Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGIN malam bertiup di Pondok Pesantren Assalafiyyah Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, awal Juni lalu. Sekitar 200 santri perempuan duduk bersila di ruangan pondok menghadap ke kiblat. Para remaja itu mengenakan pakaian beraneka motif. Sebagian berbahan denim. Ada pula yang memakai baju batik. Gelap baru saja datang. Hawa dingin menembus kulit. Mereka menutupinya dengan sweater. Tak jauh dari sana, sawah terhampar luas. Suara kodok sesekali terdengar.
Malam itu hari keenam puasa Ramadan 1437 Hijriah. Di hadapan para santri, Irwan Masduqi bersila bertilam sajadah. Kopiah hitam menutupi kepalanya. Wajahnya bersih, tanpa jenggot dan cambang. Hari itu, sang kiai mengajarkan pemahaman tafsir surat Al-Kafirun. "Surat ini kerap dipakai kelompok Islam garis keras untuk menyerang golongan lain," kata Irwan, Sabtu pekan kedua Juni lalu.
Pesantren Assalafiyyah Mlangi didirikan Haji Masduqi pada 1936. Lokasinya tak jauh dari Masjid Pathok Negoro Mlangi, milik Keraton Yogyakarta. Pondok ini dilanjutkan oleh putra Masduqi, yakni Haji Suja'i Masduqi, seorang mursyid, guru spiritual tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Penganut tarekat ini mengajarkan cinta dan kasih sayang. Setelah Suja'i wafat, pondok diwariskan kepada anaknya, Irwan Masduqi. "Bapak saya menghormati siapa saja, termasuk yang tak beragama Islam," ujar pria 33 tahun ini.
Pondok Assalafiyyah memiliki 750 santri laki-laki dan perempuan. Pondok ini aktif memberi perspektif toleransi dan keberagaman. Santrinya berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar dari Jawa. Irwan, lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, menerjemahkan kata per kata dalam surat itu ke bahasa Jawa dan Indonesia. Banyak yang memahami ayat ini setengah-setengah tanpa melihat asbabun nuzul atau sebab turunnya.
Irwan menerangkan latar belakang turunnya surat Al-Kafirun. Kala itu, umat Islam diintimidasi agar pindah agama oleh kelompok lain. Kelompok itu meminta Nabi Muhammad selama tiga hari menyembah tuhan mereka. Tiga hari berikutnya, giliran mereka yang bersedia menyembah tuhan yang diyakini Muhammad. Menurut Irwan, saat itulah turun ayat yang menyatakan Muhammad tak menyembah tuhan mereka. Sebaliknya, Muhammad pun tak memaksa kelompok lain. "Jadi ayat ini bukan untuk mengkafirkan kelompok lain," ujar Irwan.
Malam itu, Irwan juga menjelaskan makna kalimat bismillahirrahmanirrahim. Setelah mengucapkan kalimat ini, kata Irwan, seharusnya umat Islam menyebarkan pesan damai dan kasih sayang. "Jika tetap menyakiti orang lain, bismillah itu hanya di mulut, tidak dalam perilaku," ujarnya.
Di tengah mengaji, santri dari Aceh, Nurul Kholidah, mengacungkan tangan. Ia bertanya mengapa teroris kerap melakukan kejahatan dengan mengatasnamakan Islam. Santri lain, Asna Lutfiyah dari Cilacap, mengajukan pertanyaan: "Mengapa sebagian orang Amerika Serikat membenci Islam?"
Menjawab itu, Irwan menjelaskan bahwa fundamentalisme ada di semua agama. Terorisme lahir karena ada yang memahami agama hanya secara tekstual. Kondisinya memburuk karena dibalut kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. "Buat mereka, agama dipahami menjadi doktrin teror," katanya.
Irwan menjelaskan, memang ada warga Amerika Serikat yang mengidap fobia Islam. Alasannya, ada umat Islam yang menganggap demokrasi sebagai sistem kafir. Kondisi itu diperparah dengan serangan teroris yang mengatasnamakan Islam. Klaim inilah yang akhirnya memicu Amerika menyerang, misalnya, Irak dan Afganistan. "Padahal banyak orang Amerika yang baik. Tidak semuanya jelek," ujar Irwan.
Penghormatan Irwan terhadap toleransi terbaca dari poster Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di ruang depan rumah joglo miliknya. Di sebelah poster itu, terpasang bingkai bertulisan kutipan pernyataan peraih Nobel Perdamaian Martin Luther King: "No peace without justice". Di bagian dinding lain, terdapat lukisan papirus Mesir. Rak buku penuh dengan buku umum, Quran, dan kitab kuning rujukan pendidikan di pondok.
Irwan meluaskan pergaulan dengan mengikuti pendidikan di Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dia acap diundang berbicara tentang toleransi di berbagai negara, misalnya Sri Lanka dan Myanmar. Kepada Tempo, Irwan menunjukkan foto saat bersama pemuka Buddha Myanmar, Biksu Sandida, mendiskusikan perdamaian Rohingya.
Jam belajar di pondok ini berlangsung sejak pagi hingga malam. Pada pagi hari, diajarkan kurikulum layaknya pendidikan formal dari tingkat menengah pertama hingga atas. Pada petang hingga malam, santri belajar secara informal.
Pesantren ini juga menerima santri yang sedang kuliah. Di antaranya ada yang berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Jurusan Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tak aneh, para mahasiswa ini rajin menggelar seminar. Mereka membahas isu Partai Komunis Indonesia, buku berbahasa Arab tentang komunisme, dan tokoh kiri Libanon, Husayn Muruwwah. Pondok ini juga mengoleksi kitab yang membahas pemikiran kiri. Salah satunya dari tokoh kiri Mesir, Hasan Hanafi. "Kami berdiskusi buku kiri bukan untuk menjadi komunis, tapi untuk belajar, memahami, dan bisa bersikap toleran," ujar Irwan.
Periset pondok pesantren, Hamzah Sahal, menuturkan Pondok Assalafiyyah Mlangi menguatkan praktek toleransi yang merupakan tradisi lama pesantren. Ia tak memungkiri ada sejumlah pondok yang berdiri belakangan mengajarkan paham radikal. Hamzah mengatakan Irwan berusaha mempraktekkan kehidupan sosial yang plural di lingkungan pondok. Banyak mahasiswa dan tamu nonmuslim datang ke pondok ini, "Pondok dengan lingkungan santri yang homogen, yang terus membuka diri," ujar Hamzah. Shinta Maharani (Yogyakarta), W. Agus Purnomo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo