Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Raja Hitam Ahli Jiwa

Jonas Andreas Latumeten mengorganisasi perlawanan terhadap dokter Belanda yang sinis kepada kaum bumiputra. Ia menyelipkan agenda politik di tengah praktik dokter.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jonas Andreas Latumeten aktif berpolitik semasa kuliah kedokteran di Utrecht University.

  • Jonas Latumeten ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang.

  • Presiden Sukarno memilih Jonas Latumeten sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.

BOGEM Jonas Andreas Latumeten melayang ke wajah dokter kepala klinik di Utrecht, Belanda. Jonas waktu itu berpraktik sembari mengejar gelar doktoral di Utrecht University. Ia menggampar dokter Eropa tersebut karena memakinya dengan sebutan zwarte aap alias monyet hitam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jonas sedang melayani pasien yang baru tiba di klinik sebelum dokter itu mengumpat. Pada waktu bersamaan, seorang perawat kelimpungan menangani pasien yang meronta-ronta. Mengetahui pasien yang menjerit itu hendak diborgol, pria yang lahir di Ambon, Maluku, pada 15 Mei 1888 tersebut meninggalkan pelanggan di meja rawatnya dan beralih mengobati pasien dengan gangguan jiwa itu. “Kepala klinik kesal karena Opa Jonas membuat pelanggan baru merasa tak dilayani dengan baik,” kata cucu Jonas, Antonetta Louise Latumeten, saat dihubungi pada Selasa, 11 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Louise, Jonas menganggap ungkapan “monyet hitam” sangat rasis. Ia kian kesal karena dokter Eropa itu mencak-mencak kehilangan pelanggan karena Jonas meninggalkan pasien. Padahal Jonas merasa pasien dengan gangguan jiwa tak pantas dipasung.

Louise, 66 tahun, mengetahui peristiwa itu dari cerita ayahnya yang juga anak kedua Jonas, John Ferry Latumeten. Kakak kandung Louise, John Latumeten, yang kini berumur 70 tahun, juga pernah mendengar kisah di klinik Utrecht itu dari sang ayah. Keduanya mengaku tak ingat waktu kejadian tersebut, tapi Jonas menempuh kuliah di Belanda pada 1922-1925.

Di Utrecht, Jonas meneliti saraf okulomotor—saraf yang mengontrol sebagian besar gerakan mata—sebagai tema disertasi. Penelitian itu diberi judul “Over de Kernen van den Nervus Oculumotorius”. Dalam katalog digital perpustakaan Utrecht University, naskah disertasi Jonas disahkan pada Selasa, 15 April 1924.

Hans Pols, peneliti dari The University of Sydney, dalam bukunya, Nurturing Indonesia (2018), menulis Jonas Latumeten tak sekadar kuliah di Belanda. Ia juga aktif dalam sejumlah gerakan politik dengan bergabung dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia. Sebagaimana ditulis Pols, Jonas pernah memimpin perlawanan terhadap pandangan psikiater dan pakar neurologi, F.H. van Loon, yang berceramah di Den Haag, sekitar Februari 1924. Van Loon, yang mengelola klinik kejiwaan di Batavia, menyatakan warga Hindia Belanda menyimpan gangguan psikologi serius. Loon menilai kondisi itu merupakan anomali karena studi kedokteran menunjukkan ras primitif jarang memiliki problem kejiwaan.

Tak terima dengan tesis Van Loon, Jonas yang sedang menjabat Ketua Asosiasi Ahli Jiwa Hindia Belanda cabang Belanda menerbitkan pamflet dan empat artikel panjang di harian Indonesia Merdeka untuk menangkis argumen itu. Mahasiswa kedokteran jiwa yang bergabung dengan asosiasi itu juga mengundang Van Loon dalam diskusi terbatas yang kabarnya berlangsung dengan tensi tinggi. “Asosiasi menilai dalam artikelnya bahwa pandangan politik Van Loon terhadap Hindia Belanda telah mengaburkan justifikasi ilmiah,” tulis Pols dalam bukunya.

Ada sejumlah versi cerita mengenai alasan Jonas sangat tertarik pada bidang kedokteran jiwa. Louise Latumeten, cucu kesepuluh Jonas, menyebutkan kakeknya sejak dulu menaruh minat pada studi watak manusia. Menurut cerita ayah Louise, Jonas gemar mengamati perilaku teman-temannya yang berasal dari berbagai suku ketika kuliah di The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA)—sekolah kedokteran untuk bumiputra. Jonas tekun mencatat jika melihat tingkah yang menarik.

John Latumeten, kakak Louise yang juga cucu kedelapan Jonas, punya cerita lain. Ia mempercayai keahlian Jonas di bidang kejiwaan berkaitan dengan nama marga Latumeten yang artinya raja hitam. Menurut John, berdasarkan cerita turun-temurun, nenek moyang Jonas adalah ahli ilmu hitam. John bercerita, kakeknya pernah meredakan amuk orang dengan gangguan jiwa hanya dengan tatapan mata.

Lain waktu, Jonas sempat mengingatkan John Ferry Latumeten, anak kedua sekaligus ayah John, agar tak menikahi gadis pujaannya. Kepada anaknya, Jonas menyebutkan perempuan itu akan jatuh sakit dan meninggal tiga bulan kemudian. “Papa saya bilang ramalan Opa Jonas benar-benar terjadi,” ujar John.

Pada 1925, Jonas Latumeten kembali ke Tanah Air. Hans Pols dalam bukunya, Nurturing Indonesia, menulis bahwa Jonas merampungkan kuliah tahun itu. Adapun kedua cucu Jonas, John dan Louise, menyebutkan kakeknya dipulangkan tak lama setelah insiden pemukulan dokter Eropa di Utrecht.

Pemerintah kolonial menugasi Jonas ke sebuah rumah sakit di Sabang yang terletak di Pulau Weh, ujung paling barat Indonesia. Melihat kecakapan dan gelar yang dimiliki Jonas, John dan Louise meyakini penempatan kakeknya di pulau terpencil itu terkait dengan aktivitas politik Jonas di Negeri Kincir Angin. Tak mudah bagi Jonas menjadi dokter di pelosok. Saat itu, ia harus berjibaku merawat pasien yang terjangkit wabah sampar. Peralatan medis dan obat-obatan tak selalu tersedia. Jonas meminta Batavia segera mengirimkan obat ke Sabang. “Tapi kiriman itu tak pernah sampai,” kata Louise.

Jonas lalu dipindahkan ke rumah sakit jiwa di Cilendek, Bogor, kini bernama Rumah Sakit Dr H. Marzoeki Mahdi. John Latumeten bercerita, suatu pagi paman dan ayahnya, Wim Latumeten dan John Ferry Latumeten, duduk di teras rumah sakit. Pada jam-jam itu mereka biasanya bermain bola di lapangan di depan rumah sakit. Jonas menghampiri mereka dan mendapat laporan bahwa sekelompok orang Belanda memakai lapangan untuk golf. Sambil bersungut-sungut, Jonas yang saat itu memimpin rumah sakit melabrak orang Belanda tersebut. “Kalian pergi atau saya yang keluar dari rumah sakit ini,” tutur John menirukan ucapan ayahnya, John Ferry.

Dr. Jonas Andreas Latumeten (kedua dari kiri). Dokumentasi Nurturing Indonesia/Hans Pols

Selama sekitar dua tahun bertugas di Bogor, Jonas dikirim “pulang kampung” ke Maluku. Ia diminta memimpin rumah sakit di Saparua. Lodwijk Maspaitella, kerabat Jonas dari keturunan ibunya, menyebutkan Jonas sesekali mampir ke desa kelahirannya di Rutong, Ambon. “Ia mengobati warga desa yang butuh pertolongan,” kata Lodwijk.

Jonas tak lama berdinas di Saparua. Ia dimutasi ke rumah sakit jiwa di Lawang, Jawa Timur—kini bernama Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat. Di sana ia memberdayakan sejumlah pasien dengan kegiatan bercocok tanam. Jonas bertugas di Lawang hingga pendudukan Jepang. Serdadu Jepang sering memalak hasil bumi yang dipanen Jonas dan pasien. Jonas melawan dan tak mengizinkan tentara Jepang mengambil paksa panen tersebut. Louise mengatakan kakeknya sering babak-belur dihajar polisi Jepang karena pembangkangannya itu.

Menurut Louise, Jonas tak pernah meninggalkan kegiatan politik meski berpindah-pindah lokasi dinas. Dokter kelahiran Desa Rutong, Ambon, itu aktif mengumpulkan pemuda setempat di bangsal rumah sakit jiwa untuk berceramah soal negara merdeka. Lokasi itu dianggap aman lantaran polisi dan tentara kolonial jarang berpatroli masuk ke rumah sakit jiwa. “Opa sudah atur strategi dengan menyuruh para pemuda berlagak gila jika tiba-tiba ada tentara yang mengontrol rumah sakit,” ujar Louise.

Jonas diringkus Kenpeitai pada sekitar Mei 1945. Ia dijebloskan ke penjara di daerah Bukit Duri, Jakarta Selatan. Penyebabnya, lagi-lagi, ialah Jonas membangkang. Louise menyebutkan kakeknya menyambangi sebuah lokasi di daerah Kramat, Jakarta Pusat. Bertemu dengan serdadu, Jonas ngotot memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia dari suku Ambon. Tentara itu melarang Jonas menyebut dirinya orang Indonesia. Jonas disiksa dan kabarnya mendapat luka dalam yang tak pernah diobati selama di bui.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Jonas dibebaskan dari Bukit Duri. Sejumlah penyiksaan selama di tahanan membuat kesehatan Jonas drop. Ia juga mengaku kesulitan bekerja di rumah sakit jiwa lagi. Melalui surat kepada koleganya, Maartje Johanna Tehupeiory, sebagaimana ditulis Hans Pols dalam Nurturing Indonesia, Jonas bercerita bahwa ada sekelompok pemuda yang melarang dia bertugas di rumah sakit karena latar belakang suku dan agamanya. Dalam layang bertarikh 21 Juli 1946 itu, Jonas juga menyebutkan pemuda-pemuda tersebut tak memahami sikap dan dukungan politiknya terhadap kemerdekaan republik.

Pada waktu republik baru berdiri, Jonas ikut menyokongnya. Presiden Sukarno memilih Jonas menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung yang pertama, bersama Margono Djojohadikusumo, kakek Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Lembaga ini dibentuk untuk memberikan advis kepada presiden. Salah satu masukan penting lembaga ini pada awal kemerdekaan adalah konsep Perundingan Linggarjati.

Arsip notula rapat pada 3 Juni 1946 mencatat usul Dewan terkait dengan perundingan tersebut. Jonas tercatat sebagai salah satu peserta dalam forum yang waktu itu menghasilkan sedikitnya dua rekomendasi kepada Sukarno. Pertama, Dewan menyarankan pemerintah Indonesia aktif mengajukan klausul dalam perundingan dengan Belanda. Kedua, Belanda harus menyetujui gencatan senjata dan menghentikan penghasutan sebelum berunding dengan Indonesia. Belanda akhirnya mau memenuhi syarat dari pemerintah Indonesia sebagaimana saran Dewan dan berunding di Linggarjati pada 11 November 1946.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus