Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi-puisi Palestina, Berbagai Rindu

Pembacaan sajak-sajak palestina di tim, umumnya bertemakan perjuangan, juga sajak-sajak kerinduan para penyair tak berkampung halaman.(sr)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG-ORANG Palestina, di manakah kalian? Ayam mempunyai kandang, kelinci mempunyai liang, burung memiliki sarang, dan ikan berdiam di lautan. Tapi kalian tak berumah, tak berkampung halaman" -- itulah cerita dalam sebuah sajak anak-anak Palestina yang dibacakan dalam acara Malam Palestina, Selasa malam 7 September di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sekelompok penyair Jakarta, antara lain Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., agaknya tergugah oleh serbuan Israel ke Libanon yang memporak-porandakan pemukiman PLO, dan akhirnya memaksa para pejuang pembebasan rakyat Palestina itu meninggalkan basis perjuangan Palestina di tanah pengungsian itu. Acara pembacaan sajak-sajak Palestina yang disertai pemutaran slide tentang orang-orang Palestina di pengungsian ini, mungkin tidak berarti apa-apa. Tapi paling tidak lewat terjemahan Taufiq, Abdul Hadi, Ikranegara, Subagio Sastrowardoyo, diperkenalkan sajak-sajak penyair yang tak berumah, tak berkampung halaman. Yaitu sajak-sajak yang menyerukan nama Palestina sebagai Nama yang gaduh/Nama yang duka. Ada sekitar 30 sajak dari delapan penyair yang dibacakan. Sebagian besar memang bernada perjuangan, jelas sasarannya. Tapi anak cucu para penyair berdarah Arab itu, rupanya tak meninggalkan warisan puisi tradisional mereka yang konon "merdu di telinga, yang berkisah dengan romantis". Lewat terjemahan Taufiq Ismail, misalnya, puisi-puisi perjuangan itu tidak menjelma menjadi slogan kosong. Catatan dari Nizar Qabbani, lahir 1923 di Damaskus umpamanya, betapa indah ia menaruhkan harapan kepada generasi mudanya. Katanya: Wahai anak-anak/Kalian gerimis musim semi/Kelopak yang pelahan membuka/Benih subur dalam hidup kami yang mandul/Kalian, yang akan/Menaklukkan kekalahan. Tapi adakah puisi-puisi itu, yang sebagian diselundupkan dari sel-sel tahanan, yang kemudian dikumandangkan lewat radio perjuangan Palestina yang tersebar di tempat-tempat pengungsian mereka (Irak, Yaman Selatan, Aljazair antara lain), memang ampuh daya pengaruhnya? Konon ketika Moshe Dayan jenderal Israel bermata satu itu masih aktif, ia pernah berkata tentang sebuah puisi karya Fadwa Tuqan: "Ini sama nilainya dengan dua puluh tentara para komando." Sajak-sajak Fadwa Tuqan, yang pernah merasakan dinginnya dinding penjara Israel itu, memang bergelora. Dan kutulis lagu/Malam yang biru/Dan kusepak/Kekalahanku/Cerai-berai/Dan tanganku/Menyinarkan cahaya. Perjuangan orang Palestina yang panjang untuk mendapatkan tanah air kembali telah mengubah puisi-puisi Nizar Qabbani yang merdu menjadi gelegar sebuah bom. Duh negeriku yang pilu/ Cepat nian engkau mengubahku/Dari penulis bait-bait asmara/Jadi penyair yang menulis tetesan luka. Sekaligus ia pun menyadari, bahwa "suling dan kecapi tidak akan menjamin kemenangan." Kesadaran semacam itulah yang agaknya membuat Ibrahim Sousse, seorang musikus, pada 1968, pada usianya yang ke-25, meninggalkan pianonya dan bergabung dengan gerilya Al Fatah. Juga, kesadaran itulah yang agaknya mengharuskan orang-orang Palestina menyiapkan anak-anak mereka menjadi pejuang. Di sebuah taman kanak-kanak di tempat pemukiman pengungsi Palestina di Suriah, adalah biasa bila tiap pagi anak-anak TK itu mengucapkan janji yang puitis: "Aku serdadu kecil/Suatu kali aku akan berbaris bersama semua orang/Aku siap/Kakakku dan aku/Akan mengorbankan jiwa raga." Tentu saja, di tengah gelora perjuangan, sekali-sekali menyelinap pula kerinduan pada kampung halaman -- kerinduan yang tak pelak lagi merupakan unsur terkuat dalam mengobarkan semangat perlawanan bangsa terusir itu. Jabra Ibrahim Jabra, lahir 1919, pernah belajar di Cambridge dan Harvard melampiaskan rindunya pada kampung halaman lewat puisinya: Palestina itu teratak hijau, bunganya seperti sulaman gaun perempuan, .... Tanah kelahiran, betapa pun, memang terasa indah dan merindukan bila dilihat lewat sebuah jarak. Seorang Palestina tua, 70-an tahun, di sebuah tempat pengungsian, konon pernah berkata kepada seorang wartawan: "Aku ingin melihat kampung halamanku sebelum mati, cukup satu jam saja. Satu jam." Dan meletuslah peluru-peluru, meledaklah bom-bom, berdentamlah meriam-meriam, dan juga mengalirlah puisi-puisi luka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus