Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA ada dua laki-laki yang dicintai Kartini sepenuh hati: Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayahnya; dan Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak yang terpaut usia dua tahun. Keduanya tak hanya terhubung pertalian keluarga, tapi juga menjadi pelindung dan teman dalam dunia pingitan yang sunyi.
Sosroningrat selalu mencurahkan perhatian selepas jam kerja sebagai Bupati Jepara, sementara Kartono selalu mendukung pola pikir Kartini yang haus pengetahuan. "Hanya mereka yang bisa mengikuti jalan pikiran saya," tulis Kartini dalam surat untuk Nyonya Nellie van Kol, penulis Belanda, pada 1896.
Dalam buku Kartini: Sebuah Biografi, yang ditulis Sitisoemandari Soeroto, Kartono kerap memberi beragam bacaan bagi Kartini. Pada sela libur sekolah di Hogere Burger School Semarang, ia pulang ke Jepara berbuah tangan buku bacaan. Dari buku soal pengetahuan dunia modern dengan topik emansipasi dan revolusi Prancis hingga novel-novel populer. "Semua itu membuka khazanah pengetahuan Kartini soal sosial dan politik," kata Sitisoemandari dalam pengantar buku itu.
Sebagai anak laki-laki, Kartono lebih beruntung karena dikirim ayahnya bersekolah ke Semarang dan dititipkan pada keluarga Belanda. Pada 1898, ketika Kartini sedang mengangankan bisa mencecap pengetahuan di Eropa, Kartono terbang ke Belanda melanjutkan studi. Ia menjadi mahasiswa Indonesia pertama yang bersekolah di tanah Ratu Wilhelmina.
Waktu itu usia Kartono 21 tahun. Awalnya, ia diterima di Sekolah Teknik Tinggi di Universitas Delft, tapi tak betah. Ia pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Di jurusan itu, dia menamatkan studi dengan predikat summa cum laude bergelar doctorandus in de Oostersche—doktorandus dari Timur. Kartono menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku Nusantara. Kemampuan itu membuat ia dijuluki "Si Jenius" oleh teman-temannya.
Setelah lulus, ia tak segera pulang. Buku Jagat Wartawan Indonesia, yang ditulis Soebagijo Ilham Notodidjojo, mencatat Kartono menjadi wartawan di New York Herald—kini The New York Herald Tribune—di kantor biro Wina, Austria. Ketika berusia 40 tahun, pada 1917, Kartono meliput Perang Dunia I. "Bayarannya US$ 1.250," tulis Mohammad Hatta dalam otobiografinya. "Cukup untuk hidup mewah di Eropa."
Kartono juga bekerja sebagai penerjemah di Kedutaan Besar Prancis di Den Haag seusai perang. Kariernya menanjak dan mencapai puncaknya saat ia menjadi kepala penerjemah Liga Bangsa-Bangsa, embrio Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Jenewa, Swiss, pada 1919.
Enam tahun kemudian, dia pulang ke Hindia Belanda. Pemerintah kolonial menawarinya jabatan bupati, tapi ditolak. Ia memilih menjadi Kepala Perguruan Taman Siswa di Bandung. Kartono adalah senior aktivis pergerakan semacam Sukarno, Dr Samsi, Mr Sunario, dan Mr Usman Sastroamidjojo.
Di Bandung, orang-orang memanggilnya "Ndoro Pangeran Sosro". Selain mengajar, dia mendirikan balai pengobatan Darussalam, yang menyatu dengan rumah besarnya di Jalan Pungkur Nomor 19. "Saya pernah meminta air doa agar lancar ujian sekolah," kata Nyonya Wen Sawendra, warga di sana, yang kini 73 tahun.
Menurut Wen, balai pengobatan itu berupa rumah panggung besar yang meruapkan bau dupa. Pasien yang datang membawa air putih dalam gelas akan diberi doa-doa. Agaknya, pengobatan itu manjur karena setiap hari balai itu dipenuhi pasien.
Hingga meninggal pada 8 Februari 1952 di usia 74 tahun, Kartono tak pernah menikah atau mengangkat anak. Presiden Sukarno memerintahkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menjemput jenazahnya untuk diterbangkan ke Semarang, sebelum dimakamkan di Kudus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo