Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Buah Salat Bersama Ayah

Alivermana Wiguna kerap menunaikan salat di berbagai masjid Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Gerah terhadap sikap umat yang merasa paling benar.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Alivermana Wiguna di Sampit, Kalimantan Tengah, 17 Juli 2020. TEMPO/Karana Wijaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AJARAN Solihin Harta tak pernah dilupakan oleh Alivermana Wiguna. Ketika ia masih duduk di kelas satu sekolah dasar pada 1982, ayahnya yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara itu kerap mengajaknya menunaikan salat dari masjid ke masjid di kawasan Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Saban kali menjalankan salat Jumat, Solihin, yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat, selalu membawa putranya itu ke masjid Muhammadiyah. Namun, saat sembahyang biasa, seperti salat subuh hingga isya, Solihin kerap memboyong Alivermana ke musala atau masjid yang dikelola pengikut Nahdlatul Ulama. “Ayah mengajarkan toleransi dengan sesama muslim,” Alivermana bercerita pada Rabu, 22 Juli lalu.

Muhammadiyah dan NU mempunyai perbedaan dalam tata cara pelaksanaan salat. Salah satunya, ujar Alivermana, Muhammadiyah tidak membaca doa kunut saat salat subuh, sementara NU mendaraskannya. Saat salat Jumat, azan di masjid nahdliyin digaungkan dua kali, sementara di masjid Muhammadiyah hanya sekali. Menurut Alivermana, perbedaan ini membuat dua kelompok tersebut tidak mudah bersatu. Akibatnya, di daerahnya bahkan ada orang yang tak mau mendirikan salat di tempat ibadah yang tidak sesuai dengan kelompoknya.

Keberagaman yang ditanamkan Solihin—berpulang pada 2016—terus terbawa hingga sekarang. Misalnya, Alivermana, yang merupakan pengurus Muhammadiyah Sampit, membaca kunut saat salat subuh. Begitu juga dalam hal azan salat Jumat. Sementara di tempatnya bekerja sebagai dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sampit azan dikumandangkan satu kali, di masjid Madrasah Aliyah Negeri Kotawaringin Timur dilantunkan dua kali. Alivermana, yang menjadi wakil kepala madrasah tersebut, adalah penggagasnya.

Masalah keberagaman ini kerap disampaikan Alivermana di lingkungannya, terutama kepada para murid dan mahasiswa. Dia mengaku gerah terhadap kondisi saat ini, ketika sesama muslim saling menyalahkan dan merasa paling benar. Misalnya dari cara berpakaian atau wudu. “Saya selalu berpesan, pahami soal perbedaan dan jangan mudah menyalahkan,” ujarnya.

Menurut dia, jika umat Islam bisa memahami perbedaan, toleransi terhadap mereka yang berbeda keyakinan bisa terpelihara. Naim Wahyudi, mantan mahasiswa Alivermana, mengaku masih ingat salah satu ceramah eks dosennya itu di masjid kampus. Ketika itu, ucap Naim, Alivermana menyebutkan perpecahan tak akan terjadi jika toleransi terus digaungkan dan dilaksanakan.

Alivermana juga kerap menyampaikan soal perlunya menjaga keharmonisan dengan mereka yang berbeda suku. Ia belajar dari peristiwa yang disaksikannya langsung pada 2001, saat kerusuhan antara suku Dayak dan Madura meletus di Sampit dan menewaskan lebih dari 500 orang. “Tujuannya agar mudah bergaul meskipun berbeda suku,” tuturnya.

Alivermana mengaku mendapat pengalaman langsung mengenai keharmonisan antarsuku dari keluarganya. Ayahnya berasal dari Tasikmalaya, sementara ibunya berdarah Dayak. Mengajarkan keberagaman suku ini, Alivermana juga menggunakan jalur pendidikan. Dia, misalnya, meminta para muridnya di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kotawaringin Timur membuat penelitian tentang hubungan antara suku Dayak dan Madura saat ini. Alivermana menilai keberagaman suku ini perlu diajarkan karena muridnya berasal dari berbagai suku.

Kepala MAN Kotawaringin Timur, Muhammad Rusidi, membenarkan kabar bahwa Alivermana kerap mengajarkan keberagaman suku kepada para murid. Rusidi juga menilai wakilnya itu konsisten mengajarkan toleransi. “Tapi ia sangat keras dengan kelompok Islam radikal,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Alivermana Wiguna

Tempat dan tanggal lahir:
Sampit, Kalimantan Tengah, 3 April 1975

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jabatan:
Guru Madrasah Aliyah Negeri Kotawaringin Timur, dosen STKIP Muhammadiyah Sampit

Pendidikan:
S-1 di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang (lulus 1998), S-2 di Universitas Muhammadiyah Malang (2000), S-3 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2008)

Karya Tulis:
• Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: Upaya Alternatif Membangun kembali Peradaban Umat Islam (2005)
• Konflik Pascakonflik Sampit: Studi tentang Kembalinya Pengungsi Madura ke Sampit (2006)
• Hubungan Perilaku Keagamaan dan Perilaku Sosial Siswa SMK PGRI 1 Sampit, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam (2014)
• Upaya Didik Berbasis Psikologi di Sekolah (2016)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus