lima mil dari batas 12 mil Indonesia, dengan posisi masih diapit dua fregat RI, mendadak kapal Portugal itu berhenti. Kapten Santos memberitahukan lewat radio, sistem pendinginnya rusak. "Ketika itu memang ruangan jadi makin panas, minuman juga tak dingin," begitu laporan wartawan TEMPO dari Lusitania. Namun, tak jelas benar apakah sistem pendingin benar-benar rusak atau sekadar taktik mengulur waktu. Sebab, ketika itulah pimpinan misi mengaku mengirim fax ke alamat Sekjen PBB di New York. Isinya, konon, permintaan kepada PBB agar mengirim pesan supaya pemerintah Indonesia, khususnya Angkatan Laut, bertindak bijaksana menangani Lusi. Kabarnya, disebut-sebut agar permintaan itu disampaikan saja kepada Dubes RI di Australia Sabam Siagian. Soal kontak dengan markas PBB itu ternyata dibantah oleh Kepala Juru Bicara Sekjen PBB Francois Guiliani. "Saya tak tahu-menahu soal itu," katanya. Dubes Siagian juga merasa tak pernah dihubungi PBB untuk mengimbau Jakarta. Jadi, barangkali, cerita soal adanya fax ke Sekjen PBB itu hanyalah "bumbu penyedap" yang diharapkan bakal menambah lengkap cerita perjalanan ini. Itu agaknya terbaca oleh para wartawan bukan Portugal. Mereka beranggapan, kalau toh feri ini tak hendak masuk wilayah RI, cepat-cepatlah kembali ke Darwin. Kalau berlama-lama dengan cara berhenti dan mematikan mesin segala, mereka khawatir hasil liputan mereka tak bisa segera ditayangkan. Desakan dari para wartawan ini pun makin keras untuk kembali. Adalah Antonio Ravara dari Channel 9 yang paling keras. Dia beranggapan, kalau Lusitania masih akan menunggu jawaban Sekjen PBB -- kalau toh kontak itu pernah dibuat -- artinya kapal harus menunggu sekitar 12 jam lagi. "Berita kami akan jadi basi," teriak Ravara kepada ketua panitia. Kalau pelayaran ini tidak berbalik dalam setengah jam, bukan saja pelayaran Anda yang siasia karena tak akan ada liputan, tapi kami akan menyiarkan berita negatif. Saya tidak main-main." Banyak wartawan Portugal kesal dengan sikap wartawan Australia, juga dari Inggris. Manuel Acacio, yang mewakili media TSF Portugal, menyalahkan pers di luar Portugal atas gagalnya misi mereka. Begitu juga sejumlah wartawan Portugis, yang seperti halnya Acacio, memang anti-Indonesia. Namun, ada juga wartawan Portugal yang lebih suka bersikap tenang, seperti Rui Araujo, 38 tahun, dari Radio Televicion Portugal II. "Saya di sini untuk membuat berita dan melaporkannya. Saya tak punya kepentingan politik," katanya. "Saya juga tak setuju dengan misi ini, karena hanya akan menimbulkan harapan-harapan kosong bagi rakyat Tim-Tim." Menurut dia, Portugal hanya punya tiga kapal selam. "Jadi, saya kira tak akan sanggup mengurus Tim-Tim yang begitu jauh. Dan pendapat umum di Portugal sekarang ini adalah antikolonialisme," kata wartawan yang pernah ikut program Nieman Fellowship di Harvard University, AS, pada 1991, dan pemenang hadiah jurnalistik Portugal pada tahun yang sama. Yang terjadi kemudian, anggota misi berkumpul di buritan, lalu menabur bunga ke laut, didahului beberapa sambutan. Rui Marques, dengan air mata meleleh, berkata, "Kami sudah melakukan apa yang sanggup kami lakukan. Kami telah menempatkan Tim-Tim dalam agenda internasional." Tapi kapten kapal Dos Santos menyatakan pada TEMPO, "Tujuan politik misi ini tidak berhasil." Pukul 08.50 AU: Saya menjumpai Jenderal Eanes di dek dan menanyakan komentarnya mengapa feri ini segera balik ke Darwin. Dia kelihatan sedang murung, sekalipun mencoba untuk bersikap ramah. "Saya bukan pemimpin misi ini, jadi tak berwenang bicara," jawabnya, lalu pergi. Semalam, di dek, saya ketemu Eanes lagi. Dia menyangkal bahwa Portugal tertarik lagi pada Tim-Tim karena adanya perjanjian Celah Timor yang antara lain mengatur pembagian wilayah minyak di sana. "Portugal datang karena benarbenar ingin menolong rakyat Timor. Portugal ingin berdialog dengan pemerintah Indonesia bersama wakil-wakil dari Tim-Tim," katanya. Cuma itu yang keluar dari mulut Eanes. Media Australia dan Inggris menduga, kegiatan Eanes adalah bagian dari kampanyenya untuk mencalonkan diri lagi sebagai presiden Portugal pada 1996. Rui Araujo tak membantah adanya dugaan begitu, sekalipun tak sepenuhnya membenarkan. Tapi adalah Eanes yang rupanya sejak kini sudah menjadi pilihan Juan Pedro, wartawan dari LUSA Portugal. "Sudah pasti saya akan mendukung dia," kata Pedro. Toh bukan berarti tak ada langkah disusun untuk Tim-Tim. Ketika Lusitania hampir keluar dari wilayah ekonomi eksklusif Indonesia, misi itu berencana membuat semacam "daftar tindakan" (action list) sebagai aksi lanjutan untuk TimTim. Diharapkan, Juni mendatang sudah didapat sejumlah daftar susunan langkah apa yang akan ditempuh untuk melanjutkan aksi. Tersebutlah 7 Desember, saat masuknya Indonesia ke Tim-Tim, sebagai tanggal untuk melakukan aksi. Atau 12 November, untuk mengingat insiden Dili, ujar peserta lain. Peserta misi diminta kesediaannya untuk bergabung dalam aksi nanti. Pukul 17.30 AU: Pelabuhan Darwin sudah tampak di depan. Tak lama kemudian, kendati sangat capek dan pusing, saya bergegas turun dari kapal Lusitania. Misi Lusitania berakhir. Gagalkah misi ini? Mario Crespo, kepala biro televisi Portugal di Washington, D.C., gusar. "Secara pribadi saya kecewa. Mereka harusnya lebih ngotot. Ini benarbenar sebuah pertunjukan yang buruk. Masyarakat Portugal banyak yang kecewa dengan peristiwa ini. Atau barangkali saya terlalu berharap banyak dari misi itu," katanya. Liputan sekitar misi itu pun terasa dingin. Koran berpengaruh Washington Post hanya menulis berita singkat tentang keberangkatan Lusitania. Harian Christian Science Monitor memuat berita kecil tentang ditolaknya Lusitania masuk perairan Indonesia, Kamis pekan lalu. Jaringan televisi CNN, yang urung ikut berlayar, juga menayangkan berita pendek. "Itu pun disiarkan pukul sepuluh pagi, bukan saat prime time," ujar Mario Crespo pada Kepala Biro TEMPO di Washington, Bambang Harymurti. Dari Negeri Belanda, koresponden TEMPO Asbari N. Krisna melaporkan betapa tenggelamnya berita Lusitania Expresso ditindih oleh gencarnya pertempuran di Nagorno Karabakh atau pengiriman pasukan PBB ke Yugoslavia. Hanya stasiun televisi RTB 4, TV komersial yang pusatnya di Luksemburg, yang menyiarkan berita singkat Lusitania Expresso. Berita itu digabung dengan potongan gambar ketika meletusnya insiden Dili. Di Kanada, yang sempat menangguhkan bantuannya kepada Indonesia gara-gara peristiwa Dili, cuma koran lokal Ottawa Citizen yang menurunkan berita satu kolom tentang Lusitania. Sementara itu, di Australia, tajuk rencana koran-koran yang biasanya "galak" pada Indonesia, tak lagi menggebu-gebu. "Yang penting juga, pernyataan duta besar Indonesia dimuat secara wajar, utuh, dan tak terpotong-potong," kata Dubes Sabam Siagian menunjuk The Australian dan The Sydney Morning Herald edisi Kamis lalu, sehari setelah Lusitania merapat kembali di Darwin. Namun, Dubes Siagian juga melihat, ada saja koran Australia yang memuat sebuah karikatur yang menggambarkan sebuah kapal kecil dikepung tiga kapal besar dengan moncong meriam siap membidik. Tentang opini seolah-olah Indonesia seperti menghalau semut dengan meriam ini, Dubes Siagian berkomentar, "Dari rekaman langsung helikopter yang disewa pers di Australia, saya melihat gerak pihak TNI-AL kelihatan profesional dan sejalan dengan peraturan internasional." Barangkali, sikap Australia yang sejak awal memang keberatan dengan hadirnya Lusitania di Darwin patut dicatat. Dubes Australia di Indonesia, Philip Flood, pekan silam sempat mengecam misi Lusitania sebagai, "Sebuah provokasi untuk menjengkelkan pemerintah Indonesia dan sama sekali tak menyelesaikan problem yang ada." Flood agaknya merasa tak ada lagi soal yang "mengganjal" hubungan antara Indonesia dan Australia. Bahkan ia akan berada sebulan lamanya di negerinya untuk menyiapkan kunjungan perdana menteri baru Australia Paul Keating ke Indonesia, sekaligus menjenguk ibunya yang sedang sakit. Toh Lusitania bukan tak memetik hasil dari misi ini. Paling tidak, kapal yang sudah setahun mondok di dok itu jadi laris. Kabarnya, dari Darwin kapal itu akan terus ke Kepulauan Karibia untuk mendapatkan kontrak kerja baru. Dan, barangkali, bisnis di Karibia itulah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa Lusitania harus segera bertolak dari batas wilayah Indonesia. Soalnya, kata sebuah sumber, kontrak dengan Karibia itu sudah tercatat dalam perusahaan asuransi terkenal Lloyds of London. Agaknya, pemilik kapal tak akan membiarkan Lusitania Expresso terlibat konflik yang bisa-bisa membuat premi asuransinya naik beberapa kali lipat. Ini memang pertimbangan bisnis biasa. Malangnya, Lusitania kini ditahan di pelabuhan Darwin, karena kapal Endeavoar yang juga dimiliki perusahaan Contramar Portugal, dituding masih berutang sekitar US$ 70.000 kepada Empressa Nacional Elcano De La Marina, sebuah pelayaran swasta Spanyol. Dan wakil dari Contramar, Carlos Cabecas, sudah pula terbang dari Lisabon untuk menyelesaikannya. Diperkirakan, pekan ini Lusitania sudah bisa berlayar lagi. Apa boleh buat, cerita misi Lusitania Expresso, seperti sudah diduga semula, ternyata memang berakhir dengan suatu antiklimaks. Tak ada sebuah tembakan pun menyalak, dan perjalanan yang menelan lebih dari satu setengah juta dolar Amerika itu pun kempis sebelum mencapai pulau tujuan. Dewi Anggraeni (laporan dari Lusitania Expresso) dan Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini