Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari sekitar 1985, Ahmad Zuhdi Muhdlor mengikuti rapat redaksi majalah Bangkit, majalah bulanan yang diterbitkan Lajnah Ta'lif Wan-Nasyr Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu Zuhdi, yang menjadi anggota staf redaksi majalah tersebut, terkejut mendengar cerita Aliy As'ad, salah satu pengasuh majalah Bangkit.
Zuhdi ingat saat itu Aliy mengatakan dia menemukan sebuah dokumen yang berpotensi mempersatukan umat Islam dari kalangan Muhammadiyah dan NU. Dokumen itu, fikih Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mempunyai kesamaan dengan ajaran Kiai Hasyim Asy'ari, salah satu ikon pendiri NU. "Ternyata Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari tunggal guru tenan (benar-benar satu guru)," kata Aliy sebagaimana ditirukan Zuhdi saat ditemui Tempo di kantor PWNU Yogyakarta, 19 Juni lalu.
Aliy, pengasuh Pondok Pesantren Nailul Ula Ploso Kuning, Sleman, yang wafat pada 3 Februari 2016, mengaku menemukan dokumen fikih Muhammadiyah berupa buku berjudul Kitab Fiqih Jilid Telu itu di Perpustakaan Islam di Jalan Mangkubumi Nomor 38, Yogyakarta. Semula dia melihat ada tiga jilid kitab asli yang disusun berjejer di atas rak perpustakaan, yaitu jilid I, II, dan III.
Pada sampul kitab yang ditulis dengan huruf Arab pegon berbahasa Jawa itu tertulis bahwa kitab tersebut diterbitkan Taman Pustaka Muhammadiyah pada 1343 Hijriah atau 1924 Masehi, tanpa nama pengarang. Taman Pustaka merupakan bagian dari struktur organisasi Muhammadiyah yang kemudian melahirkan majalah Suara Muhammadiyah pada 1920. Saat itu Muhammadiyah, yang berdiri pada 1912, masih di bawah kepemimpinan KH Ahmad Dahlan. Aliy kemudian meminjam kitab jilid III untuk difotokopi. "Karena (jilid III) yang dianggap menjelaskan amaliah-amaliah Muhammadiyah," ujar Zuhdi, 56 tahun, kini Wakil Ketua Bidang Gerakan Muda NU PWNU Yogyakarta.
Lantaran buku itu dinilai penting, beberapa hari kemudian Aliy kembali ke perpustakaan untuk meminjam jilid I dan II. Namun buku yang dimaksud sudah tidak ada, dipinjam orang. Bahkan jilid III yang telah dikembalikannya juga tidak ada. Petugas Perpustakaan Islam menyatakan tak tahu-menahu. Dalam perkembangannya, perpustakaan yang semula terletak tak jauh dari Stasiun Tugu itu pindah berdekatan dengan kampus Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kini perpustakaan yang dikelola swasta itu sudah tak ada lagi. Buku-bukunya disumbangkan ke berbagai perpustakaan.
Sejak Aliy memfotokopi buku Kitab Fiqih Jilid Telu itu, banyak pengurus NU yang berminat memfotokopi ulang. Bahasannya dianggap menarik lantaran amalan-amalan dalam Muhammadiyah dan NU yang selama ini diyakini berbeda ternyata pada mulanya sama. Semisal, penggunaan bacaan kunut saat salat subuh oleh NU ternyata juga dianut Muhammadiyah pada zaman Ahmad Dahlan. Begitu pula rakaat tarawih sebanyak 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir dan pengucapan lafal niat salat dengan ushalli. Informasi tentang buku itu pun kemudian menyebar dari mulut ke mulut. "Namun tak ada kehebohan atau polemik yang muncul. Orang-orang hanya ingin tahu isinya, makanya mereka kemudian memfotokopi bukunya," ujar Zuhdi. Menurut Zuhdi, saat majalah Bangkit sempat mengulas, sedikit juga tidak ada kehebohan.
HINGGA suatu hari pada 2009, seorang penulis bernama Mochammad Ali Shodiqin Ali mendapat buku Kitab Fiqih Jilid Telu pemberian seorang kiai (kepada Tempo, Ali enggan menyebutkan nama sang kiai). Ali kemudian ingin sekali menulis sebuah buku berkenaan dengan hal itu. Ali, 41 tahun, mengatakan ia menulis buku itu dilatarbelakangi oleh kegundahannya melihat gesekan antara Muhammadiyah dan NU di kampungnya berkaitan dengan amaliah NU. Dia ingin mengulas tentang amaliah Muhammadiyah yang ternyata semasa Kiai Ahmad Dahlan sama dengan NU, seperti membaca kunut pada saat salat subuh dan salat tarawih 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir.
Tapi Ali tak ingin terburu-buru menerbitkan bukunya. Khawatir akan menimbulkan kericuhan, ia kemudian berkonsultasi dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah. Di antaranya mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah dan mantan Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan. "Tujuannya berdialog dan meminta izin menerbitkan buku tersebut," kata Ali kepada Tempo di kantor Pengurus Cabang NU Bantul, Yogyakarta, 24 Juni lalu.
Pada 2014, buku Muhammadiyah Itu NU akhirnya diterbitkan. Buku tersebut kemudian dibedah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Acara yang digelar pada 5 Juni 2014 itu menghadirkan pembicara Wawan Gunawan Abdul Wahid, anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Kiai Muzammil, anggota Bahtsul Masail NU. Suasana diskusi yang dibanjiri pengunjung dari kalangan Muhammadiyah dan NU itu sempat memanas. Namun, menurut Ali, bukan isi bukunya yang dibahas, melainkan dirinya sebagai penulis yang dipertanyakan. "Saya dituding nekat, tulisannya murahan. Saya diam saja dan mengalah," ujar Ali, yang telah menulis sekitar 30 judul buku.
Seusai acara bedah buku itu, suara pro-kontra pun menggema dari ruang diskusi hingga media sosial. Bukan hanya buku karangan Ali yang menjadi perdebatan, Kitab Fiqih Jilid Telu sebagai rujukan juga ramai dibicarakan hingga sekarang, terutama di media sosial. Sejumlah kalangan ragu terhadap keaslian dokumen fikih Muhammadiyah tersebut. Apalagi yang selama ini banyak beredar berupa fotokopiannya atau versi PDF yang bisa diunduh di sejumlah situs Internet.
TEMPO, yang juga memiliki fotokopi Kitab Fiqih Jilid Telu, mencoba menelusuri sumber asli dokumen tersebut. Dikabarkan, kitab itu awalnya disimpan di perpustakaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Buku tersebut ditemukan oleh adik bungsu Sultan Hamengku Buwono X, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Joyokusumo, yang wafat pada 31 Desember 2013.
Tempo berusaha menelusuri jejak kitab tersebut di perpustakaan keraton, baik di perpustakaan keraton di Tepas Banjarwilapa maupun di Perpustakaan Widya Budaya, yang menyimpan sejumlah manuskrip atau arsip kuno. Namun katalog di kedua perpustakaan tersebut tidak mencatat keberadaan Kitab Fiqih Jilid Telu. "Saya malah baru mendengar dari Anda. Silakan dicek di perpustakaan," ucap Penghageng Perpustakaan Widya Budaya Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Purwodiningrat saat ditemui Tempo pada 16 Juni lalu.
Dikabarkan pula, pada September 2013, KGPH Joyokusumo ragu terhadap isi dan keaslian kitab itu. Ia saat itu memanggil keluarga Ahmad Dahlan beserta perwakilan Muhammadiyah dan NU untuk membahasnya. Tapi sesepuh keraton yang juga cucu Sultan Hamengku Buwono VIII, KRT Jatiningrat, yang biasa disapa Romo Tirun, mengaku belum pernah mendengar pertemuan tersebut. "Saya belum pernah mendengar ada pertemuan Muhammadiyah dengan NU tentang buku itu di keraton. Kitab itu pun baru saya dengar," kata Romo Tirun.
Istri almarhum Joyokusumo, Bendara Raden Ayu Joyokusumo, juga tidak mengetahui ada pertemuan suaminya dengan keluarga KH Ahmad Dahlan serta tokoh NU dan Muhammadiyah pada September 2013 untuk membahas Kitab Fiqih Jilid Telu. Namun Joyokusumo memang biasa menggelar pertemuan dengan Muhammadiyah dan NU. "Tujuannya menyatukan, karena ada gap antara Muhammadiyah dan NU," ujar istri Joyokusumo saat dihubungi Tempo pada 24 Juni lalu. Pertemuan biasa diadakan di Masjid Gedhe Kauman. Pertemuan yang diadakan dua bulanan pada malam hari itu biasanya khusus dihadiri kaum laki-laki. "Tapi, soal pembahasan kitab itu, saya tidak tahu," kata istri Joyokusumo.
Munichy B. Edrees, 64 tahun, cicit KH Ahmad Dahlan, juga mengaku belum mendengar cerita tentang anggota keluarga besar Ahmad Dahlan yang dipanggil pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk membahas kitab tersebut. Munichy, yang anggota Majelis Tablig PP Muhammadiyah, juga tidak memiliki fotokopi kitab itu dan belum pernah mendengar ihwal keberadaannya meskipun Kitab Fiqih Jilid Telu disebut-sebut keluaran Taman Pustaka Muhammadiyah. "Sejak muda, Kiai Ahmad Dahlan tidak pernah menulis kitab. Beliau takut dikultuskan," ujar Munichy saat ditemui Tempo di kediamannya di Kauman, Yogyakarta, 17 Juni lalu.
MESKI sampai kini tidak ditemukan teks asli Kitab Fiqih Jilid Telu, kitab itu sudah telanjur menarik perhatian. Abdul Munir Mulkhan, Wakil Sekretaris Majelis Tablig Muhammadiyah periode 1978-2000 dan Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005, bahkan berpendapat Kitab Fiqih Jilid Telu merupakan dokumen asli. "Kalau Anda tanya apakah ini dokumen asli, ya, kitab ini dokumen asli, dokumen resmi. Dulu diterbitkan oleh Bahagian Pustaka Muhammadiyah," kata Munir Mulkhan, 70 tahun, saat dihubungi Tempo via telepon pada 24 Juni lalu.
Munir Mulkhan sendiri menemukan kitab ini pertama kali di kantor lama Muhammadiyah. Buku ini mulanya, menurut dia, ada di Toko Siaran, yang sekarang menjadi kantor Suara Muhammadiyah. Lokasinya di Jalan KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta, dekat Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Toko Siaran di bawah Muhammadiyah. Ketika Toko Siaran dijual ke Suara Muhammadiyah, semua dokumen dari toko tersebut dibawa ke majelis tablig, yang ada di Gedung Dakwah Muhammadiyah di Jalan Taqwa, sekarang Asrama Mu'allimaat Muhammadiyah. Buku-buku itu dibawa ke sana. "Karena pada 1980-an setiap hari saya di kantor, di sela-sela ngetik, ya, saya baca-baca. Lalu saya menemukan berbagai dokumen tua. Salah satunya Kitab Fiqih Jilid Telu. Itu dokumen lama Muhammadiyah," ujar Munir Mulkhan.
Munir Mulkhan percaya, walau sekarang belum teridentifikasi siapa yang memiliki kitab asli Fiqih Jilid Telu, yang menyimpan pasti masih ada. Selain mempunyai kitab fikih tersebut, Munir Mulkhan memiliki dokumen tua lain yang memperkuatnya, seperti tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat witir. Dia menemukan dokumen itu pada edisi terbatas. "Saya yakin itu asli," katanya. Meski begitu, menurut Munir Mulkhan, kitab fikih itu tidak ditulis oleh KH Ahmad Dahlan, tapi lembaga yang menulisnya. Yang menerbitkan itu Bahagian Pustaka. "Setahu saya, KH Ahmad Dahlan tidak pernah menulis buku. Murid-muridnya iya."
Ihwal KH Ahmad Dahlan yang tak menulis buku tersebut juga disampaikan Najib Burhani, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pengurus Pusat Muhammadiyah. Najib mengatakan, setahu dia, Ahmad Dahlan tidak sering menulis buku. Memang ada naskah Ahmad Dahlan yang ditemukan belakangan, seperti "Tali Pengikat Hidup Manusia". "Tapi saya tidak yakin kalau Kitab Fiqih Jilid Telu yang menulis Ahmad Dahlan karena concern dia bukan tentang fikih," ujar Najib via telepon. "Apalagi kitab ini ada tiga jilid. Dia tidak pernah menulis buku apalagi sampai tiga jilid."
Mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin juga ragu Kitab Fiqih Jilid Telu merupakan tulisan Ahmad Dahlan. "Ahmad Dahlan tidak punya kebiasaan menulis buku. Dia lebih banyak menjadi penceramah, pekerja, pelaksana ide, bukan penulis. Ada kemungkinan murid-muridnya mencatat pikiran-pikiran Ahmad Dahlan, lalu menghimpunnya," ujar Din kepada Tempo di ruang kerjanya di gedung Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 22 Juni lalu.
MEMANG, bila menyimak Kitab Fiqih Jilid Telu setebal 78 halaman, kita akan menyaksikan banyak persamaan amaliah ibadah antara fikih Muhammadiyah semasa KH Ahmad Dahlan dan NU. Semisal, membaca kunut setiap salat subuh, melafalkan niat salat sebelum takbiratul ihram, dan dianjurkan membaca wirid seusai salat masing-masing 33 kali. Sedangkan seusai wirid, imam membacakan doa dengan keras dan makmum mengamininya. Lalu salat tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat dan ditambah 3 rakaat witir.
Ketua Pengurus Cabang NU Kota Malang KH Marzuki Mustamar menyatakan saat itu urusan ibadah antara Muhammadiyah dan NU boleh dibilang tak ada perbedaan. Marzuki meyakini saat itu para pendiri NU dan Muhammadiyah saling berbagi peran dan tugas. Namun dalam soal ibadah sama. "Muhammadiyah berdakwah di kalangan priayi, orang kota, dan di sekolah. Sedangkan NU mengembangkan pesantren dan melakukan pendidikan agama kepada masyarakat di desa," kata dosen humaniora dan budaya UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, ini.
Menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, apa yang termaktub dalam Kitab Fiqih Jilid Telu bisa saja memang dilaksanakan oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, saat itu. Namun Muhammadiyah tidak menganut sistem kepemimpinan yang paternalistik. Muhammadiyah sebagai organisasi pembaruan yang kolektif berkembang dari zaman ke zaman. "Jika dalam hal ibadah tidak ditemukan dasar dalil yang kuat, Muhammadiyah akan meninggalkannya. Hal itu dilakukan dalam Majelis Tarjih hingga sekarang," ucapnya. "Hal itu bukan berarti Muhammadiyah tidak konsisten. Mengingat Muhammadiyah tidak mengacu pada mazhab tertentu, tapi melakukan pembaruan dengan mencari dalil-dalil yang kuat berdasarkan Quran dan hadis," Abdul Munir Mulkhan menambahkan.
Munir Mulkhan mencontohkan, pada awalnya Muhammadiyah menggunakan kunut saat salat subuh dengan mengacu pada mazhab Syafi'i. Perkembangannya, kini Muhammadiyah meninggalkan kunut dengan mendasarkan hadis yang berarti "berdiri (lama) dalam salat dengan membaca ayat Al-Quran dan berdoa sekehendak hati". Karena itu, Munir Mulkhan kembali menegaskan bahwa Kitab Fiqih Jilid Telu itu sah. "Saya jamin," ucapnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA), AMANDRA M. MEGARANI, DIAN YULIASTUTI, MOYANG KASIH, NURDIN KALIM (JAKARTA), EKO WIDIANTO (MALANG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo