ORANG-ORANG Palestina, di manakah kalian? Ayam mempunyai
kandang, kelinci mempunyai liang, burung memiliki sarang, dan
ikan berdiam di lautan. Tapi kalian tak berumah, tak berkampung
halaman" -- itulah cerita dalam sebuah sajak anak-anak Palestina
yang dibacakan dalam acara Malam Palestina, Selasa malam 7
September di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sekelompok penyair Jakarta, antara lain Taufiq Ismail, Sutardji
Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., agaknya tergugah oleh serbuan
Israel ke Libanon yang memporak-porandakan pemukiman PLO, dan
akhirnya memaksa para pejuang pembebasan rakyat Palestina itu
meninggalkan basis perjuangan Palestina di tanah pengungsian
itu.
Acara pembacaan sajak-sajak Palestina yang disertai pemutaran
slide tentang orang-orang Palestina di pengungsian ini, mungkin
tidak berarti apa-apa. Tapi paling tidak lewat terjemahan
Taufiq, Abdul Hadi, Ikranegara, Subagio Sastrowardoyo,
diperkenalkan sajak-sajak penyair yang tak berumah, tak
berkampung halaman. Yaitu sajak-sajak yang menyerukan nama
Palestina sebagai Nama yang gaduh/Nama yang duka.
Ada sekitar 30 sajak dari delapan penyair yang dibacakan.
Sebagian besar memang bernada perjuangan, jelas sasarannya. Tapi
anak cucu para penyair berdarah Arab itu, rupanya tak
meninggalkan warisan puisi tradisional mereka yang konon "merdu
di telinga, yang berkisah dengan romantis".
Lewat terjemahan Taufiq Ismail, misalnya, puisi-puisi perjuangan
itu tidak menjelma menjadi slogan kosong. Catatan dari Nizar
Qabbani, lahir 1923 di Damaskus umpamanya, betapa indah ia
menaruhkan harapan kepada generasi mudanya. Katanya: Wahai
anak-anak/Kalian gerimis musim semi/Kelopak yang pelahan
membuka/Benih subur dalam hidup kami yang mandul/Kalian, yang
akan/Menaklukkan kekalahan.
Tapi adakah puisi-puisi itu, yang sebagian diselundupkan dari
sel-sel tahanan, yang kemudian dikumandangkan lewat radio
perjuangan Palestina yang tersebar di tempat-tempat pengungsian
mereka (Irak, Yaman Selatan, Aljazair antara lain), memang ampuh
daya pengaruhnya? Konon ketika Moshe Dayan jenderal Israel
bermata satu itu masih aktif, ia pernah berkata tentang sebuah
puisi karya Fadwa Tuqan: "Ini sama nilainya dengan dua puluh
tentara para komando." Sajak-sajak Fadwa Tuqan, yang pernah
merasakan dinginnya dinding penjara Israel itu, memang
bergelora. Dan kutulis lagu/Malam yang biru/Dan
kusepak/Kekalahanku/Cerai-berai/Dan tanganku/Menyinarkan cahaya.
Perjuangan orang Palestina yang panjang untuk mendapatkan tanah
air kembali telah mengubah puisi-puisi Nizar Qabbani yang merdu
menjadi gelegar sebuah bom. Duh negeriku yang pilu/ Cepat nian
engkau mengubahku/Dari penulis bait-bait asmara/Jadi penyair
yang menulis tetesan luka. Sekaligus ia pun menyadari, bahwa
"suling dan kecapi tidak akan menjamin kemenangan."
Kesadaran semacam itulah yang agaknya membuat Ibrahim Sousse,
seorang musikus, pada 1968, pada usianya yang ke-25,
meninggalkan pianonya dan bergabung dengan gerilya Al Fatah.
Juga, kesadaran itulah yang agaknya mengharuskan orang-orang
Palestina menyiapkan anak-anak mereka menjadi pejuang. Di sebuah
taman kanak-kanak di tempat pemukiman pengungsi Palestina di
Suriah, adalah biasa bila tiap pagi anak-anak TK itu mengucapkan
janji yang puitis: "Aku serdadu kecil/Suatu kali aku akan
berbaris bersama semua orang/Aku siap/Kakakku dan aku/Akan
mengorbankan jiwa raga."
Tentu saja, di tengah gelora perjuangan, sekali-sekali
menyelinap pula kerinduan pada kampung halaman -- kerinduan yang
tak pelak lagi merupakan unsur terkuat dalam mengobarkan
semangat perlawanan bangsa terusir itu. Jabra Ibrahim Jabra,
lahir 1919, pernah belajar di Cambridge dan Harvard melampiaskan
rindunya pada kampung halaman lewat puisinya: Palestina itu
teratak hijau, bunganya seperti sulaman gaun perempuan, ....
Tanah kelahiran, betapa pun, memang terasa indah dan merindukan
bila dilihat lewat sebuah jarak. Seorang Palestina tua, 70-an
tahun, di sebuah tempat pengungsian, konon pernah berkata kepada
seorang wartawan: "Aku ingin melihat kampung halamanku sebelum
mati, cukup satu jam saja. Satu jam." Dan meletuslah
peluru-peluru, meledaklah bom-bom, berdentamlah meriam-meriam,
dan juga mengalirlah puisi-puisi luka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini