Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Daun Semanggi van Jepara

Tiga saudara pendobrak tabu Jawa. Perjuangan Kartini dilanjutkan adiknya, Kardinah.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartini, Roekmini, dan Kardinah keluar-masuk toko membeli perlengkapan pengantin. Menurut adat Jawa, Kardinah, yang akan menikah pada 24 Januari 1902, seharusnya tidak boleh keluar dari rumah. Ia menjalani pingitan sepekan sebelum hari-H itu.

Kartini dan dua adiknya, Roekmini dan Kardinah, memang bukan perempuan Jawa biasa pada zamannya. Tiga putri Bupati Jepara Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat ini adalah pendobrak adat. Menyongsong pernikahan si adik yang biasa dipanggil Kecil itu, mereka berbelanja ke Semarang, sekitar 82 kilometer dari Jepara.

Tiga kakak-adik ini sangat kompak. Sahabat Kartini, Marie Ovink-Soer, istri asisten Residen Jepara, menjuluki mereka Tiga Saudara. Kartini punya sebutan sendiri untuk trio ini: Het Klaverblad atau Daun Semanggi.

Itu sebabnya, Kartini dan Roekmini merasa kehilangan setelah Kardinah diboyong suaminya, Raden Mas Reksoharjono (kemudian menjadi Bupati Tegal), ke Pemalang pada 31 Januari 1902. Dalam surat kepada De Booy Boissevain pada 21 Maret 1902, Kartini mengatakan kepergian sang adik menjadi kehilangan besar baginya. "Tidak salah jika orang mengatakan kami bertiga telah menjadi satu pikiran dan perasaan."

Dibandingkan dengan adik-adiknya yang lain, Kartini paling dekat dengan Roekmini dan Kardinah. Roekmini lahir setahun setelah Kartini dari ibu tiri bernama Raden Ayu Moerjam, garwa padmi (istri utama) Bupati Jepara Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat. Adapun Kardinah adalah adik kandungnya. Ibu Kartini, Ngasirah, adalah garwa ampil Bupati.

Ketiganya membangun dunia sendiri selama enam tahun dalam pingitan. Mereka membaca, menggambar, melukis, membatik, memasak, berlatih berbicara dalam bahasa Belanda, dan bermain piano bersama.

Kakak-adik ini berdiskusi tentang cita-cita mereka sebagai remaja usia 14, 15, dan 16 tahun. Mereka ingin menjadi dokter, bidan, perawat, pelukis, dan guru. Setelah masa pingitan itu, ketiganya diberi kebebasan oleh sang ayah untuk membuka sekolah bagi masyarakat kebanyakan di pendapa kabupaten, setelah sempat melawat ke Batavia. Mereka mengajarkan baca, tulis, dan berbagai keterampilan, termasuk membatik.

Kedekatan itu membuat Roekmini dan Kardinah sangat terpukul ketika Kartini meninggal pada 17 September 1904. "Saya seperti gila ketika mengetahui hal itu," tulis Roekmini dalam surat kepada Jacques Henrij Abendanon pada Oktober 1904.

Kematian ayahnya pada 21 Januari 1905 sekali lagi mengguncang hati Roekmini. Bahkan meninggalnya Bupati Jepara ini berakibat bencana lain. Ia menuliskannya dalam surat kepada Abendanon tertanggal 14 November 1905. "Sekolah kami benar-benar bubar. Anak-anak gadis berumur di atas 12 tahun tidak boleh datang lagi. Mereka sudah dianggap dewasa dan pantas untuk dikawinkan."

Hidup mereka kian susah setelah menjadi bahan gunjingan kerabat Bupati Jepara. Inilah yang membuat Moerjam menyerah. Ia melarang putri-putrinya terlalu sering ke luar rumah. "O, Ayah, berapa banyak dari kehidupan kami yang penuh kebebasan, ikut bersama Ayah masuk liang kubur."

1 1 1

Sepeninggal Kartini dan sang ayah bukan berarti mereka jadi penurut. Roekmini, Kardinah, dan adik Kartini yang lain, Soematri, mengumpulkan para perajin ukiran kayu Jepara dan batik. Hasil kerajinan itu menjadi suvenir korespondensi mereka ke Belanda. Pada 1908, Roekmini bersama sejarawan Belanda dan asisten Residen Jepara, A. Muhlenfeld, menggagas pendirian sekolah perempuan di rumahnya.

Roekmini, Soematri, dan Kartinah (anak kedelapan Sosroningrat) ikut mengawal pergerakan pemuda membentuk Boedi Oetomo pada 1908. Mereka mengeluarkan seruan kepada pemuda Jawa yang berpikiran maju agar membentuk organisasi dengan semboyan "Jawa Maju" demi kepentingan bangsa pribumi.

Adapun Kardinah bersama suaminya, Raden Mas Reksoharjono (kemudian beralih nama menjadi Raden Mas Ario Adipati Reksonegoro), memajukan Tegal. Pada 1 Maret 1916, ia membuka sekolah kepandaian gadis pribumi bernama Wismo Pranowo, yang berarti rumah memperluas wawasan.

Sekolah ini menyasar anak-anak perempuan di atas umur enam tahun. Mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung dengan huruf Latin; bahasa Melayu; memasak; membatik; serta membuat kerajinan tangan.

Pada 1927, Kardinah membangun rumah sakit bernama Kardinah Ziekenhuis—kini bernama Rumah Sakit Umum Kardinah, Tegal. Modal pendiriannya diperoleh dari honornya menulis di beberapa majalah.

"Pendirian rumah sakit juga hasil dari kompensasi pengambilalihan sekolah oleh pemerintah kolonial," kata Yono Daryono, pemerhati sejarah Tegal. Menurut dia, sejumlah catatan menunjukkan Kardinah mendapatkan 16 ribu gulden dari uang kompensasi dan penjualan bukunya. Misalnya buku masakan berjudul Layang Panoet Bab Oelah-Oelah, yang terbit pada 1918.

Peristiwa Tiga Daerah pada 4 November 1945 memupus asa Kardinah. Ketika itu, sekelompok pemuda di bawah pimpinan Kutil alias Sakyani memaksa Bupati Tegal, Brebes, dan Pemalang mengibarkan bendera Merah Putih serta membagikan beras kepada rakyat.

Sebagai istri Bupati Tegal, Kardinah jadi sasaran. "Saat menengok cucunya, ia ditangkap laskar pimpinan Kutil," ujar Yono. Kardinah sempat diarak keliling kampung dengan dikarungi goni. Di depan RS Kardinah, beberapa orang menyelamatkannya dan membawa ke Salatiga. Setelah kejadian itu, ia menarik diri.

Jejaknya baru diketahui setelah Soemiati Sardju, istri Bupati Tegal, menemuinya pada 1970. Kardinah kembali ke Tegal untuk berziarah ke makam suaminya. Hanya setahun menetap, ia benar-benar pulang pada 5 Juli 1971. Ia dikuburkan di samping makam suaminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus