Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA tanggal dia meninggal, 29 April 1991, dokter Sulianti Saroso sudah memegang tiket penerbangan untuk lawatan ke luar negeri di bulan berikutnya. Sore itu, Sulianti jatuh ketika sedang berada di kamar mandi. Sebelumnya, ia hanya mengeluh pusing. Hingga menemui ajal pada usia hampir 74 tahun, Sulianti masih menjadi konsultan untuk badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang membawanya melanglang buana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Momen terakhir itu melukiskan daya hidup dokter Syuul—sapaan akrabnya—yang sejak muda selalu berkarya dan berkelana. “Sampai akhir hidupnya, Ibu masih bekerja,” kata Anindita Rosyanti Saroso, anak pertama Sulianti dari pernikahannya dengan Saroso Wirodihardjo, melalui sambungan telepon, Jumat, 7 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulianti Saroso menghadiri pertemuan International Center for Diarrheal Diseases Board of Trustees (ICDDR/B) di Bangladesh. rspi-suliantisaroso.com
Mantan Pemimpin Redaksi Pedoman, Rosihan Anwar, mengenang Sulianti selalu aktif, bahkan ketika didera kanker payudara sesaat sebelum dia berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikan di School of Medicine, Tulane University. “Tidak capek, Syuul, mondar-mandir ke luar negeri?” begitu wartawan ini pernah bertanya kepada Sulianti. “Ya capek juga, tapi pekerjaan di WHO (World Health Organization) menarik. Lagi pula, kalau hemat bisa menabung dari uang harian. Itu penghasilan tambahan yang lumayan,” begitu Sulianti menjawab sebagaimana tertulis dalam buku Rosihan berjudul In Memoriam: Mengenang yang Wafat.
Sulianti dimakamkan di Karet, Jakarta, dengan upacara kenegaraan yang dipimpin Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan dokter M. Isa. Prosesi itu merupakan penghargaan bagi Sulianti sebagai penerima Bintang Mahaputera Pratama dari Presiden Soeharto pada 1975 untuk kesetiaan dan jasa luar biasa kepada negara. Tiga tahun setelah kematiannya, nama Sulianti diabadikan pada rumah sakit pusat kajian infeksi Indonesia, Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof Dr Sulianti Saroso.
Julie Sulianti Saroso (kanan) saat menerima Bintang Mahaputra dari Presiden RI, 1975. Dok. Keluarga
Penyematan nama Sulianti pada nama rumah sakit infeksi di Jakarta itu bisa dirunut asal-muasalnya hingga November 1967, saat Sulianti diminta Menteri Kesehatan G.A. Siwabessy menjadi Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular. Saat itu, Sulianti sebenarnya sudah diterima bekerja di WHO dan bersiap bertolak ke Swiss. “Saat hendak mengepak barang, datang tawaran Menteri Siwabessy. Ibu akhirnya memilih mengabdi di sini,” ucap Dita—sapaan Anindita Saroso.
Saat itu, Indonesia adalah satu dari lima negara berkondisi gawat darurat wabah cacar. Meski wabah itu sudah sekitar satu dekade menjangkiti negeri ini, belum ada pendataan ataupun program pembasmian yang serius. Dalam buku Smallpox: The Death of a Disease, D. A. Henderson menyebutkan data wabah cacar di Indonesia yang cukup akurat baru didapatkan setelah Sulianti membuat tim kendali cacar yang turun langsung ke desa-desa. Tim itu berhasil mengumpulkan data selama tiga tahun ke belakang dan menemukan bahwa pada 1965 terdapat 56.359 kasus cacar yang tersebar di Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Dua tahun berikutnya, angka itu melonjak menjadi 100 ribu di Jawa saja.
Julie Suliianti (kanan) bersama suami dan kedua putrinya, 1985. Dok. Keluarga
Sulianti pun segera meminta pendampingan WHO untuk mengembangkan rencana nasional pemberantasan cacar. Henderson menulis, program yang diinisiasi Sulianti itu berhasil membuat Indonesia bebas cacar hanya dalam tiga setengah tahun. “Capaian itu begitu cepat untuk ukuran negara luas dengan populasi besar seperti Indonesia. Keberhasilan itu menjadi kejutan sekaligus semangat bagi negara lain, seperti Bangladesh, India, dan Pakistan yang telah bergelut dengan wabah cacar selama satu dekade,” tulis Henderson.
Dokter Syuul juga yang memperjuangkan kompensasi yang layak untuk pegawai kesehatan. Dalam catatan Henderson, sebelum Sulianti menjabat, petugas vaksin hanya mendapat bayaran US$ 2 per bulan. Itu tak memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Henderson lalu menggambarkan Sulianti sebagai, “Perempuan tegas, penuh energi, yang bertekad untuk mereformasi sistem pembayaran rendah bagi staf kesehatan.”
Sistem pemberantasan wabah cacar yang dibangun Sulianti menjadi panutan dunia. Henderson menulis, Indonesia berkontribusi pada kesehatan global dengan mencontohkan program pemberantasan yang terdiri atas penelisikan kasus dari desa ke desa, sistem hadiah bagi mereka yang melaporkan kasus cacar, dan pengembangan kartu identifikasi cacar berdasarkan informasi WHO. Setelah Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar pada 1973, sejumlah anggota staf Departemen Kesehatan yang berperan besar, termasuk Sulianti, diminta mendatangi negara-negara lain untuk berbagi ilmu. Hasilnya, wabah cacar pun pergi dari India, Bangladesh, dan Ethiopia.
Sulianti Saroso saat menjadi Kepala Badan Litbang Departemen Kesehatan di Lokakarya Penelitian Kesehatan dan Kedokteran di Jakarta, 1977. Tempo/Lukman Setiawan
Pada masa kepemimpinan Sulianti pula akses informasi wabah dibuka untuk publik. Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia dokter Broto Wasisto ingat, sebelum masa Sulianti, informasi tentang penyakit menular dan wabah selalu disembunyikan karena dianggap aib dan memalukan. “Dokter Sulianti membuat unit surveillance yang bertugas mengumpulkan data, lalu data itu akan disampaikan Sulianti kepada media. Ini pertama kalinya terjadi,” tutur Broto, yang pernah menjadi bawahan Sulianti di unit pemberantasan penyakit cacar.
Sulianti juga merupakan pemimpin yang tak segan turun langsung ke desa-desa yang terjangkit wabah. C. Koesharjono, dokter hewan yang memimpin sub-direktorat zoonosis di bawah Sulianti, mengenang perjalanan bersama sang Direktur Jenderal ke Selo, Boyolali, Jawa Tengah, untuk melihat sendiri penyebaran wabah pes di daerah itu. “Dokter Sulianti tidak mau diistimewakan. Dia mau berkunjung hingga ke desa-desa meski jalannya jauh dan masih berbatu-batu,” ujar Koesharjono, 82 tahun, yang kini berpraktik di Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Unit zoonosis yang dipimpin Koesharjono juga berdiri atas inisiatif Sulianti. Setelah berkonsultasi dengan WHO, Sulianti membentuk unit zoonosis yang berfokus menangani penyakit yang ditularkan hewan kepada manusia atau sebaliknya. Ada lebih dari 150 jenis penyakit zoonosis di Indonesia. Keberadaan unit khusus itu memastikan wabah seperti pes, rabies, antraks, dan penyakit cacing pita dapat tertangani dengan baik.
Kiprah Sulianti dalam penanganan berbagai penyakit menular itulah yang membuat namanya diabadikan menjadi RSPI Sulianti Saroso, yang diresmikan pada 21 April 1994. “Dia pelopor penanganan penyakit menular,” ujar Broto Wasisto.
•••
MASA muda Sulianti sangat berwarna. Dia putri kedua Moehammad Soelaiman, dokter yang turut mendirikan Boedi Oetomo. Keluarganya berpindah kota hampir setiap tahun. Sulianti lahir saat mereka tinggal di Karangasem, Bali, pada 10 Mei 1917. Saat Syuul lulus sekolah dasar, Soelaiman mengambil program doktor di Belanda dan memboyong keluarganya. Sepulang dari Belanda, Syuul masuk sekolah di Gymnasium, Bandung. “Sekolah ini lebih tinggi dari HBS. Ibu saya satu dari dua pribumi di antara sinyo-sinyo Belanda yang bersekolah di sana,” ujar Dita Saroso.
Meski ayahnya dokter, Sulianti lebih tertarik melanjutkan pendidikan ke jurusan teknik. Tapi ayahnya tak setuju. Ia akhirnya memilih masuk Sekolah Tinggi Kedokteran atau Geneeskundige Hogeschool yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rosihan Anwar menulis, Syuul menarik perhatian karena saat itu masih sedikit perempuan yang mengambil sekolah kedokteran. Sulianti juga senang bergaul dan gemar bermain tenis.
Lulus pada 1942, Syuul lalu bekerja di Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Namun, pada tahun yang sama, Jepang mulai menjajah, diikuti dengan perang revolusi. Keadaan itu membuat Syuul, yang tak pernah berpolitik, ikut dalam pergerakan.
Saat menjadi dokter di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, ia bergabung dalam Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan menjadi wakil Pemuda Putri Indonesia untuk Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Syuul juga mengumpulkan obat dan makanan, lalu dia antarkan langsung kepada pejuang di front Gresik, Demak, dan sekitar Yogyakarta. “Saya memimpin Wanita Pembantu Perjuangan,” kata Sulianti seperti dikutip dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.
Tugas paling bersejarah bagi Syuul adalah saat dia menghadiri Kongres Wanita di India pada 1947 sebagai wakil Kowani bersama Utami Suryadarma. Saat itu, perwakilan Indonesia di sana meminta Sulianti menyelundupkan pesawat terbang milik industrialis Patnaik dan menyerahkannya kepada pemerintah darurat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pesawat blockade runner yang lepas landas dari New Delhi itu berhasil mengelabui Belanda dan mendarat di Bukittinggi dengan selamat. “Karena semangat sedang berkobar, sedikit pun saya tidak gentar,” tutur Sulianti dalam buku Apa & Siapa.
Dari Bukittinggi, Syuul berangkat ke Yogyakarta bersama wakil Indonesia untuk Eropa Timur, Suripno, dan sekretarisnya, Suparto. Dalam tulisan Rosihan Anwar, Suparto disebut sebagai nama samaran Musso yang segera membubarkan Front Demokrasi Rakyat setiba di Yogyakarta. Kedatangan Musso di Yogyakarta memantik Peristiwa Madiun, September 1948.
Seusai perang, Sulianti mendapat beasiswa dari UNICEF untuk belajar tentang kesehatan masyarakat dan kesejahteraan ibu-anak di University of London. Dalam perjalanan pulang dari London, Sulianti singgah di Singapura. Di sana ia bertemu dengan Saroso Wirodihardjo, ekonom yang menjabat Direktur Perdagangan di Kementerian Kemakmuran. Pertemuan itu berujung pada pernikahan mereka pada 1952. Sebelumnya, Sulianti telah menikah dengan dokter Sukonto, lalu berpisah. Sulianti, yang memiliki nama tunggal dan biasa disapa Syuul atau Julie, kemudian memakai “Saroso” sebagai nama belakangnya.
Putri sulung Sulianti Saroso, Anindita Saroso. Dok. Pribadi
Dita Saroso mengingat ayahnya sebagai pendukung terbesar karier Sulianti. Kendati begitu, keluarga itu sempat mengalami masa sulit karena Saroso Wirodihardjo adalah anggota Partai Sosialis Indonesia di bawah pimpinan Sutan Sjahrir yang berseberangan dengan Presiden Sukarno. “Bapak sempat menjadi tahanan rumah pada masa Sukarno,” tutur Dita. “Posisi politik Bapak juga sempat menghambat karier Ibu.”
Namun kondisi itu justru membuat Sulianti melek politik. Rekan suaminya di partai, Soebadio Sastrosatomo, menjadi mentornya untuk urusan politik. Menurut Rosihan Anwar dalam buku In Memoriam, ikatan dengan suaminya yang ahli ekonomi juga membuat kiprah Sulianti makin melejit. Ia mampu mencari solusi untuk masalah kesehatan masyarakat dengan mempertimbangkan aspek ekonomi. “Dia mencari penyelesaian dengan mengidentifikasi dan memperhitungkan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan ekonomi yang inheren melekat pada rakyat,” tulis Rosihan. “Di sini terletak salah satu merit atau jasa Prof Dr J. Sulianti Saroso.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo