Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

KINI GILIRAN MEGA

Tersangka perkara cek pelawat dari PDI Perjuangan membelanjakan duit buat kampanye Megawati. Merasa tersudut, kubu Banteng menyiapkan strategi untuk melindungi ketua umumnya.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
laput0140

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat kali Max Moein menggaruk-garuk lengan kirinya. Gigitan kepinding meninggalkan bentol di lengan bawah dekat siku. Ia menyeringai setiap kali menekuri bercak merah sebesar kuku jempol itu. Berhenti menggaruk, ia menghela napas dalam-dalam. ”Kasurnya enggak bersih, sepertinya,” kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Selasa pekan lalu hari ke-25 ia harus tidur di sel Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Tidur seorang diri di sel 1,5 x 2 meter persegi, Max jarang meninggalkan blok tahanannya. Lelaki berambut perak ini tak berminat olahraga pagi seperti Panda Nababan, politikus PDI Perjuangan, tetangga selnya. Perawakannya tampak lebih ringkih. Sel tahanan menggerus lemak tubuhnya.

Dianggap menerima sepuluh lembar cek pelawat senilai Rp 500 juta pada 2004, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, September tahun lalu. Ratusan cek ditebar ke anggota Dewan dari empat fraksi—PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, serta TNI/Polri—seusai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom.

Menurut keterangan pada persidangan terdahulu, cek dibagikan pengusaha Nunun Nurbaetie lewat anak buahnya, Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo. Sebelum sampai ke tangan Max, duit diterima Dudhie Makmun Murod, bendahara Fraksi PDI Perjuangan ketika itu. Lewat orang suruhannya, Dudhie menyerahkan lagi cek dalam amplop putih itu ke Max.

Karena mendapatkan cek melalui orang suruhan Dudhie, Max merasa tak pernah menerima suap. ”Saya terima cek dari fraksi, kok,” katanya. Suaranya meninggi. Lagi pula, seingat dia, Dudhie memberikan cek itu untuk mendanai kampanye Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang disokong partainya dalam pemilihan presiden 2004.

Sehari setelah menerima cek, pada 9 Juni 2004, Max mencairkan cek pelawat bernomor seri 135-010401 sampai 135-010410 di BII Cabang Permata Hijau, Jakarta. Tapi duit tunai Rp 500 juta itu tak lama ia pegang. Dibawa ke Kalimantan Barat, daerah pemilihannya dalam pemilihan anggota legislatif dua bulan sebelumnya, duit bergepok-gepok itu segera dibelanjakan: untuk biaya memasang baliho Mega-Hasyim di 12 kabupaten di Kalimantan Barat, buat perjamuan Kwik Kian Gie dengan pengusaha Tionghoa di sana, serta untuk mendirikan panggung dan membayari penyanyi yang tampil saat Mega berkampanye di Pontianak. Sisanya untuk uang saksi di tiap tempat pemungutan suara.

”Itu pun tak cukup,” ujar Max. Ia mengatakan menomboki biaya kampanye dari saku sendiri. Lupa jumlah persisnya, Max hanya bilang setiap juru kampanye rata-rata habis Rp 4 miliar. Tambahan duit ia peroleh setelah menjual ini-itu. Pundi-pundi Max sudah terkuras ketika pemilihan anggota Dewan.

Merasa menerima duit itu dari fraksi dan menghabiskannya demi partai, Max bersama tersangka lain yang didampingi Petrus Selestinus meminta komisi antikorupsi memeriksa Megawati. Maksudnya, supaya Mega jadi saksi yang meringankan. Alasan lain: perintah memilih Miranda juga datang dari fraksi. ”Perintah fraksi artinya perintah partai yang pasti diketahui ketua umum,” katanya.

l l l

KECUALI Panda Nababan dan Agus Condro Prayitno, tersangka lain dari PDI Perjuangan juga memberikan keterangan, cek pelawat dipakai buat biaya kampanye Mega-Hasyim. Keterangan itu disampaikan dalam persidangan Dudhie Makmun Murod, yang telah divonis dua tahun penjara.

Belakangan, ketika diperiksa sebagai tersangka, Willem Tutuarima, Soewarno, Budhiningsih, dan Rusman Lumbantoruan mengubah kesaksian yang disampaikannya di sidang Dudhie. ”Bukan untuk kampanye Mega-Hasyim, tapi untuk aktivitas partai,” kata Arteria Dahlan, pengacara mereka. Arteria adalah pengacara yang disodorkan resmi oleh Partai Banteng Moncong Putih untuk membela beberapa aktivisnya.

Adapun Matheos Pormes, Soetanto Pranoto, Ni Luh Mariani, Engelina Pattiasina, Poltak Sitorus, dan Muhammad Iqbal, juga Max, berkukuh dana tersebut dihabiskan untuk kampanye Mega-Hasyim, sebagaimana yang dibilang Dudhie saat menyerahkan cek. ”Tak mungkin kami tak mematuhi,” kata Matheos, yang ditemui terpisah di Rumah Tahanan Cipinang.

Bahkan Izedrik Emir Moeis, yang disebut KPK menerima Rp 200 juta tapi tak dijadikan tersangka, membelanjakan duit untuk kampanye di daerah pemilihannya di Kalimantan Timur. Ketika pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dilakukan, Emir dan kawan-kawan sibuk berkampanye untuk Mega-Hasyim. Kampanye ini berlangsung sebulan penuh, dari 1 Juni hingga 1 Juli 2004. Selain oleh Mega-Hasyim, pemilihan diikuti oleh Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Sebagaimana pengakuannya ke penyidik dan di hadapan hakim saat bersaksi di sidang Dudhie, Emir memerinci penggunaan duit. Antara lain untuk membiayai penyemenan jalan di Balikpapan, pembangunan lapangan bulu tangkis, dan penyelenggaraan turnamen bola voli Emir Moeis Cup. Selebihnya untuk mencarter pesawat. Sumber Tempo membisikkan, pesawat carteran inilah yang digunakan Megawati selama berkampanye di Pulau Borneo.

Soekardjo Hardjosoewirjo, juga penerima cek pelawat yang tak jadi tersangka, mengaku menghabiskan Rp 200 juta yang diterimanya juga untuk kampanye seperti pesan si pemberi cek. Kepada penyidik, ia mengaku tak tahu asal-usul cek, hanya tahu pemberinya. Sebagaimana Emir, Soekardjo menunjuk hidung lelaki yang sama: Panda Nababan.

Anehnya, ada duit Rp 500 juta jatah cek pelawat untuk Fraksi Banteng Gemuk yang tak bertuan. Orang-orang PDI Perjuangan saling lempar soal itu. Duit yang menyelonong ke kas fraksi itu terungkap dalam persidangan Dudhie Murod. Saat penuntutan, jaksa menuding Dudhie menerima Rp 1 miliar—bukan Rp 500 juta seperti dalam dakwaan. Dudhie membela diri. Menurut dia, tambahan duit Rp 500 juta yang berasal dari pencairan sepuluh lembar cek pelawat bernomor seri 135-010321 hingga 135-010330 tak masuk ke rekening pribadinya, tapi ke rekening fraksi di Bank Mandiri nomor 102-0002016530. Dua rekening itu memang atas namanya.

Dihubungi kembali Rabu pekan lalu, pengacara Dudhie, Amir Karyatin, berkukuh sepuluh lembar cek pelawat bernomor seri tadi merupakan jatah Panda Nababan, yang dicairkan Dila, anggota staf Sekretariat Fraksi PDI Perjuangan, pada 17 Juni 2004. ”Sehingga, dalam laporan keuangan Fraksi PDI Perjuangan bulan Juni 2004, tercatat pemasukan Rp 500 juta yang berasal dari cek Panda Nababan,” katanya.

Panda berulang kali membantah soal ini. Ia bahkan menyebut pengadilan Dudhie sesat karena hakim mempercayai begitu saja keterangan terdakwa.

Sumber Tempo bercerita, duit itu sebenarnya jatah Soetardjo Soerjogoeritno (almarhum), bekas Wakil Ketua DPR. Ketika diberi cek dalam amplop, Soetardjo menggeleng keras. ”Aku enggak mau mati di penjara,” katanya, seperti ditirukan sang sumber. Duit lalu dikembalikan ke Tjahjo Kumolo, sebagai ketua fraksi. Oleh Tjahjo, duit disetorkan ke kas fraksi dengan mengatasnamakan Panda Nababan. Ditemui Jumat pekan lalu, Tjahjo membantah pernah menyetor atau menyuruh orang menyetor duit cek pelawat ke kas fraksi. ”Enggak ada itu,” ujarnya.

l l l

LEBIH dari sepekan setelah komisi antikorupsi menetapkan Panda dan kawan-kawan sebagai tersangka pada awal September 2010, Ketua PDI Perjuangan Bidang Hukum Trimedya Panjaitan mengumpulkan mereka di Hotel Sultan, Jakarta. Tak semua hadir. Matheos, Engelina, dan Ni Luh Mariani tak datang. Ketiganya memang sudah menyeberang ke Partai Demokrasi Persatuan—sempalan PDI Perjuangan.

Sumber Tempo yang mengikuti pertemuan itu mengaku terkejut dengan undangan yang tiba-tiba. Sejak Agus Condro membocorkan kasus itu ke KPK, Lenteng Agung—markas pusat PDI Perjuangan—hanya sekali mengumpulkan mereka. Menjelang akhir 2008 itu, Megawati murka. ”Kalian ini waktu terima cek enggak bilang-bilang, pas ketahuan baru cerita,” kata Mega seperti ditirukan sumber itu.

Pada September 2010, para penerima cek kembali dikumpulkan di Hotel Sultan. Trimedya mencoba membesarkan hati koleganya. ”Teman-teman cuma apes,” katanya seperti ditirukan sumber Tempo. Ia pun mengatakan partai bakal membantu segala kebutuhan para tersangka di penjara asalkan mereka tak membawa-bawa nama Megawati. Soal ini, Trimedya membantahnya. ”Enggak mungkinlah saya ngomong begitu,” ujarnya Jumat pekan lalu.

Selepas pertemuan di Sultan, tim bantuan hukum partai memang turun tangan. Alhasil, pengakuan Soewarno dan kawan-kawan soal penggunaan duit cek pelawat berubah dari ”untuk kampanye Mega-Hasyim” menjadi ”untuk aktivitas partai”. Hanya kubu Petrus Selestinus yang berkukuh duit dihabiskan untuk memenangkan Mega-Hasyim.

Petrus bercerita, saat para tersangka mulai dipanggil satu demi satu oleh Komisi, kliennya pernah pula hendak dipengaruhi kubu Lenteng Agung. Saat itu Ni Luh Mariani dan Soetanto Pranoto belum merapat ke Petrus. Tak punya pengacara, keduanya untuk sementara ikut Arteria Dahlan. Ketika diperiksa KPK, keduanya tetap mengaku menggunakan duit itu untuk kampanye. Arteria sebal. ”Keterangannya harus sama seperti Pak Soewarno,” kata Petrus menirukan omongan Arteria ke Ni Luh. ”Ibu Mega sudah membaca BAP tersebut dan dia senang.”

Arteria membantah pernah meminta Ni Luh dan Soetanto mengubah keterangan. Ia pun menyanggah pernah menyebut nama Mega dalam percakapan itu. ”Ibu Mega tak akan begitu,” ujarnya.

Megawati hanya menoleh saat Tempo mencegatnya di kantor pusat PDI Perjuangan di Lenteng Agung, Kamis pekan lalu.

l l l

TAK banyak yang tahu Emir Moeis dan Panda Nababan lama tak saling tegur. Menurut sumber Tempo di Banteng Moncong Putih, Panda sebal lantaran Emir mengaku menerima cek dari dia. Kedongkolan Panda akhirnya membuncah di sela-sela Kongres Nasional PDI Perjuangan di Bali tahun lalu.

Menurut sumber yang sama, dalam rapat tertutup yang juga dihadiri Emir tersebut, Panda tiba-tiba mengeluarkan unek-uneknya. Dengan gaya blakblakan Sumatera-nya, Panda berkata Emir-lah yang sesungguhnya paling tahu soal aliran duit cek pelawat. Mendengar itu, muka Emir memerah. Ia bangkit dari kursinya, lantas meninggalkan ruangan tanpa berucap apa-apa. Ditinggalkan pergi begitu saja, Panda lantas menegurnya. ”Mir, ke mana lu,” kata Panda setengah berteriak seperti ditirukan sumber itu.

Panda tak dapat ditemui saat Tempo mendatangi Rumah Tahanan Salemba. Dihubungi lewat dua nomor yang diketahui miliknya, telepon seluler tak menyala. Pesan pendek yang dikirim ke dua nomor itu juga tak berbalas. Pengacara Panda, Patra M. Zen, mengaku tak tahu-menahu soal itu. ”Saya hanya mengurus persoalan hukumnya,” ujar Patra.

Ditemui di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu, Emir hanya berbicara soal pemanggilan Mega oleh KPK. ”Itu sudah selesai,” katanya. Ia segera berlalu menunggang Mercy-nya ketika hendak ditanya soal hubungannya dengan Panda.

Sedangkan Tjahjo, yang juga Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, mengatakan tak ada masalah antara partai dan Panda. ”Baik-baik saja, kok,” ujarnya Jumat pekan lalu. Soal hubungan Panda dan Emir, Tjahjo mengaku tak tahu apa-apa. Tapi dia mengaku pernah diminta Panda menghubungi Emir. ”Tolong telepon Emir, dong, gua mau bicara,” katanya menirukan Panda.

l l l

GURAT kecewa tergambar di raut muka Max Moein begitu mengetahui Megawati tak memenuhi panggilan KPK pada Senin pekan lalu. Max masih berharap Mega mau hadir memberikan kesaksian yang meringankannya. Apalagi, menurut dia, sejak dicopot dari Dewan Perwakilan Rakyat pada 2008, ia tak pernah lompat partai. ”Sampai sekarang saya masih setia di PDIP,” katanya.

Menurut Max, bila tetap tak mau datang, setidaknya Mega mau memberinya keterangan tertulis tentang duduk soal kasus tersebut. ”Tertulis juga enggak apa-apa kan, Pak?” ia bertanya sambil menoleh ke Petrus. Yang ditanya cuma mengangguk.

Tjahjo tak yakin Mega bisa meringankan Max dan kawan-kawan. ”Ibu Mega itu tak tahu apa-apa soal kasus ini,” ujarnya. Selain itu, fraksi tak pernah memberikan duit berupa apa pun ke anggotanya untuk membiayai kampanye Mega-Hasyim. Partai juga sudah tak mengakui mereka yang dibela Petrus sebagai anggota PDI Perjuangan.

Anton Septian, Sunudyantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus