Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANTUNAN ayat suci Al-Quran berkumandang di teras rumah pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dengan sabar, sang pemimpin pondok pesantren, Nyai Hajah Masriyah Amva, 54 tahun, membimbing puluhan santri muda mendaras ayat. Sesuatu yang tak lazim dalam tradisi pesantren: perempuan memimpin pesantren. Saban Ramadan selepas asar, santri rutin mengaji di emper rumah Masriyah.
Masriyah satu-satunya perempuan di Indonesia yang memimpin pondok pesantren. Tampuk kepemimpinan pondok harus dia panggul setelah suaminya, Kiai Haji Muhammad, wafat sepuluh tahun lalu. Sepeninggal suami, ia harus sendiri mendidik tujuh anak. Sempat ragu, akhirnya lulusan madrasah aliyah ini bertekad meneruskan suaminya memimpin pondok. Masriyah meruntuhkan pandangan bahwa mengasuh pondok pesantren adalah tugas lagi-laki. "Dengan memimpin pondok, saya merasa hidup saya lebih bermakna untuk orang lain."
Tak lama setelah suaminya meninggal, Masriyah sempat merasa gundah. Dalam kegelisahannya, ia mencurahkan isi hati kepada Tuhan melalui tulisan tangan dalam bentuk puisi. Belakangan, antologi puisinya diterbitkan Kompas: Ketika Aku Gila Cinta (2007), Setumpuk Surat Cinta (2008), dan Ingin Dimabuk Asmara (2009). Masriyah juga menulis buku laris, Bangkit dari Terpuruk (2014) dan Indahnya Doa Rasulullah Bagiku (2014).
Ternyata buku curahan isi hati Bangkit dari Terpuruk itu mendapat tanggapan luar biasa. Ratusan orang datang kepadanya untuk berbagi pengalaman hidup, meminta petuah, dan belajar mengaji. Ia juga gigih membesarkan pondok. Saat awal ia memimpin, pondoknya hanya memiliki 350 santri. Sekarang jumlahnya melonjak tajam menjadi 1.200 santri. Bangunan pesantren dalam kawasan seluas tiga hektare itu juga bertambah. Bangunan pondok yang semula berupa bilik sederhana kini berganti jadi bangunan modern.
Kepada para santrinya, perempuan ini menebarkan pesan Islam yang damai. Ia juga berbicara tentang perlunya perempuan kuat. Tamu dari berbagai latar belakang agama dan keyakinan bertandang ke rumahnya. Banyak juga tamu dari negara asing. Menurut dia, kedudukan manusia sama di hadapan Tuhan. "Tuhan tidak pernah membeda-bedakan makhluk ketika memberikan berkah," kata Masriyah.
Kerja keras dan pemikiran Masriyah ini diapresiasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, yang memberinya Penghargaan S.K. Trimurti pada 2014. S.K. Trimurti adalah jurnalis perempuan yang juga aktivis pergerakan perempuan. Organisasi wartawan itu menilai Masriyah berani memimpin pondok pesantren di tengah meningkatnya gerakan intoleransi. Salah satu Ketua Komisi Nasional Perempuan, Masruchah, menyatakan Masriyah mendobrak budaya patriarki yang masih berkembang di Indonesia. "Ia simbol pembaruan Islam dalam isu gender," ujar Masruchah.
Aktivis Wahid Institute yang bergerak dalam pemikiran Islam moderat dan demokrasi, Ahmad Suaedy, mengatakan iklim sosial-politik di Cirebon mendukung diterimanya Masriyah sebagai pemimpin pondok dan gagasannya. Menurut Suaedy, di Cirebon telah lama berdiri sejumlah lembaga yang menyebarkan perspektif perempuan dalam Islam. Ia juga mengatakan, secara keilmuan, Masriyah disegani. "Ia tak hanya jago bicara, tapi juga gigih bekerja," ujarnya.
Sejumlah pemimpin pesantren di Cirebon juga menaruh hormat kepada Masriyah. Pengurus Pesantren Benda Kerep, Kota Cirebon, M. Miftah, mengatakan Masriyah berhasil memimpin pesantren. "Ia meneruskan pondok suaminya hingga menjadi lebih maju," ujarnya. Pemimpin Pondok Pesantren Al-Jauhariyah, Balerante, Kecamatan Gempol, Cirebon, Anom Kusumajati, menilai serupa. "Masriyah memiliki jaringan luas," kata Anom. Ivansyah (Cirebon), Ananda Teresia (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo