Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENATAP lembut satu per satu puluhan santri, Gus Reza berkisah tentang perempuan Yahudi buta yang saban hari mencaci Nabi Muhammad SAW. Kiai Haji Reza Ahmad Zahid—nama lengkap Gus Reza—menceritakan kisah itu kepada puluhan santri yang bersila di serambi masjid Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada hari ke-12 puasa, 17 Juni lalu. Kepada semua orang yang mendekat, kata Reza, perempuan pengemis yang tinggal di sudut pasar Madinah itu mengobral benci agar mereka tak mempercayai Muhammad. "Muhammad itu pendusta, tukang sihir," ujar perempuan itu seperti diceritakan Reza.
Muhammad tahu itu, tapi tetap menghampirinya tiap pagi dengan membawa makanan dan menyuapi nenek Yahudi tersebut. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut Nabi ketika melakukan hal itu. Hingga suatu ketika, Muhammad wafat dan ibu renta itu merasa kehilangan orang yang selalu memberinya makan. Sekian hari merindu, barulah perempuan itu tahu dari Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat Nabi, si penyuap adalah Muhammad yang dibencinya. "Kisah ini mengajarkan, Muhammad menghormati pembencinya dan orang yang beda keyakinan," kata Reza.
Hari itu juga, lelaki 36 tahun ini menceritakan bagaimana takzimnya Muhammad kepada tamunya dari Kerajaan Romawi yang beragama Kristen. Mengenakan syal dan songkok putih, kiai berwajah bersih ini bertutur tentang al-ukhuwah, persaudaraan. Perbedaan agama dan keyakinan tak harus membuat ikatan perkawanan porak-poranda. "Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Yang sama jangan dibeda-bedakan dan yang beda jangan disamakan," ujarnya.
Mengaji dengan sejuk merupakan ciri khas pondok yang berjarak dua kilometer ke arah barat dari Sungai Brantas itu. Seribu santri mengaji di salah satu pondok pesantren yang berada di lingkungan Lirboyo ini. Ada dua pondok lagi di lingkungan Lirboyo: Hidayatul Mubtadi'ein dan Ar-Risalah. Gus Reza merupakan pemimpin Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo. Dia adalah anak Kiai Haji Imam Yahya Mahrus (1948-2012).
Kakek Reza, Kiai Haji Mahrus Aly, adalah menantu Kiai Haji Abdul Karim, pendiri mula-mula Pondok Lirboyo pada 1910—sebelum akhirnya dikelola menjadi tiga gugus pondok itu. Kepengurusan Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah terbentuk pada 1 Agustus 1988. Sejak itu, ribuan santri dari hampir seluruh penjuru Indonesia menyelesaikan pendidikannya di pondok ini. Sikap toleran dan menghormati kemajemukan yang dipegang Reza merupakan buah dari pendidikan ayahandanya.
Kiai Imam Yahya adalah orang yang luwes dan bersahabat dengan semua golongan masyarakat, termasuk komunitas nonmuslim. Bahkan tak jarang dalam acara pesantren atau hari raya, pondoknya menerima kedatangan tamu dari komunitas nonmuslim. Imam Yahya juga dikenal cakap sebagai akademikus dan hingga akhir hayatnya menjadi Rektor Institut Agama Islam Tribakti, Kediri. Selain sibuk mengurus organisasi Nahdlatul Ulama, Imam Yahya aktif dalam Paguyuban Antar-Umat Beragama dan Forum Kerukunan Umat Beragama. "Saya diamanahi memimpin pondok ini dan menyampaikan ajaran beliau," kata Gus Reza.
Pengajaran nilai toleransi dan kemajemukan di pesantren sungguh menenteramkan di tengah mulai meriahnya ide dan tindakan yang antitoleransi, plus klaim kebenaran kelompok. Apalagi, pada Februari lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan setidaknya 19 pondok pesantren terindikasi mengajarkan radikalisme. Pondok "keras" itu ada di Cilacap, Lamongan, Lombok Utara, Ambon, Makassar, Poso, Jakarta, Cirebon, Ciamis, Solo, Serang, dan Aceh. Ini sesuatu yang sungguh mencemaskan di tengah ancaman terorisme dan radikalisme yang menghantui negeri ini.
Tentu jumlah pondok yang mengajarkan radikalisme tak seberapa dibandingkan dengan total hampir 28 ribu pondok pesantren yang tersebar di Indonesia, dengan hampir 4 juta santri. Apalagi radikalisme tak selalu menyebar dan diajarkan melalui pesantren. Menurut Kepala BNPT Komisaris Jenderal Tito Karnavian, ajaran radikalisme dan terorisme tumbuh subur melalui jejaring media sosial. "Kami mewaspadai penyebaran di Internet," ujarnya.
Sejumlah peristiwa kekerasan berlatar belakang intoleransi meluas di Indonesia dalam sekian tahun belakangan. Pelakunya kebanyakan menyuarakan gagasan radikalisme agama oleh organisasi kemasyarakatan atau kelompok berlatar belakang Islam. Aparat negara juga menjadi aktor dalam sejumlah kasus kekerasan. Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi juga dipaksa bubar. Setidaknya sepanjang 2015 terjadi 119 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, naik 23 persen dari tahun sebelumnya.
Di tengah berkembangnya radikalisme dan terorisme, kehadiran Pesantren Al-Mahrusiyah menjadi penting. Kementerian Agama mencatat, selain Al-Mahrusiyah, ada sejumlah pondok yang memiliki perhatian pada isu toleransi dan pluralisme. Anggota staf khusus Menteri Agama, Hadi Rahman, menyatakan di Cirebon, misalnya, ada Pondok Pesantren Kebon Jambu yang diasuh Nyai Hajah Masriyah Amva.
Ada pula Pesantren Baitul Hikmah, Waikabubak, Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang diasuh Pua Monto Umbu Nay, putra asli Sumba. Hadi Rahman menggambarkan Baitul Hikmah sebagai pondok yang dikelilingi masyarakat yang menganut animisme dan masyarakat beragama Katolik. "Kiai pondok merangkul seluruh masyarakat untuk bergotong-royong. Pondok dibangun berdasarkan kolektivitas umat Islam dan warga nonmuslim di sekitarnya," kata Hadi Rahman.
Pendidikan toleransi dan kemajemukan juga diajarkan di Pondok Pesantren Nurul Haramain di Desa Lembuak, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang diasuh Tuan Guru Haji Hasanain Juaini, 52 tahun. Ia penerima penghargaan Ramon Magsaysay 2011. Hasanain terpilih karena peduli kepada masyarakat dengan basis pendekatan pendidikan pesantren serta kreatif mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender dan kerukunan beragama. Dia juga bergerak sebagai pelestari lingkungan serta melibatkan masyarakat dan anak muda dalam komunitasnya.
Di Yogyakarta, ada Pesantren Assalafiyyah Mlangi. Ada pula Pondok Pesantren Nurul Ummahat di Kotagede. Pondok yang diasuh Abdul Muhaimin ini memiliki misi merajut kedamaian lintas agama. Menurut Muhaimin, Al-Quran menyajikan banyak kisah dramatis eratnya hubungan muslim-kristiani. "Ini menunjukkan sebenarnya tidak pernah ada masalah antara Islam dan Kristen," ujar Muhaimin.
Sejak 1990-an, Kiai Haji Muhaimin membuka pintu pesantren asuhannya bagi semua pemeluk agama. Mereka datang dari aneka latar belakang, misalnya pemuka agama Buddha, Katolik, Kristen, dan Hindu. Pondok ini pernah dikunjungi tamu dari 70 negara, termasuk komunitas agama dari Palestina dan utusan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Muhaimin risau terhadap pengajaran agama Islam dengan cara doktrin dan terfokus pada isu teologis. Padahal situasi saat ini menuntut Islam terbangun dalam bingkai ide-ide humanis dan etis. Dia berdalil, "Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia." Jadi tujuan utama risalah Muhammad adalah menyempurnakan aspek etis kehidupan manusia.
Gus Reza dari Lirboyo juga cemas terhadap tumbuhnya paham terorisme dan radikalisme ke dalam pesantren. Menurut dia, radikalisme tumbuh karena lemahnya pemahaman kemajemukan. Aliran radikal ini, kata Gus Reza, masuk ke pemikiran yang mengatasnamakan Islam. Mereka kemudian membangun lembaga untuk mentransformasikannya kepada umat Islam. "Sehingga ada pesantren yang mencetak kader militan teroris dan radikalis," kata Reza.
Irwan Masduqi dari Pondok Pesantren Assalafiyyah Mlangi, Yogyakarta, setali tiga uang dengan Reza. Pemberian penghargaan terhadap toleransi dia terapkan secara ketat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saat menguji calon pengajar santri. Bagi calon pengajar yang pikirannya tertutup, pesantrennya bakal berupaya membuka pikiran mereka. Dia mengibaratkan pikiran saklek seperti orang buta yang hanya memegang satu bagian tubuh unta. "Dia mesti meraba semua bagian agar bisa mendeskripsikan unta dari berbagai sudut. Begitu pula Islam," kata lulusan Pondok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur, ini.
Pemahaman teologi lembut Nyai Hajah Masriyah Amva dari Pondok Pesantren Kebon Jambu tak berhenti pada keberagaman, tapi melebar ke pemahaman isu gender. Kepemimpinan perempuan bukan sekadar ide atau debat. Malah ia sendiri yang memberi contoh dengan memimpin pondok pesantren. Tak lazim memang. "Saya tak memakai baju pluralisme atau isu gender, tapi saya mencontohkan dengan tindakan sehari-hari," kata Masriyah.
Tiga puluhan santri putri duduk berkumpul di ruang depan rumah pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, Kiai Haji Abdul Muhaimin. Sambil duduk bersila, mereka meriung bergerombol dan berdempetan membentuk setengah lingkaran. Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 16.15, Ahad, 12 Juni lalu. Bersandar pada sebuah meja kecil di hadapan para santrinya, Muhaimin memimpin pengajian rutin itu.
Tahun ini, selama bulan puasa, para santri Nurul Ummahat khusus mengaji kitab Al-Arbain al-Aziziyah, yang harus ditamatkan dalam 20 hari. Setiap santri membawa kitab itu, pulpen, dan satu buku catatan ketika mengikuti pengajian. Al-Arbain al-Aziziyah memuat pembahasan 41 hadis yang bercerita tentang tanda-tanda zaman menjelang kiamat datang.
Di bagian sampul, tertera keterangan bahwa pengarangnya seorang ahli hadis asal Maroko, Syekh Abdul Aziz Ibnu Muhammad Ibnu as-Shiddiq al-Ghumari. Kitab tipis itu ditulis ulang oleh ulama lokal, Sayyid Ali bin Umar, dan diterbitkan pesantren salaf di Kecamatan Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah. Saat Tempo menyambangi pengajian itu, Muhaimin sedang membaca hadis-hadis di kitab Al-Arbain al-Aziziyah dengan menerjemahkan kata demi kata dari bahasa Arab ke Jawa. Setelah itu, lelaki kelahiran 13 Maret 1953 ini menjelaskan maksud isi kitab dengan bahasa Indonesia kepada santrinya, yang mayoritas berstatus mahasiswa.
Di antara hadis yang dibahas Muhaimin, misalnya, ada yang bermakna, "Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah berkata: Tidak akan datang hari kiamat sampai banyak orang menyatakan kekafirannya secara terang-terangan…." Kepada para santrinya, Muhaimin menjelaskan, hadis itu tak bisa dipahami secara tekstual sebagai ramalan akhir zaman.
Muhaimin menyimpulkan, benang merah hadis tentang tanda kiamat mengingatkan umat Islam agar mewaspadai kekacauan kehidupan masyarakat yang melulu berorientasi pragmatisme dan materialistis. Karena itu, agama harus terus didorong relevan dengan perkembangan zaman, sehingga seruannya tak gampang ditinggalkan. Islam, kata Muhaimin, tidak bertentangan dengan ide kontemporer seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan gender. "Agama jangan terus dihadirkan dengan fenomena memuakkan. Islam jangan didorong bertentangan dengan peradaban," ujarnya.
Demi peradaban itu pula, Tuan Guru Haji Hasanain Juaini, yang sejak mendirikan pondok pada 1996 telah akrab dengan toleransi, kemajemukan, dan isu global lain, berusaha menjangkau dunia lebih luas. Ia punya tekad: Nurul Haramain for the World. Ia bersama santrinya ingin menghijaukan kembali 1.500 hektare hutan lindung di Sesaot, Lombok Barat. Hutan ini gundul akibat penjarahan. Sebelumnya, Hasanain bersama komunitasnya telah membuat hutan seluas 56 hektare. "Pohon memberikan oksigen yang dibutuhkan manusia, di belahan bumi mana pun," katanya. Sunudyantoro (Jakarta), Hari Tri Wasono (Kediri), Addi M. Idhom, Shinta Maharani (Yogyakarta), Supriyanto Khafid (Mataram), Ivansyah (Cirebon)
Intoleransi di Sana-Sini
TINDAKAN kekerasan berbalur perbedaan keyakinan agama dan ideologi terus terjadi di sejumlah wilayah Indonesia sepanjang dua tahun terakhir. Pengusiran penganut keyakinan lain, pelarangan pembangunan dan perusakan tempat ibadah, serta kekerasan karena perbedaan ideologi dan pilihan politik terjadi silih berganti. Beberapa dilakukan aparat pemerintah.
Bogor, Jawa Barat (Februari 2015)
Masjid Az-Zikra di Sentul diserang sekelompok orang setelah ada spanduk anti-Syiah yang dipasang di daerah itu.
Yogyakarta (Juli 2015)
Front Jihad Islam membubarkan kemah rohani anak-anak Gereja Advent di Wonogondang, Cangkringan, Sleman, yang dituding melakukan kristenisasi.
Tolikara, Papua (Juli 2015)
Massa menyerbu warga muslim yang sedang melakukan salat Id di Tolikara. Musala dan pasar dibakar.
Yogyakarta (Oktober 2015)
Forum Umat Islam membubarkan kegiatan Asyura komunitas Syiah di lembaga Rausyan Fikr.
Bogor, Jawa Barat (Oktober 2015)
Wali Kota Bima Arya melarang perayaan Asyura penganut Syiah.
Aceh Singkil, Provinsi Aceh (Oktober 2015)
Satu gereja di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, dibakar warga yang menolak pembangunan gereja.
Manokwari, Papua Barat (November 2015)
Bupati melarang pembangunan Masjid Rahmatan lil Alamin di Manokwari.
Mempawah, Kalimantan Barat (Januari 2016)
Lebih dari 700 orang yang dulunya anggota Gerakan Fajar Nusantara terpaksa meninggalkan rumah karena diserang.
Yogyakarta (Februari 2016)
Front Jihad Islam memaksakan penutupan Pondok Pesantren Waria Al-Fattah.
Bangka, Bangka Belitung (Februari 2016)
Pemerintah Kabupaten Bangka mengultimatum Jemaat Ahmadiyah Indonesia cabang Bangka agar segera pindah.
Jayawijaya, Papua (Februari 2016)
Persatuan Gereja-gereja Jayawijaya akhirnya menghentikan pembangunan Masjid Agung Baiturrahman.
Jakarta (Februari 2016)
Puluhan anggota gabungan sejumlah organisasi Islam berdemonstrasi menolak Belok Kiri.Fest, yang dituding komunis, di Taman Ismail Marzuki.
Bekasi, Jawa Barat (Maret 2016)
Pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi ditolak Forum Umat Islam Bekasi.
Halmahera Utara, Maluku Utara (Maret 2016)
Pondok Pesantren Al-Khairaat di Kecamatan Tobelo dibakar setelah terjadi bentrok antarkelompok pemuda.
Cianjur, Jawa Barat (April 2016)
Sejumlah organisasi kemasyarakatan membubarkan pertemuan penyintas peristiwa 1965 di Cipanas.
Makassar (April 2016)
Seminar pendidikan yang diselenggarakan Lazuardi Athaillah Global Islamic School dihentikan Aliansi Pemuda Islam Makassar.
Kendal, Jawa Tengah (Mei 2016)
Masjid Al-Kautsar milik Jemaat Ahmadiyah Ringinarum dirusak puluhan orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo